BPIP, PANCASILA DAN TUJUH KATA ITU

KAWAT-KAWAT

kau memasang kawat berduri 
bahkan pada derai hujan
sampai luka terbangku malaikat
sebagai keselamatan dan keajaiban

Kemayoran,  23 04 2018 
#puisipendekindonesia 
------

Lagi heboh gaji tokoh-tokoh di BPIP, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Pertanyaannya, memang perlu begitu atau karena cuma mau Pemilu? Sehingga perdebatannya yang viral dianggap bisa punya pengaruh.

Kalau saya, soal BPIP itu malah lagi fokus soal apa yang telah dan akan dikerjakannya? Ini pun ketika ngomonginnya sekarang, pakai istilah 'mumpung Juni'. Mumpung aura Hari Pancasilanya masih kentel. Gak terkait langsung urusan politik praktis, meskipun bisa ngaruh. "Tapi masa sih, ngomonginnya mesti ntar?"

Kalau bicara tugas dan fungsi BPIP saja harus ntar kalo selesai Pilkada, Pileg dan Pilpres, apa gak malah hidup serba salah kita? Nyunyar-nyunyur? Kesasar-sasar.

Tapi jujur, saya merasakan dari membaca dan mendengar berita-berita seputar BPIP, ada yang malah bikin versi 'mumpung Juni' ala tertentu, dengan maksud mengatakan, apa arti Juni dan BPIP buat pemerintahan sekarang? Terlebih-lebih soal gaji tokoh-tokohnya di situ.

Indra penciuman saya gak mau jadi blunder di situ. Sebagai awam saya cukup punya harapan pada pemerintah, terutama dari internal BPIP, untuk menjelaskan semuanya sejelas-jelasnya, sehingga masyarakat dapat memaklumi sesuatu yang benar. Bukan hoak, bukan pula mendengar dari pihak yang punya niat dan cara-cara politik yang menyesatkan.

Karena pemerintahan di NKRI ini sambung-menybung antar periode kepemimpinan nasional, maka menjadi wajar kalau pengalaman politik dan sosial di tiap periode menjadi acuan berfikir dan membuat kebijakan.

Soal BPIP misalnya. Ada yang mengaitkan dengan Bp-7 dan kegiatan penataran P4 di era Orde Baru dulu. Artinya, sangat diperlukan suatu lembaga yang mengurusi pembinaan ideologi Pancasila, tetapi dengan tidak mengulangi kesalahan pada era Orde Baru dulu. Bahkan koordinasinya sampai ke tingkat daerahpun beda. 

Pun soal GBHN itu. Bisik-bisiknya, ada sisi positif dari sebuah GBHN, tetapi tidak bisa sepenuhnya membenarkan pembuatan GBHN ala Orde Baru. Namanya juga era reformasi. Pun tidak benar kalau niat mau sembunyi di balik tulisan GBHN yang indah, sedangkan praktik lapangannya tetap bertolak belakang.

Salahsatu yang kita kritisi sekarang ini. Ketika pernah terjadi arus anti-PMP ala awal reformasi, sesungguhnya telah dinetralisasi dengan adanya mata pelajaran PPKN di sekolah-sekolah yang menyampaikan materi ideologi Pancasila. Benar itu. Saya setuju. Yang artinya, walaupun anti PMP Orde Baru, tetapi kita bisa setuju Pemahaman Ideologi Pancasila yang disampaikan dalam PPKN. Tetapi kita mesti jujur, ternyata PPKN masih lemah dalam soal mengajak masyarakat paham Pancasila, terlebih-lebih di kalangan yang mudah anti-Pancasila. Pendeknya, PMP dan PPKN masih sama-sama punya kelemahan. Mungkin tidak akan demikian kalau PPKN-nya memenuhi tuntutan reformasi menyangkut penyemaian paham Pancasila itu.

Meskipun demikian saya bersyukur melihat ada kelegaan di Indonesia, atas pentingnya pemahaman ideologi Pancasila.

Waktu remaja saya pernah merasakan menjadi peserta terbaik penataran P-4 tingkat kelurahan. Suatu fakta berharga bagi warga masyarakat biasa di suatu kampung di tingkat kelurahan. Apalagi ketika di sekolah (SMA) saya memang sangat suka PMP. Di situ saya memahami kebersamaan mendasar dari bangsa ini, yang telah dibangun berabad-abad. Yang dimunculkan saat kemerdekaan 17 Agustus 1945. Wujudnya, Pancasila.

Terlepas dari dikotomi kelompok Islam dan nasionalis versi sejarah pra-kemerdekaan, saya sudah bisa melihat dan merasakan, bahwa 90% bangsa ini, yang muslim itu, justru pendukung kuat Pancasila. Sebab Pancasilalah yang telah tumbuh kembang dalam kehidupan masyarakat kita yang relijius. Tinggal dirumuskan, dibuat formulasi penyampaiannya, sehingga kandungan Pancasila itu sudah menyangkut hak hidup seluruh warga negara.

Kalaupun pergerakan Islam muncul. Termasuk mengedepankan Piagam Jakarta. Juga mempersoalkan tujuh kata-katanya, "..., dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja", sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan, itu karena eksistensi umat Islam yang 90% itu, yang telah terbukti memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, tidak bisa dikecilkan dan dikucilkan. Ini soal kewajaran keadilan. Sebuah realitas sejarah yang menuntut. Apalagi tujuh kata pada sila pertama di dalam piagam Jakarta itu ditujukan kepada umat Islam, bukan untuk mengganggu, apalagi mengecilkan dan menghilangkan umat lain.

Namanya juga sejarah negara. Punya fakta dan data. 

Ketika hal ini sudah dipahami, maka langkah berikutnya adalah memahami kalimat yang populer kemudian, yaitu "ketuhanan yang maha esa". Yang artinya, tujuh kata yang sebelumnya tidak dihapus atau dihilangkan samasekali, melainkan masih ada di dalamnya. Tidak kemana-mana. Ada di situ.

Reaksi "harus dimunculkan" justru bisa timbul di belakang hari, jika ada pihak yang berpropaganda merasa telah berhasil menghapusnya. Apalagi ada yang merasa telah mengalahkannya. Ada anggapan, tujuh kata yang mengganggu itu sudah tidak ada di dalamnya. Sehingga butuh dilahirkan. Yang ujung-ujungnya akan memutar lagi pada kesepahaman, bahwa umat yang 90% di Indonesia itu merasa ketujuh kata itu sudah ada di dalam Pancasila sila pertama. Khusus bagi ummat Islam. Tidak ada yang telah berhasil menghilangkannya. Meskipun Indonesia (NKRI) bukan Negara Agama tertentu.

Persoalan rumusan Pancasila sudah selesai. Sosialisasinya tidak perlu lagi dibumbui cerita lama yang salah tafsir. Termasuk salah memahami proses sejarah.

Bung Karno dkk, sejak 1 Juni hingga turut melahirkan Piagam Jakarta pun, sudah mafhum akan ketepatan Pancasila itu. Termasuk dengan populernya sila Ketuhanan Yang Maha Esa, setelah sempat populer versi Piagam Jakarta-nya. Selanjutnya di hari ini kita tinggal memahami ideologi ini secara benar ketika membangun sebuah bangsa yang besar.

Termasuk soal pasal Presiden beragama Islam. Itu cukup menjadi kebutuhan bangsa Indonesia saja, sebab selain yang Islam, yang 90% itu, umat lain pun untuk di Indonesia banyak yang menginginkan presidennya seorang mauslim. Tetapi di dalam sebuah konstitusi, semua tetap punya hak sama. Tak perlu lagi ditulis presidennya harus Islam. Semua punya hak maju. Ini seperti sudah mengkristal.

Yang jauh lebih cair justru di tingkat propinsi dan kabupaten. Di daerah yang berpenduduk mayoritas Islam masih bisa muncul juga calon dari agama lain, pun sebaliknya, di daerah yang Islamnya minoritas ada juga calonnya yang seorang muslim.

Sekarang ini persoalannya kita malah bisa terjebak pada dua kubu. Di satu pihak, ada pihak besar yang dengan sangat lantang dan yakin seakan berkata, "Saya setuju dan cinta Pancasila, dan percaya kepada pemerintah untuk menyampaikan pemahaman ideologi Pancasila ini kepada bangsa Indonesia". Di kubu lain, ada kelompok yang malah anti-Pancasila.

Kelompok pertama terkesan terlalu apatis. Tidak kritis. Sering memunculkan Pancasila sebagai simbul utama, tetapi malah salah memahami. Bahkan tokoh sekelas Bupati dan Gubernur pun bisa salah memahami Pancasila. Sedangkan kubu kedua jelas-jelas seperti mau bikin negara versi baru. Ini jelas membutuhkan peran negara untuk mengatasinya. Mau gak mau.

Apakah dengan adanya BPIP? Bisa jadi. Sebab sebuah lembaga, bagaimanapun selalu dituntut suksesnya. Tetapi kementrian pendidikan pun mesti mengakui bahwa PPKN kita hari ini masih punya banyak kelemahan, sehingga kurang membumikan Pancasila, yang kita akui sebagai daya hidup bangsa Indonesia sejak masa lampau.

Tetapi keuntungannya pun ada. Saya suka bilang, melalui PMP jelas-jelas Pancasila dibutuhkan, melalui PPKN pun Pancasila sangat dibutuhkan.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG