ONANI DAN BUNUH DIRI SENI

SAPULIDI

penghargaan
untuk
panggung
kosong

Kemayoran,  2011-2018
#puisipendekindonesia 
------

Ini dua istilah yang sebenarnya biasa kita rasakan ketika mrnyaksikan sinetron atau film layar lebar,  atau membaca karya sastra. Onani seni bisa dimaksudkan untuk menyebut sebuah sonetron atau film atau drama radio,  yang dalam posisinya sebagai bagian dari senibudaya,  mengangkat tema profesi seniman. Sedangkan bunuh diri seni adalah suatu proses berkesenian semacam melalui sinetron,  film,  drama radio,  novel,  dll yang menyajikan tema menolak mentah-mentah suatu seni tertentu,  yang sesungguhnya baik-baik saja.

Ketika sebuah novel, pentas teater,  atau film mengangkat tema seorang penari atau penyanyi, tentu akan kita rasakan aura seni ketemu seni.  Kecuali kalau yang diangkat tema petani,  tokoh dakwah, pahlawan kemerdekaan,  atau tokoh politik tertentu.

Satu contoh.  Suatu ketika tayang di televisi ada anak kota yang naksir seorang gadis. Ternyata di belakang hari dia tahu,  gadis itu anak seorang petani di desa.  Pada awalnya si pemuda agak canggung beradaptasi dengan suasana desa.  Tetapi lama-lama biasa juga.  Bahkan akhirnya setamat kuliah dia memutusksn untuk membuka usaha peternakan di desa. Kisah ini sangat jelas menunjukkan, tidak berusaha mempertemukan seni dengan seni.  Di dunia apresiasi,  tidak menunjukkan seniman atau dunia seni sedang mengangkat kesenian.  Melainkan sebuah produk senibudaya mengangkat tema desa,  pertanian,  dan peternakan.

Ini yang sering saya sebut,  dunia seni yang multi tema itu mesti cerdas dan mencerdaskan.  Ya,  karena soal multi tema ini.

Di awal tahun 90-an kita tentu minimal pernah melihat poster film di bioskop Indonesia yang mengangkat tema,  bangga menjadi angkatan udara. 

Di dalam multi tema yamg terserak itu,  bukan berarti onani seni yang kita maksud adalah suatu kesalahan. Bukan demikian. Itu sudah biasa.  Meskipun kalau terlalu sering diangkat-angkat pada satu masa kenangan tertentu, akan terasa monoton dan seperti tidak kerja dalam seluruh hal.  Penonton film dan pembaca novel seolah-oleh hanya dicetak untuk bangga jadi musisi,  penyanyi,  penyair,  bintang film,  penari,  pelukis,  dst.

Padahal di pesantren-pesantren atau Sekolah Islam saja,  sungguhpun tiap hari mempelajari kajian Islam dan strategi dakwah,  bukan berarti bermaksud mencetak juru dakwah agama.  Karena tujuan pendidikan di situ, selain memang ingin mencetak ulama-ulama muda, tentu saja untuk melahirkan tokoh-tokoh masyarakat yang berguna bagi agama, bangsa dan negara, dalam profesi apapun. Ada yang kelak jadi pengusaha,  dokter,  polisi, politisi, atau seniman.

Pencerahan melalui cerpen,  drama radio,  film dll yang multi tema,  tentu sangat menginspirasi orang-orang untuk menjadi apapun. Di situ melingkupi unsur mendidik,  memberi informasi,  sekaligus menghibur.

Saya sendiri yang lebih 20 tahun membawakan program Apresiasi Seni termasuk Apresiasi Sastra di radio-radio,  tentu tidak bermaksud hanya menemani mereka yang ingin jadi, atau yang sedang menjadi seniman atau penyair.  Tetapi membuka daya apresiasi masyarakat sehingga melek terhadap senibudaya yang baik. Termasuk paham sastra. Agar sastra bisa bekerja,  berpengaruh dan bermanfaat.

Tetapi ketika di acara apresiasi seni saya pun dengan bangga dan penuh tanggungjawab mengangkat juga posisi penyair,  pelukis,  penari dll,  biarlah itu menjadi onani seni yang menyenangkan.

Sedangkan yang masuk katagori bunuh diri seni adalah karya-karya seni semisal lagu, novel, sinetron dll yang menyajikan tema seni tetapi untuk menolak atau menjelek-jelekkan kesenian itu.  Seringkali bukan sebagai oto-kritik yang cerdas terhadap suatu tradisi seni tertentu, tetapi secara sepihak dengan terang-terangan mengharamkan seni itu.

Kalau yang dimaksud adalah MENOLAK TRADISI, sebagai persoalan wajib, menolak keburukan yang tidak mencitrakan senibudaya yang baik,  okelah. Misalnya seni yang ada unsur menyakiti binatang tertentu.  Seni yang merendahkan fitrah kemanusiaan.  Seni yang disertai kemesuman dan penyakit masyarakat lainnya.  Dll.

Ketika yang diperangi dari suatu seni tradisi hanya sisi buruknya saja, berarti tema-tema itu bisa menemani masyarakat untuk melakukan semacam ritual RUWAT SENIBUDAYA. Merumat keramatnya,  membuang sialnya.

Sayangnya yang sering terjadi alih-alih pencerahan,  justru memecah bangunan sosial masyarakat. Seni menolak seni atau seni membunuh seni. Misalnya pada suatu sinetron,  seorang suami berkata,  "Aku tidak suka kamu jadi penari dan penyanyi yang dimurkai Allah!" Padahal nalar penonton sudah digiring pada realitas, yang dimaksud itu adalah tari tradisi pada umumnya, dan penyanyi dangdut yang normal. Bukan penyanyi dangdut plus plus itu.

Kalau sudah begini siapa salah?  Pemerintah yang telah membiarkan suatu karya seni membunuh tradisi seni tertentu tanpa tedeng aling-aling. Malah pemerintah ikut-ikutan terjebak, misalnya menyebut kalangan seniman adalah kalangan abangan yang agamanya gak pernah bener. Atau pekerja seninya yang salah?  Yang membuat novel,  drama,  sinetron,  film dan lirik lagu tertentu,  yang isinya menolak seni tradisi atau jenis seni tertentu yang sesungguhnya baik-baik saja. Atau penontonnya yang salah?  Mau aja digiring ke sana ke mari tanpa argumentasi yang jelas.

Sampai akhirnya ada seni yang masuk logika iman sejak jaman Wali Songo sebagai daya tarik, lipstik untuk syiar agama, sudah aman nyaman, bagian dari kehangatan dan keakraban sosial, tetapi dalam perkembangannya malah ditinggalkan orang yang pinter agama.  Akibatnya seni itu kembali direbut pihak 'jahat'. Alasannya,  jaman telah berubah.

Tentu jadi aneh, ini misal, goyang jaipong diharamkan tetapi dijadikan maskot pariwisata? Misal lain,  gara-gara penyanyi qosidah profesional gak boleh ngartis dan sedikit seksi meskipun berjilbab,  akhirnya qosidah (yang sarat puji-pujian kepada Allah SWT dan Rosulullah SAW)  pun punah, penyanyinya lari ke dangdut semua, karena merasa bakatnya menyanyi.

Ada banyak tema-tema sinetron yang mengharamkan panggung dangdut.  Tetapi pada saat yang sama, semua partai menggunakan daya merakyatnya dangdut untuk mendulang suara. Ini konsep besarnya bagaimana?

Ada lagi, jaman now menolak lagu-lagu jadul dengan alasan kreatif dan progresif itu kebutuhan masa depan.  Dan negara mendukungnya, karena itu dianggap sebuah keinginan besar.  Menjadi kontruksi legal masa depan.  Sampai-sampai mereka, yang sering kita sebut negara maju itu, seperti tertawa terkekeh-kekeh menyindir,  "Dia tidak punya masa lalu dan latar belakang yang kuat! Benar-benar generasi masa depan!"

Tetapi kita juga tidak bisa menutup mata dari bunuh diri seni dalam model lain yang sangat kita kenal.  Yaitu seni yang dipakai untuk propaganda hal-hal pragmatis yang sesungguhnya tidak mencerahkan. Pemerintah bisa terjebak ke wilayah ini juga.  Atau model bunuh diri seni lain,  ketika suatu karya dan ekspresi seni diikuti oleh isu SARA yang memecahbelah,  pelacuran,  miras,  narkoba,  dll.

Gilang Teguh Pambudi 
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG