SEPERTI KEPADA FLORES
KEBAIKAN MANUSIA
kecil sebagai hamba
besar sebagai kalimat
Kemayoran, 04062018
#puisipendekindonesia
------
Tiba-tiba, malam-malam, 5 Juni 2018, ada yang nyapa via massenger. Begini,
A : Selmat malam Pak.
Terimkasih dan salam persaudaraan. Saya ovin dari Flores.
B : Salut.
A : Saya sangat senang menulis puisi, dan saya lihat Bapak begitu hebat dalam menulis.
B : Sebab muisi (menjadi puisi) adalah kewajiban dan tanggungjawab.
A : Pak saya minta saran-saran dalam menulis puisi yang lebih baik.
B : Lakukan terus. Jalan terus. Puisi bagi penyairnya adalah suatu ruang pencerahan hidup. Ruang kerja kehidupan. Yang bergerak selalu searah dengan rutinitas, keadaan, dan kesibukan kita.
Yang kita maksud tentu saja seluruh puisi yang mampu dan harus bekerja setelah ia dinyatakan lulus sebagai puisi.
A : Iyah pak, benar sekali.
B : Tetaplah menjadi hebat, meskipun untuk diri sendiri. Sebab setiap pribadi adalah manusia dan kemanusiaannya. Dan tidak ada yg salah dari penciptaan oleh Tuhan. Maka selalulah merasa di taman diri yang mengatasi sulit, sambil menjadi taman segar wangi bagi semua. Maka kelir kupu-kupu, madu bunga, cicit burung, sepoi angin, bahkan hangat gerimis dan tarian hujan, serta buah cinta bersemi di situ.
A : Ia Pak, indah sekali kalimat ini.
----------
Saya hanya berfikir singkat. Kami, saya (B) dan dia (A), bisa saja cuma akan pernah berkomunikasi sesaat dalam hidup yang panjang ini. Jarak jauh pula. Atau bisa juga sebaliknya. Tergantung rahasia Allah. Tetapi, momen seperti itu pun mampu mengingatkan saya pada bangku sekolah tempat saya pernah mengajar dulu.
Kepada murid saya, Asep Nur Alam, Krismarlianti dkk, saya menatap mereka dan pernah bergumam, "Mungkin di kelas 6 SD ini kita cuma ketemu setahun saja. Pendek saja. Semoga jalan kalian dilapangkan Allah".
Setelah meninggalkan ruang kelas, maksudnya tidak mengajar lagi, di komunitas seni Bandung, saya punya asuhan, anak berbakat, Lungguh namanya. Masih SD. Padahal anggota komunitas seni yang saya bina sebagian besar SMA, sudah tamat SMA, mahasiswa, dan sudah tamat kuliah. Untuk Lungguh dan Femi, mereka dari sekolah yang berbeda, saya bergumam, "Semoga jatah pertemuan kita yang singkat bisa besar manfaatnya".
Tiba-tiba saya juga teringat Chairil Anwar. Katanya dia pernah lewat Sukabumi. Entah ketemu siapa saja dia di sana.
Kalau pertemuan setahun di kelas dan beberapa lama di komunitas saya sebut singkat, bagaimana dengan pertemuan di media sosial yang cuma bertanya-jawab langsung sekali dua kali?
Dengan Remy Silado misalnya. Saya cuma sekali pernah bicara langsung melalui massenger. Ini saya rasakan sebagai hal wajar di dunia media sosial. Sebab ketika kita suka melihat nama-nama dengan sejumlah catatannya yang muncul, kita bisa butuh menyapa langsung. Pun begitu dengan Jose Rizal Manua dll.
Hidup ini sudah simpul-simpul yang indah dengan sendirinya. Tuhan menguasai itu. Satu kalimat sapaan yang menentramkan, pun sudah bisa sebagai pernyataan yang banyak.
Lalu saya ingat pertemuan jarak jauh dengan aktor senior (alm) Didi Petet. Saya 'janjian rekaman' wawancara jarak jauh untuk kebutuhan siaran radio. Siaran Apresiasi Seni, dan seperti biasa, untuk pemberitaan LPS PRSSNI Jawa Barat. Sebagai jurnalis, itu sering saya lakukan pada siapa saja. Dan ternyata, 30 menit hasil wawancara saya dengan Didi Petet adalah pertemuan kami yang pertama dan terakhir. Tapi saya percaya, sebuah kalimat yang baik adalah pernyataan-pernyataan.
Kalau suatu saat ada yang cerita banyak soal Didi Petet karena merasa dekat dalam keseharian, mungkin saya akan milih menunduk diam. Karena saya tidak sehebat dan seberuntung itu. Tetapi saya masih bisa menghargai pertemuan yang berharga. Sungguhpun singkat. Bahkan yang singkat seperti ketika saya menyapa anak keecil yang pulang sekolah sendirian di atas angkutan umum atau di jalan raya. Bagi saya itu hebat. Sehingga pernah menginspirasi saya untuk bertanya di depan kelas SD dulu, "Saya mau mengajar di kelas ini, saya mau tanya, apa di sini ada orang hebat?" Semua murid diam. Lalu saya bilang, "Semoga semuanya".
Kembali ke pembicaraan singkat di awal yang saya kasih kode A dan B itu. Itu adalah satu contoh saja pembicaraan sekilas via massenger, WA, dan SMS yang saya terima. Dari banyak orang yang ngontek saya, yang singkat-singkat itu, entah di mana dan bagaimana mereka sekarang. Tetapi saya maklumi. Pertemuan sesingkat apapun, semua sudah punya kualitas, keindahan dan kesan-kesannya tersendiri. Saya hanya terus berdoa, "Semoga kita selalu dalam cinta Tuhan".
Bahkan sampai soal domisili. Saya pernah domisili di Bogor setahun. Itupun bolak-balik Jakarta-Bogor. Sehingga pertemuan dengan satu-dua tetangga cuma satu-dua minggu sekali. Tetapi saya berdoa, semoga itu pertemuan yang diberkati. Apalagi Bapak saya di masa lampau lahir di Bogor, waktu kakek tugas polisi di situ, sebelum hijrah ke Jawa Tengah dan punya anak, saya, di sana. Di tengah perkebunan kopi.
Kalau di suatu tempat tinggal yang singkat kita tempati, harapan nilainya begitu besar, bagaimana dengan tempat yang kita tinggali lama? Seperti ketika saya ber-KTP Purwakarta. Ada 10 tahunan. Saya bersukacita kepada seluruh kegiatan saya di Purwakarta. Kepada teman-teman saya bilang, "Bukan cuma pernah bersama, kita memang harus lahir dari tempat yang sama". Ya, saya orang Purwakarta.
Kepada keluarga besar saya di Manado, dari garis ibunya anak-anak, saya bilang, "Saya Manado". Itu biasa. Bahkan ketika ada sapaan cinta dari penyair Papua, maka saya Papua.
Kepada teman dari Flores (A) itu. Sesingkat apapun pembicaraan yang pernah terjadi. Meskipun jarak jauh. Itu adalah perjumpaan dua manusia yang telah direncanakan Tuhan. Saya seperti bicara pada semuanya sebayanya di Flores, dan semua sebayanya di tengah hidup manusia dunia.
Sebagai muslim saya pernah terpaksa berkata kepada Eliyasmi, pendengar setia acara Apresiasi Puisi saya. "Hati saya adalah alamat luas bagi seluruh Nabi. Bagi seluruh hamba Allah. Di sini saya tidak sendiri. Bahkan hidup bersama yang telah pulang dan seluruh yang akan lahir".
Semoga dari Flores dll kita bisa dengar nama-nama dengan kalimat besarnya. Kita baca puisi-puisinya.
Mari kita bangun dan jaga setiap perjumpaan yang serba singkat di manapun, kapanpun, dengan siapapun,--- meskipun tanpa kata-kata---, adalah pesan kemanusiaan mulia.
Ini tulisan likuran Ramadan, 1439-H, 2018.
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar