SOETOYO MS DALAM INGATAN

Ini tulisan lama yang tidak sengaja aku temukan di akhir Ramadan 1439-H jelang Idul Fitri. Saya yakin maksud Allah, agar aku (kami) mengingat segala kebaikan orang tua, meskipun telah tiada.
-----

In Memoriam
SOETOYO MADYO SAPUTRO
- Orang Hutan

Inilah bapakku, alm. Soetoyo Madyo Saputro. Sang inspirator. Legenda hidup di tempatnya. Ia menyebut dirinya Wong Alas (Orang Hutan) karena kesukacitaanya menjadi Kepala Perkebunan (Mandor Besar, Sinder & Kepala Kantor). Baginya pepohonan di alam bebas adalah kenangan dan keindahan. Burung dan air kali adalah nyanyian cinta. Matahari di ranting pagi adalah semangat harian kita.

Ia bangga di tengah rumahnya dihuni bongkahan-bongkahan pohon kopi tua yang dipernis. Sangat indah. Depan rumahnya bergantungan burung-burung, jalak kebo, jalak suren, kacer, kutilang, kepodang, perkutut, pelatuk, betet, dll. Disebutnya sebagai, teman hidup yang arif. Maka nasehatnya, perlakukan burung-burung sebagai teman, di alam bebas atau di dalam sangkar. Jangan pernah memelihara burung atau binatang apapun kalau tidak sanggup merawatnya.

Beliau lahir di Bogor, 1932 karena ketika itu ayahnya (mBah Kakungku) dinas polisi di Bogor. Mbah Kakung berasal dari Tembelang Wetan - Banyumas Jawa Tengah, meninggal di Purwokerto.

Bapakku bekerja di perkebunan kopi Curug Sewu Kendal, Jawa Tengah lalu pindah ke perkebunan Cengkeh Maranginan Ciemas Sukabumi Jawa Barat. Meninggal dan dimakamkan di Sukorejo Kendal. Keramat jiwaku.

Jauh sebelumnya. Sempat menjadi Kepala Sekolah SMP Islam Pring Sewu Bandar Lampung, bahkan di sana sempat memiliki anak, kakakku yang pertama, Eko Kurniasih. Maka bapakku sangat serius dalam hal pendidikan. Sempat kerja juga di Jakarta di suatu intansi TNI Angkatan Darat. Sampai ada tanda di ujung kakinya, seumur hidup, bekas tersrempet mobil di Jakarta.

Sejak aku kecil (Upam, nama kecilku singkatan dari Pambudi), bapakku selalu nanya cita-citaku. Itu bagus dan mendidik karena ia akan bertindak dan bernasehat sesuai dengan cita-cita anaknya. Ia pendidik di rumah. Waktu SD kujawab, tentara! Maklum, paman-pamanku tentara. Meskipun ada juga yang dokter, dosen dan apoteker. Maka bapakku ngalah, ia seperti fokus menjadikanku calon tentara. Matematikaku minimal harus nilai 7. Setelah aku tamat SMP dia berbisik, umur kerjanya mungkin gak lama lagi pensiun, bagaimana kalau aku dari SMP langsung sekolah Penyuluh Pertanian di Bogor atau Sekolah Guru di kota Sukabumi. Karena aku ke Bogor, untuk penyuluh pertanian tutup, aku pilih SPGN. Yakin. Motoku saat itu: "meraih rengking jauh lebih mudah daripada mengejar nilai". Tetapi bapakku tahu bakat menulis dan kesenianku tinggi. Sejak masa sekolah nulis untuk Surat Kabar. Ia curiga, aku bisa belok jadi wartawan atau seniman kalau mau. Apalagi setelah aku terpilih jadi peserta terbaik nasional pendidikan jurnalistik di Jakarta. Maka dia berdoa, setelah aku mengajar 2 tahun lalu pindah ke dunia radio, "semoga jalanmu jalan terbaik, menjadi Orang Radio Indonesia sambil terus menulis".

Selama aku kerja di dunia radio, dia melihat aku sangat dekat dengan anak-anak sekolah, seperti layaknya seorang guru. Bahkan aula radio selalu ramai oleh berbagai kegiatan anak sekolah. Dalam lubuk hatiku terdalam, akupun masih guru, Guru Luar Sekolah, guru jalanan. Apalagi aku Ketua Karang Taruna Kelurahan dan pembina Remaja Mesjid.

Bapak memiliki istri pertama, ibuku Utj. Hj. Dra. Siti Djalaliyah (kelahiran Jogja). Berpisah karena sekitar tahun 70-an ibuku memilih beraktifitas pendidikan dan dakwah di Jakarta. Lalu bapakku menikahi istri keduanya asal Sidodadi Kendal, Ibu Rukini.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG