TAK ADA BAYI TERLAHIR SESAT

ANAK MANUSIA

anak-anak
bukan
anak-anak

Kemayoran, 2010 - 2018
#puisipendekindonesia 
------ 
Saya mulai tulisan ini dengan bertanya kepada BAYI ROSULULLAH SAW. Jika, hari ini kita di hadapan Nabi SAW yang baru dilahirkan oleh Bunda Aminah, sebagai bayi dalam buaian, apakah Bayi Rosul bisa menjawab? Bisa bicara? Ya. Sebab ilmu Nabi Isa AS adalah juga ilmu Nabi Muhammad SAW maka iapun akan menjawab. Tentu seraya menjelaskan itu ilmunya putra Bunda Maria atau Bunda Mariam.

Lalu siapakah sesungguhnya yang menjawab pada diri Bayi Rosulullah yang merah, polos, dan bercahaya itu? Jangan harap yang menjawab adalah sisi ketidakberdayaan seorang manusia seperti persangkaan kita. Jelas yang menjawab adalah cahaya kerasulannya. Dan cara kita bertanya dan bentuk pertanyaannya pun harus melewati ikatan ilmunya. Harus sampai pada disiplin ilmunya. Tidak serampangan seperti bertanya sekenanya, sekadar menguji-nguji dengan keyakinan bahwa seorang bayi mustahil bisa menjawab. Sebab jika demikian, Allah akan mencatat, "Kamu salah bertanya, salah pertanyaannya, dan salah pula siapa yang ditanya!"

Itu sebabnya mengetahui Rosulullah sejak Nur-Muhamnad hingga menjadi Bayi Rosul yang dilahirkan, hingga tersaksikan bukti keteladanannya, hingga Allah menyebut, "Dengar dan taatilah kata-kata Rosulullah SAW", harus memakai MA'RIFATUR ROSUL. Memakai ilmu, melihat kerasulan pada diri Rosulullah SAW. Seperti ketika Nabi SAW menerima kalimat Allah, setelah melihat, bersaksi atas kerasulan pada dirinya dengan ucapan populernya, "Akulah Muhammad utusan Allah".

Mari kita tanya, "Ya Rosul, siapakah yang menyuruhmu hadir di antara kami?" Saksikan dan yakini bahwa kerasulannya pada Bayi Rosul itu akan menjawab, "Aku diutus Allah SWT". Dia menjawab menggunakan mulut, wajah yang bercahaya, dan dengan menggunakan kalimat dalam bahasa yang sangat mudah kita mengerti, yang sangat kita kenali, tetapi bersifat khusus. Khusus karena harus ditemui melalui ilmunya. Maka apakah Bayi Rosul itu bodoh dan sesat?  

Di dalam Bayi Rosul ada kemuliaan manusia.

Sedang Nabi Sulaiman AS mampu bertanya kepada seekor ular, "Dimanakah harimau?" Dan ular itu akan menunjukkan tepat, persis di mana posisi harimau berada. Lengkap dengan penjelasan titik koordinatnya. Sebelah utara apa, berapa meter dari sesuatu apa, bahkan seberapa dalam kuku tengahnya menancap pada tanah. Padahal itu jawaban binatang, yang tidak punya nilai kemuliaan manusia. Dan Nabi Sulaiman bertanya dengan menggunakan ilmunya. Tidak seperti orang bercanda, yang bertanya asal-asalan kepada binatang tertentu.

Lalu kita teringat kesaksian jembatan timbangan. Dia tidak hanya bisa bersaksi seberapa berat mobil yang baru saja lewat. Bahkan bisa ditanya malaikat, berapa orang yang telah lewat dalam satu-dua jam terakhir, dan beralas kaki apa saja atau tidak. Untuk itu ada pesan hikmah, "Kepada seseorang yang berzina atau menyiksa di balik tembok yang sepi, dan yang berbahong kepada anak-anak, bahkan tembok itu akan bersaksi dengan ketepatannya, seperti halnya janji Allah, akan bersaksi seperti ketika tangan dan kaki pelakunya bersaksi".

Pertanyaanya, apakah cahaya kerasulan yang bisa menjawab semua pertanyaan pada diri Bayi Rosul itu lebih rendah atau setidaknya sepadan dengan ular dan tembok yang bicara? Marilah bersyukur kepada Allah sesungguh-sungguhnya bersyukur, justru cahaya Rosul SAW dan para Nabi Allah semua, dalam kuasa Allah SWT, yang telah mengungkapkan segala rahasia, yang menangkap kalimat-kalimat Allah pada binatang dan tembok itu untuk keselamatan dan kesejahteraan hidup manusia, sebab binatang dan tembok tidak punya kenampuan untuk menjelaskan. 

Dan, apakah Bayi Rosulullah dalam keadaan sesat?

Kalau ada pihak yang mempertanyakan dalil-dalilnya, saya tegaskan, melalui ma'rifatul kitab atau ma'rifatul Qur'an, yang menyatu dengan jiwaraga kita, pada diri seorang intelektual muslim dan pada hamba Allah yang pandai berserah pasti sudah atau mudah menemukannya.

Saya terusik untuk bicara bayi pada kehidupan manusia karena sudah lama saya punya fokus pada bayi. Bahkan waktu sekolah SMA/SPGN saya aktivis di Saka Kencana (Satuan Karya Keluarga Berencana). Dalam latihan-latihan awal, kami diberitahu cara menyukseskan program segala pelayanan di Posyandu, salahsatunya adalah cara membantu menimbang bayi. Itu hidayah yang besar. Tersirat pesan memanusiakan atau memuliakan kemanusiaan bayi.

Walaupun masih berseragam putih-abu, di dalam kelas saya sudah berdoa, "Ya Allah, alangkah bahagianya jika hambamu ini kelak dikaruniai anak-anak dan generasi yang soleh".

Saya bikin pengandaian.  Seorang bayi, ---dalam syariat Islam dikenal dengan istilah, bayi yang telah diazani---  maukah dia diajari membanting gelas sembarangan atau melemparkannya ke muka orang lain oleh orang tuanya? Pasti sisi kemanusiaannya yang selamat akan menjawab, "Itu sesat!" Apa buktinya? Nanti setelah balig (menyadari kebaikan dan keburukan) dan setelah tersusun kalimatnya, dia akan bersaksi sebagai perlawanan, "Orangtua saya tidak pernah mengazani saya, meskipun pernah terdengar seperti suara azan dari mulutnya di depan keluarga. Mereka pernah memaksa saya untuk berbuat sesat begini dan begitu". Itu kesaksian yang Allah nyatakan. Yang sekaligus menjelaskan, bahwa Allah telah memberi amanah kepada para orangtua untuk senantiasa istikomah di jalan lurus, jangan pernah menipu bayi, sebab bayi tidak buta dalam kuasa Allah,  karena Si Bayi dan masyarakatnya kelak pasti bersaksi atas apa yang telah terjadi. Itu disebut garis tumbuh kembang manusia yang dijaga malaikat sejak dari 'benih di rahim ibu' hingga kelak lahir dan dewasa.

Jangan sembarangan dengan teori dan prinsip bayi yang diazani. Secara syareat itu menunjukkan bahwa sejak bayi, siapapun mesti dipanggil ke jalan cahaya, cahaya ilmu mulia. Tetapi secara hakiki, hanya manusia yang berkemanusiaanlah yang pantas disebut manusia. Maka terminologi purba yang menyebut, "telah lahir anak manusia", artinya telah lahir anak kebaikan, bukan anak kesesatan. Itulah hakekat anak-anak Nabi Adam AS. Kecuali seorang anak Adam yang tersesat oleh hawa nafsunya itu.

Kalaupun ada satu anak Adam yang tersesat setelah melewati usia balig, itu semata-mata karena nafsunya kalah oleh godaan syetan. Mengingkari fitrah kemanusiaannya. Justru terjadi setelah sadar akan baik dan buruk. Yang sesungguhnya menjelaskan kepada kita sejelas-jelasnya, ada pengingkaran fitrah kemanusiaan di satu sisi karena nafsu duniawi, dan pada sisi yang lain menunjukkan penjelasan, ada nubuat fitrah (suci) pada pembawaan para bayi, yang telah diingkari oleh satu anak Adam itu.

Jadi, pembawaan bayi itu suci. Tidak sesat. Bahkan dalam perayaan Idul Fitri setiap tahun kita diperkenalkan atas kehidupan tiap hamba Allah yang kembali fitri seperti bayi. Sebuah pembelaan pada prinsip bayi suci. Sehingga teori bayi suci bukan cuma milik momen Maulid Nabi SAW.

Dari banyak ilmu yang dilindungi Allah, ada satu yang saya akan sampaikan sesuai logika normal. Logika lurus. Adapun hakekat, teori, prinsip, dan argumenasi lain, asalkan yang lurus-lurus, bisa dijelaskan oleh pihak lain. Sebab seluruh kebenaran dan kemuliaan, apapun, adalah kesatuan, kebenaran dan kemuliaan Allah semata.

Begini. Secara tradisional ada kecerdasan dan kearifan lokal yang telah dikuasai oleh para intekektual, ahli hikmah di pulau Jawa dan Nusantara: Bahwa kalau ada peristiwa pencurian, hal itu bisa ditanyakan kepada seorang bayi, siapa pencurinya? Nah bagaimana salahsatu cara memahami landasan ini? Sekali lagi, bertanya kepada bayi atau anak adalah landasan kemanusiaan.

Begini. Anggap di depan kita ada seorang pencuri yang tidak mau mengaku. Dan kita dalam keadaan tidak tahu. Lalu kita berfikir empatik, jika kita adalah orang di depan kita itu, yang mencuri itu, apakah kita akan tahu siapa pencurinya? Tentu kita akan tahu, 100% bakal tahu, sebab kitalah pelakunya. Darimanakah penjelasan yang 100% benar itu kita dapat? Pasti dari titik kejujuran kemanusiaan kita yang selamat. Sekali lagi saya tulis dalam huruf kapital, PENJELASAN YANG BENAR ITU KITA DAPATI DARI KEJUJURAN KEMANUSIAAN SESEORANG YANG BERBUAT. Ya, kemanusiaan yang selamat memang selalu jujur. Sebab dia takut kepada Allah Yang Maha Mulia yang sanggup menghinakan yang hina. Sedangkan kesesatan pasti tidak mau jujur, karena dia sedang dalam keangkuhannya melawan Allah.

Kedua, ini tanpa mesti berempati. Anggap memang kitalah pencurinya. Apakah sisi kemanusiaan kita yang selamat akan jujur bersaksi kepada diri kita sendiri di hadapan Allah bahwa kita yang mencuri? Tentu saja! Sebab sisi kemanusiaan manusia yang selamat tidak akan pernah bisa berbohong atas baik dan buruk. Sedangkan sisi sesat yang dikuasai syetan terus saja gelisah dan gelagapan dalam upayanya untuk berkelit.

Nah! Sisi kemanusiaan kita yang selamat, yang jujur itulah BAYI YANG DIAZANI. Yang berada di jalan lurus, atau yang selalu terpanggil ke jalan lurus. Masabodoh dia berumur 14 tahun, 20 tahun, atau 35 tahun. Itu hanya soal fisik. Sebab hakekat kemanusiaan yang selamat itu bersifat goib bukan bentuk fisik. Jadi apa bedanya sisi kemanusiaan yang selamat pada orang dewasa dan bayi? Sebab bayi merahpun ketika ditanya, "Siapa pencurinya?" Kalau saja sensor jawabnya difungsikan dengan baik dia akan berkata, "Dengan mencukupkan pengetahuan saya seperti pengetahuan si pencuri pada dirinya, maka saya pasti tahu siapa pencurinya".  Itu artinya si bayi tahu ilmunya. Atau, seperti pada contoh bertanya kepada Bayi Rosul di awal tulisan ini, selalulah bertanya kepada bayi itu dengan cara khusus, maka dengan gamblang dia akan menjawabnya sebagaimana manusia umumnya berbicara. Tidak perlu ada roh yang nyurup kepada tubuh bayi sehingga bayi menjawab dalam keadaan tidak sadar, seperti halnya masuknya roh tertentu kepada orang dewasa sehingga orang dewasa itu bisa menjawab tanpa sadar. Sebab yang kita maksud justru si bayi menjawab secara sadar. Bukankah Bayi Isa Almasih pun menjawab dalam keadaan sadar, bukan dalam keadaan tidak sadar? 

Kalau kita memahami hakekat titik berdiam bayi yang suci. Yang dalam posisi sempurna kemanusiaannya yang selamat. Hakekat ini ada pula pada orang dewasa siapa saja, termasuk pada diri si pencuri, tetapi diingkari oleh perbuatan si pencuri yang jahil sehingga hidupnya tidak mengekspresikan bayi kemanusiaannya yang FITRI.

Jadi kalau saya mencuri, saya akan tersaksikan oleh diri bayi saya sendiri, yaitu hakekat kejujuran kemanusiaan saya  yang selamat.

Bayi diri saya yang polos, tidak berdosa, selalu telanjang dan wangi itu akan bersaksi, "Inilah pencurinya, inilah penjahatnya, inilah orang yang menyiksa dirinya sendiri, yang mengingkari fitrah kemanusiaannya".

Selanjutnya, yuk kita tanya sisi bayi pada diri si pencuri itu ---jangan bertanya kepada si pencurinya yang selalu berkelit--- dengan perantara ilmu. Apakah bayi pada dirinya akan berkata jujur? Tentu saja. Dan nanti kalau si pencuri itu sudah berucap jujur, mengaku salah dan bertobat, itu pun kalimat dari bayi dirinya. Itulah bayi yang menjawab dengan terang. Kemanusiaan yang selamat, yang tak mengenal umur, tak pernah ingkar janji.

Bahkan ketika si pencuri tidak mau mengakui perbuatannya, lalu kita mendengar ada satu-dua saksi yang amanah, yang nyata-nyata punya bukti kuat atas perbuatannya, seperti yang sering terjadi pada proses persidangan sehingga meyakinkan para hakim, maka sesungguhnya, hakekatnya, itu jawaban yang dimiliki oleh 'si bayi' juga. Kejujuran 'kemanusiaan yang selamat' dalam diri si pencuri. Memang demikian faktanya.

Jadi bayi mana yang sesat? Islam menyebut, semua bayi lahir dalam keadaan Islam. Dalam keadaan suci. Tidak berdosa. Tidak sesat. Apalagi dalam kontek kerasulan. Yang sesat adalah manusia yang terpengaruh nafsu syetan laknatullah. Dia berdosa. Termasuk tukang mencuri atau merampok itu. Dalam hukum positif dia bisa diancam sanksi potong tangan atau diganti dengan dipenjara.

Sebelum saya melanjutkan tulisan ini, saya mau berpesan, yuk dekati para bayi yang lahir dari siapapun tanpa kecuali sebagai keindahan Islam, berikan doa-doa selamat apapun untuknya, yang hakekatnya segaris dengan kita berucap, "selamat kamu di jalan lurus, benar-benar tak ada rencana jahat yang kamu persiapkan sejak di rahim ibu, kecuali jika kelak kamu memilih berdosa, ingkar sunah (ingkar kebenaran dan kemuliaan). Maka janganlah sampai demikan". Lalu, yuk kita kecup atau elus keningnya. Itu tangis sekaligus sukacita kita dalam menyambut kelahiran-kelahiran yang tidak pernah selesai. Dalam bahasa tradisi biasa disebut, "maulidan".

Jika teman kita punya anak, tetapi kita baru tahu setelah umur tiga-empat tahun, maka janganlah merasa telat untuk mengucapkan kalimat serupa ini, "Alhamdulillah, semoga kamu menjadi anak soleh. Selalu berbuat dengan kesolehanmu". Itu sama dengan kita mengucap, "Alhamdulillah, tetaplah dalam kesolehanmu yang dilindungi Allah. Jangan bergeming". Dan ucapan kita beserta kecupan dan elusan itu, termasuk menyentuhnya dengan bunga di keningnya atau wewangian, sesungguhnya sama saja, itu menyambut kelahiran. Menyambut fitrah bayi. Itu maulidan namanya.

Dalam bahasa Jawa kita mengenal istilah, difitrahan. Diminta kehadiran solehnya dari seorang manusia. Misalnya dengan cara seorang anak atau remaja ----tidak cuma pada bayi yang baru lahir--- dikecup atau disembur ubun-ubunnya oleh nenek atau kakeknya. Saya mengalami itu. Sehingga saya selalu hidup dalam doa-doa nenek di ubun-ubun saya.

Dalam menjunjung tinggi dakwah Rosulullah SAW, maulidan (mengingati kelahiran Nabi SAW) yang dilakukan oleh generasi Islam adalah memperingati kelahiran Nabi SAW, sebagai garis lurus dari sejak Nur Muhammad, menjadi bayi yang dilindungi Allah dan para malaikatnya, dan tumbuh kembang dalam kemuliaan. Tak ada kesesatan sama sekali dalam prinsip garis lurus ini. Tidak semata ditujukan pada saat Nabi SAW umur 0 atau umur sekian. Lalu nikmat ilmu mana yang mesti kita hinakan?

Sekilas tentang 0 (titik nol) kita mesti memahami kelaziman. Seseorang itu diam (nol) dan bergerak (nol koma dst). Bahkan diamnya (0-nya) adalah pilihan suatu gerak. Maka berdiam dan bergeraknya mesti di dalam tempat mulia. Itu manusia berkemanusiaan yang selamat namanya. Maka 0 pada bayi yang baru lahir pada detik pertama, kemanusiaannya yang selamat sesungguhnya sudah berteriak meminta, "Saya manusia. Saya berkemanusiaan. Saya butuh cahaya kemanusiaan. Mustahil tidak. Saya selamat, tentram dan bahagia kalau tidak sesat. Sebab hanya dengan itu saya bisa bergerak sebagai manusia selamat. Lalu kepada siapakah diamanahkan kalimat-kalimat bayi ini?" Apakah teriakan bayi dari ruang hakekat ini menunjukkan bayi di detik 0 itu sesat?

Maka sambutlah dengan azan Sang Ayah sebagai jawaban, "Padaku atas kuasa Allah ada yang kau minta, seperti aku tahu: selamat, tentram dan bahagiamu tidak cuma butuh air susu, makan dan minum, tetapi lebih utama dari itu butuh halalnya. Kalau aku arahkan menjadi berdosa dan sesat, maka 'selamat, tentram dan bahagia kemanusiaanmu' akan berontak pada waktunya! Sebab 'dia' terus saja mengumpulkan enerji pemberontakannya".

Kita jadi teringat seorang remaja cerdas yang berfikir, "Ya Allah, kalau saya tidak tahu apa-apa dan berdosa, berilah saya cahaya pengetahuan dan jauhkan dari dosa". Ini jelas teriakan mulia, bukan teriakan sesat. Ini juga teriakan bayi yang menuntut hidup tentram dan bahagia itu,  meskipun melalui diam, senyum dan tangisnya yang secara awam sulit diartikan. Harus ditembus dengan ilmu. Sebab sesungguhnya tidak ada bayi yang meminta dikasari atau disiksa, minta dipukuli dan ditendang, sebab kemanusiaannya selalu butuh selamat, tentram dan bahagia. Dia telah meminta itu lewat bahasa langit. Dan itu pembawaan tidak sesatnya.

Ketika ada bayi diam saja waktu diberi susu yang dibeli dari menjual barang curian, sesungguhnya dia memang dalam keadaan tidak tahu seperti persangkaan kaum awam. Dia merasa itu adalah ketentraman dan kebahagiaan yang dicarinya. Sampai pada waktu yang Allah tetapkan dia akan berteriak, bahwa dia telah ditipu. Teriakan kessksian itu sesungguhnya sudah bersemayam lama sejak ia berkata dalam kalimat yang dikenali malaikat Allah dan para kekasih Allah, "Beri aku syarat selamat, tentram dan bahagia dalam kemanusiaanku!" Dan teriakan sejak kali pertama itu tidak sesat. Yang sesat itu, orang yang tahu bahwa sesuatu itu sesungguhnya merusak ketentraman dan kebahagiaannya yang selamat tetapi tetap saja diperbuat. Dia lebih buruk dari binatang, sebab pada binatang tidak diberi kesadaran akal-budi sehingga bebas berbuat semaunya. Sebab sebagai tubuh, binatang adalah daging untuk konsumsi manusia. Tetapi selama bernyawa, harus dikondisikan supaya aman bahkan menghibur, sampai batas waktunya nyawanya boleh dikembalikan kepada Allah, disembelih, sehingga kita tidak pernah makan nyawa, sebab itu haram hukumnya, melainkan cuma makan dagingnya. Subhanallah.

Saya perlu takbir nampaknya. Allahu Akbar! Sebab pribadi muslim tidak pernah makan nyawa binatang apalagi nyawa manusia. Termasuk tidak pernah menjual nyawa-nyawa anak bangsa untuk menduduki kursi kekuasaannya, kecuali hanya berjihad di jalan Allah bersama-sama untuk merebut kemenangan dan keselamatan bersama. Islam tidak butuh membunuh bayi laki-laki. Tidak butuh mengubur anak perempuan hidup-hidup. Tidak perlu menghianati anak tunggalnya, anak manusia, anak yatim yang hanya berbapak kepada Allah semata.

Bayi binatang dari nubuatnya tidak punya teriakan, "Tunjukkan padaku ketentraman dan kebahagiaan dalam keselamatan itu!" Sebab itu teriakan bayi manusia sejak dari rahim bunda. Jelas bukan teriakan kesesatan yang menyesatkan. Itu teriakan tinggi dan mulia dari seluruh bayi di bumi.

Lucunya, bahkan seorang preman pun di dunia ini tidak mau disakiti. Padahal watak tidak mau disakiti itu ajaran suci. Itu teriakan 'si bayi polos' pada diri preman itu sendiri. Teriakan dari sosok tak berumur, atau dari sosok yang selalu berumur 0. 0 itu artinya ada. Tetapi sungguh aneh, mengapa preman itu menghianati 'bayi dirinya', dengan selalu menyakiti siapa saja? Itulah kesesatan.

Kedua, bayi yang diberi susu haram itu dari sudut pandang yang lain, dari kaca mata ilmu khusus sesungguhnya tahu bahwa susunya itu datang dari barang haram, barang curian. Tetapi dia telah menolak haramnya, sehingga tenang meminumnya. Sebab bagaimana mungkin, ketika orangtuanya yang berdosa, yang mencuri, yang dihukum sakit-sakitan dan sengsara justru anak bayinya? Dimanakah letak leadilannya? Sehingga salahlah orang yang pernah berkomentar, "Bayinya sakitan-sakitan terus karena disuruh minum dari barang haram". Padahal setiap bayi itu suci dan punya hidupnya sendiri yang terpisah dari kesesatan orang tuanya. Meskipun bisa saja melalui bayi itu Allah bermaksud menghukum orangtuanya. Tetapi Allah pula yang akan menolong nasib bayi itu di masa depan, selama tidak meniggalkan kasih sayangNya.

Dan si bayi hanya bisa berserah kepada Allah sebagai bayi yang telungkup dan telentang dalam keadaan lemah, seolah-olah serupa kalimat ini, "Ya Allah, belum pernah ada di muka bumi ini bayi manusia yang mendukung pencurian, kecuali hanya bisa menikmati apa yang masuk ke mulutnya, yang telah disucikan Allah, sebab itu wujud kasih sayang Allah untuk menumbuhkan dan membesarkannya, yang justru untuk melakukan perlawanan terhadap segala kesesatan pada waktunya. Kecuali pada yang ingkar sunah, yang hianat. Yang menolak fitrah anak manusia. Sementara hisab bagi seorang pencuri tetap serius dalam keadilan Allah, karena telah ada manusia yang dirugikan, dijahili, dibikin susah dengan dicuri barangnya".

Tetapi di hadapan orang tua yang baik meskipun punya dosa, setiap anak balig pasti senantiasa berdoa, " Ya Allah, maafkan orang tua kami, berilah pahala untuk kebaikannya. Karuniakanlah keselamatan, kesehatan, kebahagiaan dan kesejahteraan padanya. Amin". Bicara soal balig saya perlu bilang, ada manusia usia dewasa di dunia ini, tetapi belum balig.

Tidak ada pahala dari mencuri dan korupsi, meskipun itu untuk membeli obat atau menyuapi ibu kandungnya yang sedang sakit. Sehingga harus ditakuti dan dijauhi. Meskipun masih ada pahala dari menyuapi ibunya itu. Masih ada pahala menghilangkan lapar ibunya. Dalam hukum positif dia bisa dipotong tangannya atau dipenjara, lalu ibunya yang baru saja melihat kesalahan anaknya setelah sekian lama tidak tahu apa-apa itu berkata, "Trimakasih atas niat memberi obat dan makanan kepada ibu, semoga Allah membalas kebaikanmu, tetapi kamu melakukan dosa yang tidak disukai Allah, semestinya tidak begitu". Sampai si ibu itu menyayangkan ketika anaknya mendapat balasan Allah atas dosa-dosanya, atau masuk penjara.

Lalu saya teringat cerita pendek saya yang dimuat Surat Kabar Merdeka sekitar tahun 1991 yang berjudul Bayi. Saya marah-marah karena banyak manusia membuang bayi, bahkan di sembarang tempat. Ada yang hidup, ada juga yang mati di tempat sampah dan selokan. Saya marah besar! Itu tubuh-tubuh saya. Dibuang percuma. Mereka tidak mau menangis dan sukacita untuk sebuah kelahiran suci. Itu terhisab, terhukum menghina kelahiran Rosulullah SAW (menolak Maulid Nabi SAW), menolak bersolawat, menghina ajaran suci, dan menghina Allah SWT.

Apa devinisi dari menolak kelahiran suci? Ini hukum universal. Sangat humanis-universal. Kebenaran Islam itu.

Bahkan tetap berdosa, menolak kelahiran suci, biadab, para orang tua yang sembunyi-sembunyi meletakkan seorang bayi di depan panti asuhan atau yayasan yatim piatu dengan harapan bayinya bisa diselamatkan. Sebab apa? Dalam hitungan detik telinga si bayi bisa dirubung semut, jarinya bisa digigit tikus, matanya bisa dicakar kucing, badannya bisa dipatuk ular, dlsb, siapa bertanggungjawab? Saya tidak tega membayangkannya. Apa itu yang namanya mengikuti ajaran Nabi Musa AS? Bahwa dia pernah dilarung ke sungai Nil sebagai bayi yang terawasi, dengan harapan dipungut istri raja? Padahal itu perumpamaan bagi orang dewasa, dan awal pembuka kisah bagi yang belum dewasa. Mustahil yang meletakkan bayi di depan yayasan itu masuk katagori yang belum mengerti, sebab dia sudah tahu semut, tikus, ayam, kucing, ular, anjing, dlsb?

Semoga pada tulisan lain saya berkesempatan juga untuk membuka rahasia, Bayi yang dilarung ke sungai Nil itu.

Sebab banyak yang bisa kita bicarakan seputar bayi dan anak, semuanya membuka kesadaran, misalnya:

- Bayi Rosul SAW 
- Bayi Manusia 
- Bayi atau anak kandung
- Hakekat semua bayi atau anak adalah bayi kandung atau anak kandung
- Bayi satu susuan 
- Bayi yang lahir di kandang domba
- Bayi Ismail dan zanzam
- Kias bayi pada manusia
- Bayi yang dilarung di sungai Nil
- Bayi atau anak laki-laki yang dibunuh
- Bayi atau anak perempuan yang dibunuh
- Bayi atau anak perempuan yang dikubur hidup-hidup 
- Anak Nuh 
- Anak perempuan Luth
- Anak pertama Fir'aun 
- Anak Ibrahim yang mengganggu 
- Terlahir kembali seperti bayi baru lahir
- Mati bayi, wangi seperti bayi
- Bayi yang mati menjadi penebus dosa orang tua yang mencintainya 
- Anak manusia
- Anak Allah
- Allah tidak beranak
- Anak cucu Adam
- Anak Adam yang berdosa
- Anak soleh
- Anak haram
- Anak keturunan syetan yang abadi 
- Anak tunggal
- Anak yatim
- Anak pertama/ anak sulung 
- Dll.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG