HEBOH PUISI SUKMAWATI

DI SEPERTIGA

pertigaan
belok kanan

Kemayoran,  03042018
------

Saya baca heboh di media sosial soal puisi Sukmawati Soekarnoputri yang disebut-sebut kontra syariat Islam. Tentu saat itu saya belum bersikap sampai bisa membaca puisinya secara lengkap dan menghayatinya. Ini penting. Karena dari dulu, logika di Indonesia,  apresiasi syair/puisi/lirik itu selalu terbuka. Sampai-sampai yang tetakhir masih menggaung, sebutlah 'binatang jalang'  Chairil adalah pencitraan semangat yang mendahului generasi(kelompok)nya,  eksistensi orang-orang yang berani maju lebih dulu. Mengambil inisiatif. Masabodoh dianggap liar.  Tetapi merasa yakin,  ia menghadapi peluru itu untuk siapa?  Tentu bukan untuk dirinya sendiri.  Dia akan menggelombang  susul-menyusul sampai semua generasinya pun tumpah maju semua. Tetapi sebab kelahiran puisi itu bermula dari kesadaran,  kesaksian dan upaya pencerahan seorang pribadi penyair, maka di kemudian hari masih ada yang mempertanyakan, jangan-jangan Chairil memang 'binatang jalang'. Pribadi yang liar. Yang akan berposisi terbalik dari idiom 'binatang jalang' yang bisa dibaca spirit mulianya. Atau, justru pribadi liarnya yang telah melahirkan cetusan dalam puisi AKU itu.

Kebetulah Chairil Anwar populer dan ditokohkan, sehingga hal-hal yang sensitif pasti sering muncul ke permukaan.  Itu logika sosok yang dibintangkan. Padahal kalaupun Chairil tidak sepopuler sekarang,  biasa-biasa saja,  tidak mustahil karyanya tetap akan diperdebatkan, sampai populer di kalangan khusus dan terbatas.

Saya selalu bilang.  Mau tak mau,  penyair harus bisa mengunyah dan menelan puisinya. Tanpa teracuni.  Begitupun sebaliknya. Puisi pun harus mampu mengunyah dan menelan bulat-bulat penyairnya. Sehingga bahasa bagus dan indah dalam puisi, serta pesan kemanusiaan yang dalam dan tajam,  bukan cuma rekayasa bahasa.

Rekayasa bahasa tentu 'yes!',  kenapa tidak? Sebab saya suka membayangkan.  Jika ada seseorang beli kacang goreng terbungkus kertas koran, lalu tanpa sengaja dia menemukan puisi yang tidak tersobek di situ.  Utuh. Lalu membacanya seksama.  Bisa terpukau ia.  Bahkan mengabarkannya kemana-mana.  Ini tentu peristiwa selesai tentang suatu puisi yang selamat. Tapi belum soal penyairnya. Sebab ketika dia mengangkat puisi itu dengan kesaksian orang banyak, ternyata perdebatan pun bisa muncul tentang siapa dan bagaimana kepribadian penyairnya. Ini menjadi semacam hukum sosial bagi penyairnya bukan bagi puisinya.  Sebab secara teks puisi itu sudah selesai.  Tetapi tahukah anda? Jika debat buruk soal penyairnya berlarut-larut,  maka tidak mustahil puisinya pun akan semakin diasingkan orang.  Tidak ada yang mau mengabarkan dan menyuarakannya, sampai generasi berikutnya terputus sama sekali dari puisi itu. Atau,  tetap akan dibahas sampai waktu tertentu sebagai sesuatu peristiwa proses kreatif yang buruk.

Catatan awal saya ini bermaksud menunjukkan, bahwa kita di Indonesia (yang bersastra dengan bahasa Indonesia) memang terbuka, atau semakin terbuka, bicara soal karya puisi, dan bicara konsistensi penyairnya dalam melahirkan karya.

Maka di depan puisi Sukmawati Soekarnoputri yang berjudul IBU INDONESIA itu, kita pun pasti bersikap sama. Terbuka. Blak-blakan. Bukan karena dia orang terkenal dan anak proklamator, tetapi karena kita sudah biasa melakukannya. Puisi teman pun bisa kita sidang di warung kopi kalau dipandang perlu.

Menurut sumber internet,  puisi itu dibacakan oleh Sukmawati dalam acara Indonesian Fashion Week 2018 di JCC, Jakarta, Kamis,  29032018, menyambut 29 tahun Anne Avantie berkarya.      

Sebelum saya lanjutkan catatan ini,  supaya kondisi kita sama-sama telah membaca dan menghayati puisi tersebut,  maka oke,  kita mulai dengan menengok seksama puisinya ini:

//"IBU INDONESIA

Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu
Rasa ciptanya sangatlah beraneka
Menyatu dengan kodrat alam sekitar
Jari jemarinya berbau getah hutan
Peluh tersentuh angin laut

Lihatlah ibu Indonesia
Saat penglihatanmu semakin asing
Supaya kau dapat mengingat
Kecantikan asli dari bangsamu
Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif
Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia

Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan adzan mu
Gemulai gerak tarinya adalah ibadah
Semurni irama puja kepada Illahi
Nafas doanya berpadu cipta
Helai demi helai benang tertenun
Lelehan demi lelehan damar mengalun
Canting menggores ayat ayat alam surgawi

Pandanglah Ibu Indonesia
Saat pandanganmu semakin pudar
Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu
Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya".//

Supaya tidak mengganggu proses apresiasi, kita mulai dulu dengan mengiyakan rasa empati kita kepada keluarga Bung Karno dan segenap bangsa Indonesia, bahwa kita dalam kondisi bangga kepada Bung Karno,  sang proklamator, pahlawan bangsa yang juga seorang muslim itu.

Selanjutnya begini.

Menurut saya, puisi IBU INDONESIA,  menunjukkan sikap emosional Sukmawati Soekarnoputri. Sebagai keluarga Bung Karno, yang melihat aura ayahnya ketika berdekat-dekat secara relijius dengan Jendral Soedirman, Kyai Hasyim Asy'ari,  dan sederet tokoh-tokoh muslim lainnya, nampaknya Sukmawati keluar dari suasana itu dengan membuat pengandaian. Ya,  andai dia tidak tahu-menahu syariat Islam.

Contoh pengandaian itu misalnya ketika seorang penyair menyebut,  "sebagai petani kecil tentu aku hanya tahu hidup yang baik, cukup sandang,  cukup pangan.  Tidak tahu politik dan anggaran negara.  Dst.

Pengandaian, adalah hal biasa dalam puisi. Celakanya, bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, bahkan termasuk yang non-muslim, mengakui bahwa di Indonesia semua sudah KEPALANG TAHU MENAHU  soal syariat Islam. Termasuk Bung Karno tentunya.  Tahu keyakinan, cara dan gaya hidup muslim.  Semua sudah tahu. Ada garis tegasnya, prinsip-prinsipnya, ada khasnya.  Sebab yang sering dipermasalahkan adalah jika ada pihak yang mengaku-ngaku bersyariat Islam, tetapi tdak memcerminkan paham syariatnya di dalam berbangsa dan bernegara. Ini diposisikan sebagai kasus.

Dalam posisi pengandaian, tidak tahu menahu syariat Islam, Sukmawati Soekarnoputri berada pada sebuah titik tidak pernah dengar apa-apa soal Islam, tetapi bisa mengagumi budaya Indonesia. Sampai di sini kita sesungguhnya masih bisa tercenung.  Kenapa?  Dia bilang di Indonesia itu serba indah.

Tetapi karena umur Islam yang merupakan mayoritas bangsa ini sudah umur panjang,  sejak wanita yang bersyahadat gak berbaju dulu,  sampai ke film modern  Walisongo yang sebagian bintang filmnya seksi-seksi karena menceritakan kain masa lalu dan kain yang tersingkap angin, hingga detik ini,  seluruh senibudaya Indonesia sudah kepalang kadung dijiwai oleh tauhid,  oleh ketuhanan Yang Maha Esa,  oleh Islam. Maka mau ditolak bagaimana lagi? Syariatnya pun sudah dipahami,  meskipun dengan penafsiran-penafsiran yang cair. Artinya,  yang dikagumi indahnya oleh Sukmawati itu,  memang sudah kepalang begitu kondisinya.  Sudah menjadi karunia Allah SWT.  Mau apa lagi?  Kita tidak bisa menolak syariat Islam yang  sudah bekerja berabad-abad di situ. Yang menciptakan keindahan budaya itu. Yang membuat ibu dan anak gadisnya berkebaya cantik dan seksi. Ada yang berjilbab, sebagian tidak.

Pengandaian tidak tahu menahu syariat Islam tetapi melihat budaya Indonesia sangat Indah, itu seumpama orang Eropa atau turis dari suatu belahan bumi tertentu, yang gak hafal relijiusitas di Indonesia, tetapi terkagum-kagum. Termasuk mengagumi gelung rambut dan konde. Tetapi para turis ini kelak akan tahu juga,  bahwa syariat Islam di Indonesia telah melahirkan itu semua selama 'komunikasi sosial'  berabad-abad: tentang eksistensi dan kerja Allah,  maunya Allah untuk keselamatan dan kesejahteraan manusia,  serta permintaan bangsa Indonesia kepada Allah untuk menjaga Indonesia yang khas secara khas pula.  Sudah lama sekali itu terbangun.

Akhirnya kita memang agak dibuat gagap oleh imaji Sukmawati.  Tentu dia sebagai pribadi penyair yang tengah berproses kreatif.  Bukan sebagai keluarga Bung Karno atau sebagai bangsa Indonesia secara menyeluruh.

Sampai-sampai saya berfikir agak ekstrim.  Kalau sebagai pribadi penyair dia tidak terlalu mahir melahirkan puisi sesuai maksud hatinya yang lurus,  yang akhirnya justru melahirkan telur yang pecah tak sedap, berarti persoalannya pada kemampuan bikin puisinya, bukan niat hatinya yang jahat kepada Islam.

Kecuali kalau terang-terangan dalam kepasitas pribadi dia mati-matian membela puisinya dengan berdalih, dia memang tidak tahu-menahu soal syariat Islam. Juga tidak tahu kalau syariat Islam telah menjadi hidup Indonesia. Itu lain soal.

Saya tetap melihat secara gamblang.  Islam disebarluaskan di Indonesia melalui orang-orang tahu. Ini rahasianya. Siapa mereka?  Mereka bukan orang-orang bodoh. Mereka tokoh spiritual Indonesia, kaum intelektual, yang siang malam merindukan zat tunggal,  Allah SWT.  Yang maha cinta. Mereka para guru masyarakat. Sehingga ketika mereka bersyahadat, sesungguhnya mereka sedang mengungkapkan kemenangannya. Mengungkapkan kebenarannya.  "Akulah Muhammad!"  teriak para wali Allah itu.  Dan masyarakat pun sukacita mengikutinya ,  karena tidak ada yang asing bagi mereka. Tetap Nusantara. Terkecuali,  pada cara-cara hidup yang keliru,  yang mesti didakwahi, dibenahi. Itu saja. Yang artinya, Islam di Indonesia tidak diompor. Bukan pengaruh asing .

Sebagai pengagum Bung Karno saya yakin Bung Karno tahu ini. Itu sebabnya banyak orang pintar dan tokoh Islam punya catatan-catatan khusus tentang Bung Karno yang suka falsafah dalam wayang,  dan suka menyelami tradisi-tradisi Nusantara itu.

Lebih terhenyak lagi ketika saya menemui dua kalimat yang bikin heboh netizen. Tentu juga di tegah masyarakat dan komunitas-komunitas seni. Kedua kalimat itu adalah:
... 
Lebih cantik dari cadar dirimu
... 
Lebih merdu dari alunan azanmu
....

Secara husnuzon, suatu cara bijak dalam Islam, saya coba melihat kalimat dalam puisi Sukmawati itu sebagai sindiran kepada "mu".  Mu tertentu.  Yaitu para pihak yang cadarnya tidak cantik dan azannya tidak merdu. Cermatilah frase, cadar dirimu.  Itu lebih menukik pada kepribadian dan kelakuan seseorang atau sepihak tertentu. Bukan kain cadarnya. Kalau soal kain, Sukmawati menyucikannya dalam kalimat,  
"... suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu".

Dalam paradigma Islam yang kaffah,  berjilbab (termasuk yang dilengkapi cadar) itu memang sudah pasti cantik lahir batin, kecuali pada oknum pemakainya yang tidak istikomah. Begitupun dalam hal azan. Azan itu panggilan paling merdu yang tidak ada satu suarapun yang mampu mengalahkannya. Azan telah membuat seorang anak nakal bertobat kepada Allah dan bersujud mencium kaki ibunya.  Apakah kurang indah? Azan, juga telah membuat Ratu Inggris merasa nyaman mendengarnya. Tapi kepada seseorang atau pihak tertentu kita bisa menyebut,  "azanmu tidak indah!"  Maksudnya, sikap dan perbuatan seseorang atau pihak tertentu itu tidak mencerminkan isi panggilan azan.

Sukmawati juga menulis dua hal.  Pertama, saat penglihatanmu semakin asing. Artinya, keluar dari konteks ke Indonesiaan. Dari ke Indonesiaan yang mengenal syariat Islam pada ummat Islamnya. Kedua, dia mengilustrasikan sikap indah dalam berbudaya indonesia itu juga menunjukkan ibadah, menunjukkan puja kepada Illahi. Yang sesungguhnya ketepatan ini kontradiktif dengan pilihan kalimat yang menunjukkan tidak tahu menahu syariat Islam, atau keberhasilan syariat Islam dalam pembangunan segala bidang. 

Pertanyaannya, apakah Sukmawati bermaksud hanya menyindir yang pantas disindir seperti itu?  Memarahi yang pantas dimarahi saja? Jika ya, lagi-lagi persoalannya, kekurangfasihan mencipta puisi. Setidaknya dalam puisi yang satu ini. Tidak bisa disembunyikan pada dalil, kebebasan berekspresi dan kebebasan berapresiasi. Meskipun panitia yang memberi kesempatan baca puisi boleh lumayan lega dengan mengungkapkan perasaaan di tengah perdebatan saat ini,  "... soal cara membuat puisinya, bukan ada niat buruk di dalamnya".

Saya jadi ingat seorang guru bahasa dan sastra Indonesia di suatu SMA yang saya kenal.  Sudah jelas latar belakangnya 100% sastra. Tetapi pernah bikin puisi fatal. Ketika menceritakan sikap anti Cina pada masa penjajahan dulu, sebab dinilai etnik Cina dulu itu terlalu berpihak kepada penjajah, bahkan cenderung bersikap seperti penjajah juga. Rupanya  telah membuat dia ceroboh sehingga puisinya terdengar seperti anti Cina di jaman now. Padahal hari ini kita hidup berdampingan baik-baik saja dengan keturunan Cina. Sehingga saya menganggap, dia telah salah bikin puisi. Menumpahkan kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang dikehendaki. Padahal kalau saat itu saya niat nerbitin antologi bersama, lalu guru itu menyertakan puisi yang lain, bisa jadi tetap saya loloskan.

Apakah Sukmawati kali ini salah bikin puisi, tidak seperti puisi dia yang lainnya? Setidaknya kurang cermat? Tidak sesuai dengan maksud yang sebenarnya? Itulah yang dipersoalkan. Tapi tidak perlu MUI dan polisi menganggap sebagai pelecehan agama. Sampai akhirnya, dengan menjunjung tinggi keyakinan Islam yang dianutnya, dia minta maaf secara terbuka, jika puisinya tidak berkenan.

Gilang Teguh Pambudi 
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com         


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG