DALANG PULANG

SAMPAI SELESAI

kalau kau datang senja
coba berhenti di urat nadi
kisahkan lagi jingga sampai selesai

Kemayoran,  23 04 2018 
#puisipendekindonesia 
------
Suatu hari saya sedang siaran Apresiasi Seni di Radio Populer FM Purwakarta. Tentu beberapa tema sudah disiapkan. Giliran saya menyampaikan tema wayang, baru beberapa kalimat keluar, suara saya tersekat dan terdiam. Airmata menggenang. Ya. Sialnya lagi, saya tidak mendorong backsound atau mematikan mikrofon. Sebab logika siaran self operatingnya, tersekat begitu biasanya tidak lama. Tapi nyatanya lumayan lama. Wah, saya fikir belakangan, saat itu pasti hening di udara.

Saya sedang bicara Asep Barnas Sugiri. Seorang dalang cilik dari Sukabumi yang ketika di umur SMA/SPG beberapa kali tampil ngedalang Wayang Golek di sekolah. Tapi dia sudah berpulang dalam usia masih muda. Beberapa tahun setamat dari SPG itu.

Hati saya ingin bilang, "Siapa bisa meneruskan, Sep? Saya tukang gambar wayang, terutama gambar wayang kulit karena keturunan Wong Jowo, seneng cerita wayang, suka ngebahas wayang, doyan wayang golek, tahu inti seni wayang, tapi bukan dalang". Sampai saya juga berfikir, "Tetap saya teruskan, Sep. Dengan cara apapun. Yang saya mampu. Kalau soal ngedalang, biar yang jago saja".

Begitulah. Menyedihkan. Padahal saya berfikir, karena dia seorang guru di sekolah Al-Azhar Sukabumi, kalaupun tidak memilih jadi dalang profesional, di sela-sela mengajar dia bisa ngasuh ekstrakurikuler atau bikin sanggar seni yang ada kaitannya dengan wayang itu sampai tua. Sebab saya pun ketika masih mengajar di SD Cimanggah dan SMP Pelita, masih sempat bikin Sanggar Teater, Komunitas Sastra dan Siaran Radio. Tapi nyatanya dia malah umur pendek.

Asep Barnas Sugiri adalah teman sekelas saya, selain Budi Setia Baskara, dll. Merasakan sukaduka dalam balutan seragam putih abu. Saingan juga. Dia pernah rengking satu, saya harus nerima dapat rengking dua. Dia sering nanya kepada saya soal puisi, cerpen dan menggambar. Saya sering nanya dia soal wayang dan seni Sunda lainnya. Termasuk soal tari-tarian.

Mendengar dia berpulang, saya terhenyak membayangkan sebuah skenario kehidupan tentang, DALANG YANG PULANG.

Saya dengar, ya saya mendengar. Betapa besar rasa kehilangan saya atas Dalang Asep Sunandar Sunarya ketika ia pulang. Ia seorang dalang wayang golek yang sangat digemari dan populer. Bukan kehilangan dia sebagai sosok pribadi, sebab saya pun tidak sempat berada di tengah-tengah para pelayat ketika dia dimakamkan, tetapi kehilangan dia sebagai sistem sosial dari ranah pedalangan, sesuatu yang besar, yang seperti dipaksa pulang seketika.

Waktu saya SMP di Jampang Kulon Sukabumi, saya sering dengar wayang golek Asep Sunandar Sunarya dari siaran radio. Saya curi dikit-dikit cerita dan gayanya bercerita. Saya tiru. Maklum referensi cerita wayang saya masih sangat sedikit. Kecuali kalau cuma suka-suka memainkan tokoh Punakawan, Petruk, Semar, Gareng dan Bagong. Meskipun ketika itu yang ada di tangan saya bukan Wayang Golek, melainkan Wayang Kulit yang saya buat sendiri dari bahan kertas karton.

Ya, sejak bapak saya menemukan gambar saya, Perempuan Setengah Telanjang sebesar pintu di asrama, akhirnya diajarilah saya bikin Wayang Kulit dari kertas karton. Dia bilang, "Coba hitung, berapa banyak pesan dari gambar wayang yang kita buat?" Saya memahaminya sebagai nasehat, "Bersenang-senanglah dengan gambar, bentuk dan pesan wayang".

Pengalaman suka wayang sejak SMP ternyata sangat membekas buat saya. Suatu yang sekarang ini sulit dialami remaja SMP. Padahal wayang itu suatu 'bentuk diam' yang membawa pakem hidup, pakem ajaran wali dalam sebuah pertunjukan, yang bisa terus berkembang sangat kreatif.

Saya puas dan bangga ketika suatu ketika beberapa kali bisa membawa anak perempuan saya yang duduk di bangku SMP dan adik laki-lakinya yang masih kelas dua SD, duduk di bawah pohon sambil makan kacang rebus, nonton pertunjukan Wayang Golek Asep Sunandar Sunarya sampai subuh. Subhanallah. Itu sebuah kalimat masa depan.

Sementara dalam bentuk gambar atau golek (boneka). Bayangkan, satu wayang, sebut saja Baladewa, Kresna atau Semar. Bahkan Cepot. Ketika ia dipajang di ruang tamu sendirian, dia sudah cerita banyak. Membuat setiap orang betah berlama-lama di ruang tamu. Seperti yang juga saya fikirkan, ketika kita menggantung Jaran Kepang atau Topeng Cirebon di ruang keluarga. Padahal di mana-mana Jaran Kepang dan Topeng Cirebon itu ya dipakai nari. Dipakai ndadi (menjadi). Dipakai bercerita dalam suatu pertunjukan.

Saya juga terhenyak untuk suatu perjalanan pewayangan ke depan, ketika belum lama ini Dalang Wayang Kulit yang sekaligus Bupati Tegal, Ki Enthus Susmono berpulang. Sampai saya bayangkan, para pihak yang merasa kehilangan mesti seperti saya, lebih dari sekedar membuat pernyataan, tetapi merasakan pernyataan kita, "Aku teruskan dengan cara apapun. Soal mendalangnya, dilanjutkan oleh yang sanggup mendalang".

Maka selama masih siaran Apresiasi Seni di radio, saya senang kalau ada dalang yang nelpon atau SMS, lalu diskusi wayang di udara. Atau besoknya diskusi waktu bertemu. Kadang ada juga dalang yang sengaja SMS agar saya menguraikan masalah pewayangan pada bagian tertentu. Tentu lebih kepada kekayaan khazanah wayang, bukan sekadar hafalan pada bagian kisah-kisah tertentu.

Hari ini, sesaat webelum saya menulis ini, saya membaca beberapa tulisan status facebook teman.

Pertama seniman, Mang Ule menulis begini:
"Innalillahi wa innailaihi rodjiuun.
Duka sedalam-dalamnya atas meninggalnya sahabatku, sahabat kita semua. Dalang Umar alias Dalang Riswa (Pojok Si Cepot). Semoga diampuni segala dosanya dan diterima iman islamnya. Serta keluarga diberi ketabahan".

Lalu Kang Didin Tulus menulis begini:
"Catatan harian: Jumat, 8 Juni 2018
Aku baca status kawan yang bekerja salahstu penerbit di Bandung. Tentang meninggalnya kawan ku dalang yang masih keturuann Asep Sunandar. Seorang dalang motekar Riswa. Kawanku juga jaman sekampus di STSI walau tak sejurusan Riswa ambil jurusan Karawitan aku seni rupa. Sering diskusi mengenai dunia pedalangan. Pernah nanyai buku-buku dunia pedalangan. Karena ia tahu aku suka koleksi buku pewayangan. 
Seiring waktu terus berputar dan punya kesibukan di luar kampus. Tak lagi mendengar kabar beritanya.  Tahu-tahu ia sudah mapan jadi dalang dan tampil di beberapa stasiun tv. Terakhir kali aku disms ngabarin akan tampil di daerah Cihanjuang. Sayang aku tak datang. 
Riswa adalah dalang penerus Asep Sunandar.
Ayeuna geus disaur ku Allah SWT. Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un".

Lalu Teh Rina Mayasari menulis begini:
"Innalillahi wainna ilaihi rojiuun
Telah Meninggal tokoh seni Jawa Barat dalang
Umar Darusman Sunandar ( Riswa ) Putra Giriharja 3
Hari Jumat, 08 Juni 2018 pukul 01:40 Wib
Di RS Muhammadiyah Bandung
Semoga Almarhum diterima segala amal ibadahnya,diampuni dosa2nya dan khusnul Khotimah...Aamiin Yra
Selamat jalan kang Riswa..
masih ingat akang kesukaannya sate maranggi teras lita dan qt pernah roadshow event Sosialiasi PON dan waktu itu kang Riswa meni keukeuh hoyong gabung sareng radio Lita...ternyata kang Riswa fans berat radio Lita dari sejak dulu di acara wayang golek Litafm waktu itu...".

Dan masih banyak lagi tulisan serupa di dinding media sosial facebook. Saya tidak bisa meyantumkan semuanya.

Khusus soal minat siaran di Radio, seperti yang disampaikan kepada Teh Rina, bisa diberi tafsir besar, bahwa pada era ke depan para dalang dan para pengamat/pelestari wayang mesti banyak muncul di radio, juga di televisi. Bagi dalang, tidak selalu harus mendalang di situ, bisa juga menjadi narasumber.

Yang jelas, di depan setiap 'dalang pulang', selalu ada yang kita rasa takut hilang. Ke-Indonesiaan, ke-Nusantaraan. Hiburan rakyat. Nostalgia. Suasana. Kreatifitas dan aneka guyon wayangnya. Serta keutamaan pesan Para Wali. Siapa yang akan meneruskan?

Saya kira ini pun merupakan tulisan
penuh hikmah dan berkah dari akhir bulan suci Romadon, 1439-H - 2018.

Catatan: ilustrasi wayang kulit dalam tulisan ini di blog, saya ambil dari karya Didit Setiyono Wayang Kulit yang dikabarkan di akun facebooknya. 

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG