BADA (LEBARAN) BESAR

MEMELIHARA TANGIS

tangis sholat
tangis kitab suci dan 
tangis dakwah

Kemayoran, 06072018
#puisipendekindonesia

Hari ini temen teknisi senior di kantor tempat saya kerja bagi-bagi kue. Tentu supaya mendapat berkah Allah dan doa selamat, supaya dilancarkan keberangkatannya naik haji, hingga pulangnya kelak.

Sambil menikmati kue itu segigit demi segigit, diselingi minum kopi hitam, saya jadi teringat niat saya mau nulis soal budaya Jawa tentang Bada Besar (Bodho Besar), yang secara nasional disebut Lebaran Besar.

Niat ini sudah ada waktu Idul Fitri kemarin gara-gara ada narasumber di TV yang menjelaskan bahwa, sesungguhnya lebaran besar itu ya Idul Adha, tetapi di Indonesia lebaran besar itu justru Idul Fitri. Ketika itu saya gak niat menyalahkan si narasumber. Saya cuma mau bilang, dari sudut pandang tertentu, memang ada tiga hal. Pertama Idul Fitri lebih sensasional secara kesemarakan baju baru, makanan-makanan, silaturahmi, ziarah dan wisata. Maklum, habis menahan lapar sebulan. Tiba-tiba merasa cerah luar biasa di hari Id. Kedua, idul fitri dipersepsikan memasuki ruang halal, yang populer secara tradisional dengan sebutan halal bihalal. Maka itu sebentuk sambutan antusias dan optimis, hidup bahagia di dalam halal. Dan ketiga, ada juga sebagian masyarakat yang memang sungguh-sungguh tidak tahu bahwa Idul Adha adalah perayaan terbesar jika dibandingkan dengan Idul Fitri.

Tetapi dalam logika saya, yang disebut perayaan terbesar, ukurannya tidak harus dari sisi 'hiburan'. Sebab terbesar yang sesungguhnya adalah kadar besarnya. Keagungannya. Maka itulah saya tertarik bicara konsep penerimaan ala Jawa yang populer dengan sebutan Bada Besar. Yang artinya, sesungguhnya dari jaman lampau, dalam kontek kearifan dan kecerdasan lokal, sudah sampai pemahaman lebaran besar itu di banyak masyarakat. Justru yang terjadi saat ini adalah kemunduran karena ketakutan mengurai tafsir. Sebab mengurai tafsir cenderung bisa mengangkat banyak tradisi lokal. Sedangkan jika tafsirnya lebih tertutup, maka hanya yang datang dari Arablah yang lebih menonjol. Padahal syiar Nabi SAW tidak demikian.

Seperti dalam tradisi Bada Gede atau Bada Besar itu. Saking lekatnya dengan sisi kehidupan masyarakat tradisional, sampai-sampai, kami, sejak kanak-kanak tidak menyangka kalau awalnya seremoni perayaan itu berasal dari suatu jazirah tertentu. Yang saya tahu sejak kanak-kanak, itu adalah adat Jawa dengan segala khasnya. Tetapi waktu itu kalau yang sudah dewasa tentu sudah banyak tahu, karena sudah ngaji sana-sini. Sudah tahu tarikh Islam.

Maka sepintas memang akan terdengar keliru ketika ada orang, apalagi tokoh utama berkata, "Di Indonesia telah terjadi hal yang berbeda, lebaran besar justru Idul Fitri". Seolah-olah kalimat pernyataan itu tidak diikuti kepekaan membaca sejarah. Dan cenderung melulu menjatuhkan Indonesia. Menghapus kecerdasan dan kearifan lokalnya. Lupa bahwa penerimaan bukan karena soal kelapangan penerimaan, tetapi pada tokoh tertentu yang berpengaruh adalah antusisme sesadar-sadarnya karena sudah tahu, telah dan harus melakukan apa? Dan akan terjadi perkembangan suatu apa yang bagaimana? Ini hidayah kebangsaan. 

Sebagai seorang anak, mungkin juga dialami oleh banyak orang, dulu saya dapat penjelasan dari Bapak saya, Soetoyo Madyo Saputro bin Marto Miredjo. Menurutnya, lebaran haji itu adalah lebaran paling besar. Setelah itu baru Idul Fitri sampai Jum'atan. Jum'atan seminggu sekali itu termasuk hari raya kecil yang punya makna strategis sangat besar. Meskipun tidak ditandai pesta dan panganan macam-macam, karena letak kuncinya ada pada ukhuwah Islamiah. Berkumpul dan bersatunya hati manusia seiman.

Idul Adha atau lebaran haji disebut lebaran besar atau Bada Besar di tanah Jawa karena letak kesejajaran manusia di muka bumi di hadapan Allah, berkumpul di titik kiblat, menunjukkan derajat 'nilai haji' yang tinggi, jiwa pengorbanan yang besar untuk kemanusiaan (peradaban), dll. Ringkasnya, bicara mulai dari inti tauhid, bayi telanjang, kesetaraan, sampai langkah besar manusia di muka bumi dengan nilai-nilai tingginya. Itulah yang besar itu. Sedangkan pada Idul Fitri, bermula dari rasa syukur telah melewati proses latihan yang serius. Terlebih-lebih di kalangan awam dan anak-anak. Meskipun garisnya tetap akan sampai di puncak ketinggian iman manusia. Kebesaran ajaran suci. Mustahil terputus.

Satu hal lagi, dalam perjalanan umat manusia, sejarah Idul Adha juga menarik garis dari masa Ibrahim AS. Sehingga menjadi sebentuk prinsip, tidak melupakan sejarah ajaran mulia sepanjang zaman. Ini utama.

Pada suatu rentang masa berfikir saya sempat juga bertanya, apakah Nama Ibrahim yang menginspirasi sebutan Brahmana? Setidaknya pada masa awalnya? Setelah itu baru saya temui beberapa tulisan di internet tentang orang-orang yang juga mempertanyakan itu.

Dalam hal sikap kritis, tidak cuma mempertanyakan soal Ibrahim dan Brahmana. Saya juga telah bersikap yakin, jika ada agama yang lebih benar dari Islam, saya mesti meninggalkan Islam. Itu wajib hukumnya. Dan nyatanya sampai detik ini saya tetap muslim yang kuat. Hal ini tidak dalam kontek membandingkan agama. Melainkan sebagai jalan menemui kebenaran Islam yang tidak terpatahkan.

Saking besarnya Idul Adha, ini jujur, saya bisa menikmatinya pada aura mereka ibu-ibu Jawa yang merayakannya, meskipun cuma sebatas memuji-muji kebesaran hari Idul Adha menyambut suara takbir, meskipun mereka tidak memakai jilbab. Bahkan cuma jaritan dan berkain seadanya (berkebaya kampung). Atau cuma pakai daster. Bahkan Idul Adha selalu sama sekali tidak identik dengan pakai baju khusus. Semua serba apa adanya. Natural. Yang sedikit beda dan semarak adalah kabar potong hewan qurban dan wangi daging di mana-mana.

Sebagai anak kecil yang baru kelas dua SD dulu saya sempat nanya, kok Bada Besar seperti ini? Kok beda? Maksudnya tidak sama persis dengan Idul Fitri. Bapak dan para tua selalu menjawab sama, "Ini lebarannya Haji, jelas beda". Spontan saya berfikir, kita cuma ngikut bersyukur meskipun yang sedang lebaran Pak Haji. Tetapi di belalakang hari saya baru sadar, bahwa nilai hajilah yang sedang dinaikkan setinggi-tingginya. Pantas saja para haji itu dipuji-puji, sebab mereka dianggap atau diharapkan  sebagai pihak yang paling mampu mengejar nilai kehajian itu. Kalau tidak gagal. Sebab kalau gagal, ya seperti Pak Haji di kampung yang malah dimusuhi warga karena cela dan dosanya.

Bagi para dewasa yang sudah terbuka kap-nya, tutupnya, daya nalar dan keinsyafan hatinya, sehingga tidak ditutup kekafirannya, begitu mendengar kata HAJI, dia akan langsung ketemu dengan sistem nilai dan ketinggian nilai, tidak cuma berhadapan dengan sekedar gelar.

Kalau cuma sekedar mengejar atau memberi gelar, alangkah jorok dan cerobohnya sebuah syariat atau hukum. Bayangkan, hanya karena seseorang sudah pernah pergi ke suatu tempat, lalu ia bergelar Haji. Apa istimewanya? Analoginya bahkan tidak menembus peristiwa seseorang yang pernah ke pantai kemudian berjuluk, "Dia pernah ke pantai". Sebab kalau dia pernah ke pantai, memang berarti 100% bertemu pantai. Tetapi kalau seseorang merasa telah sampai ke titik Haji, berarti dia harus menjadi Haji sejati. Apakah haji sejati bisa dibeli oleh sekadar bisa pergi? Karena kebetulan punya uang?

Meskipun demikian. Sungguhpun sangat besar cobaan hidup manusia. Berawal dari kesadaran pada nilai haji dan sikap ihlas berkorban untuk kemuliaan Allah, maka diharapkan seseorang mampu melewati tahapan kesadaran dan kesaksian yang lebih baik. Apalagi urutan berhaji itu, dari mulai persiapan dan niatnya sudah menunjukkan ajaran haji itu sendiri. Kita tentu bersukacita atas hal baik ini.

Bagi yang belum berkesempatan berangkat ke Tanah Suci Mekah, setidaknya paham hajinya bisa sampai ke titik mencerahkan. Apalagi Allah juga memberi kabar gembira, yaitu ibadah-ibadah yang setimpal dengan naik haji ke Tanah Suci Mekah itu.

Merujuk pada prinsip haji, semangat berkurban, ukhuwah Islamiah, dll itu kita sudah bisa langsung menginsyafi, ini posisi hari besar yang tinggi untuk jadi pengingat pribadi muslim dan menjelma menjadi kesadaran sikap dan perbuatan sehari-hari. Subhanallah.

Maka kepada anak-anak saya, saya telah kabarkan bersukacitalah dalam fitrah Idul Fitri, dalam silaturahmi, hidup halal dan saling berbagi. Tetapi menjadilah penegak tauhid di hari besar, Bada Besar, Idul Adha. Berjiwalah sebagai haji.

Apalagi anak laki-laki saya lahir di malam takbir Idul Adha, setidaknya dia punya kenangan yang penuh motivasi. Meskipun sudah saya luruskan, biar tidak ujub, ria, dan takabur, bahwa pada hakekatnya setiap muslim itu lahir dari Idul Adha. Atau sebutannya Generasi Idul Adha. Dan selalu menjaga kesuciannya seperti dalam paham Idul Fitri itu.

Bahkan di hari terakhir Bapak saya sebelum meninggal, yang saya anggap sebagai momen perpisahan tertinggi, adalah ketika sholat Idul Adha berjamaah di suatu lapangan bersama alm. Bapak. Di saat itu sebagai hamba Allah yang kecil, saya menangis tiada terkira dalam sujud. Dan sejak saat itu kami tidak bisa bersama lagi. Beliau dipanggil pulang oleh Allah Swt. Secara universal, berusaha mematahkan ego kebetulan, kita semua yang telah kehilangan orang tua, pasti akan teringat suasana di dua hari raya itu. Dan di dalam Idul Adha pasti banyak bicara soal tauhid, haji, dan semangat berkorban. Lebih bersifat kontemplatif bagi KAUM DEWASA. Apalagi bagi para dewasa yang telah berumah tangga, yang harkat martabatnya lebih disoroti masyarakat.

Sebagai muslim yang juga seniman dan penyair, kebetulan juga saya merasa diantarkan pada suatu titik tertentu dengan memahami tiga tangis saya. Pertama tangis shalat. Ini istilah saya untuk menggambarkan masa-masa tinggal di asrama waktu SMP. Padahal sholat wajibnya masih bolong-bolong. Tetapi tiap kali mau wudu untuk sholat maghrib, saya selalu menitikkan air mata. Bagi saya, itu adalah totalitas penyerahan diri kepada Allah yang maha mulia. Bahkan saya terlalu berani memohon, semoga sholat saya yang bolong-bolong itu tidak merusak jatah pahala lima waktu sehari semalamnya. Sebab menurut keyakinan saya hingga saat ini, sholat wajib itu memang lima waktu. Kedua tangis Al-Qur'an (sekaligus tangis rutinitas kerja), sebab saya menangis tersedu-sedu sambil sujud di mushola kerja, dalam proses menghatamkan tafsir Al-Qur'an di meja siaran (saat tidak on), dan menemukan ruang terbuka yang luarbiasa. Yang tak bisa diuraikan dengan kata-kata. Yang memastikan saya mustahil menampung cahaya firmannya, kecuali sedikit demi sedikit yang paling dekat dengan keseharian hidup. Dan ketiga adalah tangis dakwah. Saya sebut demikan, sebab di suatu gedung dakwah, di PUSDAI Jawa Barat, pada suatu sholat Jum'at saya menumpahkan tangis yang besar. Dalam ketakberdayaan saya, semoga kehadiran saya dalam hidup sudah mendatangkan kalimat mulia sebagai pesan dakwah. Sungguhpun untuk itu tidak banyak yang bisa menahami dengan mudah. Apalagi pesan dan gerak dakwah itu bisa digunting oleh fitnah dari orang yang menyadari, harus lebih menang dalam dakwah. Sungguhpun itu sesuatu yang aneh. Meskipun demikian saya sangat cinta istilah prikemanusiaan yang adil dan beradab, yang bertauhid kepada Allah Swt. Yang percaya penuh, Allah bekerja.

Dari uraian singkat saya ini, sesungguhnya orang-orang sepuh di tanah Jawa dulu telah sampai pada derajat ngajinya, pada ketinggian yang mengagumkan. Dan berpengaruh. Sampai saya merasa sangat dipengaruhi sejak.masa kanak-kanak. Padahal tidak bernasib baik berkubang di pesantren. Meskipun hati saya tetap pesantren.  Oleh karena itu ada istilah, Orang Jawa itu Orang Soleh. Orangnya baik dan ramah. Sekaligus tegas dan berwibawa. Dalam prinsip rahmatan lil alamin, watak Jawa itu mengayomi sehingga banyak yang dipercaya atau dijadikan pemimpin. Dan ini sangat menradisi.

Celakanya, beratnya beban pada masa-masa penjajahan dulu, telah mengganggu masyarakat kita pada sisi kemiskinan jasmani dan rohani. Ini bukan asumsi. Karena banyak tulisan yang menunjukkan syiar Islam teganggu di masa penjajahan itu. Sehingga kecerdasan dan kearifan lokal yang telah terbentuk dan tersosialisasikan seakan sirna perlahan. Yang akhirnya harus terus didongkrak lagi sejak era pra-kemerdekaan.

Bahkan di masa-masa perang kemerdekaan, Panglima Besar Soedirman menurut saya, adalah satu pihak berpengaruh yang sangat mampu membangkitkan kesadaran keislaman dalam berbangsa dan bernegara, dengan secara pribadi tidak kikuk bertradisi Jawa. Yang secara nasional juga mengingatkan, jangan kikuk dalam berislam, berbangsa dan bernegara dengan tradisi baik di daerah masing-masing. Termasuk bebas merdeka merasa sebagai Wong Jowo yang khas, atau merasa orang daerah manapun dalam ber-Idul Fitri dan ber-Idul Adha. 

Bada Besar atau Bada Pak Haji, adalah bentuk penerimaan yang  serius dari tradisi Jawa. Menganggap Idul Adha adalah bagian integral dari kehidupan di tanah Jawa. Ini tentu berita gembira bagi siapa saja. Termasuk berita gembira bagi saudara-daudara semuslim di jazirah Arab sana. 

Perkara ada yang menganggap Idul Fitri di Indonesia lebih semarak, itu karena sudut pandangnya dari arah tertentu. Padahal secara keilmuan, Idul Adha di Indonesia dari sudut pandang yang lain bisa disebut lebih semarak. Meskipun sekali lagi saya katakan, ada juga kalangan anak-anak dan kaum awam yang menilai Idul Fitri itu lebaran utama. 

Apa menurut anda perlu pembalikan tradisi? Gimana logikanya? Sehingga bagi-bagi THR dan mudik lebaran bersama dan mudik gratis itu mulai tahun depan dilaksanakan setiap jelang Idul Adha? Bagaimana? Lalu di mana letak strategis tradisi itu dengan NILAI HAJI? Padahal secara awam, banyak tradisi lebaran Idul Fitri itu berkaitan dengan 'hadiah' puasa. Yang artinya, sikap itu tidak sedang menomorduakan idul adha atau Bada (bodho) Besar. Itu semacam spontanitas belaka. Sedangkan mimbar-mimbar Idul Adha sudah punya kalimat besarnya sendiri. Tak tergoyahkan. Subhanallah.

Selamat bersiap-siap memberi doa selamat dan mengantarkan rombongan jemaah haji, ngaji Idul Adha, serta menemui nilai haji di situ.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG