KEGAGAPAN IGUNITAS DAN PANCANG EMAK-EMAK

TUJUH TUBUH 

waktu tujuh tubuh itu mandi 
seberapa bodoh Kayangan? 
atau justru karena tahu
air di sekujur tubuhnya 
mencuri cinta 
dan meminangnya?

Kemayoran, 21092018
#puisipendekindonesia  
------

Igun bukan cuma Ivan Gunawan seorang diri. Pada gilirannya Igun adalah Igunitas. Kalau gak percaya, sewaktu-waktu dia bisa bilang, "Gak cuma saya kok yang begini dan begitu, banyak kok desainer lain juga". Itu artinya kalau kita ngritik Igun pasti akan ketemu Igunitas. Tetapi mustahil merepresenrasikan semua desainer. Sebab kalau dibilang sedikit, Igunitas itu sedikit, karena tidak sebanyak jumlah bangsa Indonesia. Bahkan tidak sebanyak jumlah manusia di pulau Jawa. Kalau dibilang banyak, ya Igunitas itu isinya banyak orang karena bisa lebih dari satu lusin.

Selain itu enaknya bicara Igunitas, supaya kita tidak cuma fokus pada satu orang saja. 

Maka ketika saya nulis status di media sosial FB dua hari lalu, saya merasa menemui pribadi Igun skaligus Igunitas. Judul tulisan itu adalah, JILBAB PENGHIBUR, HIJAB DANCER, DAN INSTRUKTUR SENAM TIDAK BOLEH MEMAKAI JILBAB KETAT?. Berikut ini tulisan lengkap saya di FB itu:

"Ivan Gunawan malam ini make over komedian mPok Ela dari dandanan jilbab kampungan pake jilbab bikinannya. Menurut saya gak berhasil. Meskipun dandanan mPok Ela sebelumnya emang kurang menarik. Tetapi kalo busana yang disiapin Ivan memang bagus, tapi tidak cocok untuk mPok Ela. Itulah, karena Ivan terlalu mainin teori busana tertutup, wanita jilbab tidak boleh berbusana ketat, tapi lupa 'bahasa menghidupkan karakter mPok Ela-nya sebagai penghibur'. Untungnya mPok Elanya kelewat polos, nurut-nurut aja. Maka mestinya Ivan banyak ke alun-alun lihat ibu-ibu senam di sana, atau lihat video ibu-ibu senam, biar melek. Atau lihat temen-temen artisnya yang berjilbab kalo lagi pakai pakaian ketat di tengah publik, yang katanya sudah pandai berpenampilan. Atau ke kampus dan mall-mall yang ngadain acara panggung dengan Hijab Dance. Maka saya jadi ingin munculin video dari youtube ini. Sekadar model.

Bagi Igun, di dunia ini banyak model busana, dari A sampai Z. Salahsatunya busana muslimah berjilbab. Dan dia bisa bikin apa saja termasuk yang ketat dan mini. Jadi buat dia busana jilbab adalah salahsatu bentuk dengan standar begini begitu, ngikutin 'kata ustad". Misalnya dia selalu bilang, "Busana muslimah itu tidak boleh ketat". Tetapi ketika dia menyampaikan itu, dia sedang berhadapan dengan trend mode busana jilbab yang berkembang untuk berbagai kepentingan. Akibatnya pakemnya entah untuk mengikat siapa. Mungkin dia tidak lihat atlet Asian Games dan Olimpiade yang berjilbab. Yang sebagian tertutup tapi ketat itu.

Setelah beberapa kali menyelami karakter, pembawaan khas mPok Ela, baru Igun akan berhasil. 

#IvanGunawan
#DMDJuara
#MNCTV" ------------------

Begitulah tulisan saya, disertai video wanita berjilbab memakai pakaian olahraga yang agak ketat yang sedang senam. Saya ambil dari youtube. Sekadar model saja.

Igun tentu saja tidak sama dengan desainer yang biasa membuat busana muslimah, yang sama sekali tidak pernah membuat busana lain yang terbuka tanpa jilbab. Meskipun di kalangan desainer yang khusus itu ada yang cuma siap membuat busana muslimah yang longgar yang biasa disebut busana syar'i, tetapi tidak sedikt yang melayani busana muslimah segala pesanan. Termasuk yang bergaya ketat dan gaul.

Igunitas dikenal sebagai desainer yang bisa dan siap membuat busana model apa saja, termasuk yang terbuka, sesuai imaji dan pesanan yang disanggupinya. Sehingga membuat busana jilbab hanya salahsatu proses kreatifnya saja. Tetapi khusus bagi Igun, dalam bayak acara di TV yang disaksikan jutaan pasang mata selalu bilang, "Busana muslimah tidak boleh ketat". Patokan inilah yang menempatkan dia lebih mirip 'pabrik busana'. Tanpa visi-misi yang lain. Pakemnya sangat jelas, "Kalau bikin pakaian ketat gini yang bagus. Bikin gaun yang terbuka gini yang pas dan menarik. Dan kalau bikin busana muslimah harus begini". Begitulah.

Maka saya bilang, Igun cuma terkesan ngikutin Ustad atau Kyai ketika bilang busana muslimah tidak boleh ketat. Tapi entah akan bicara apa dia ketika melihat ibu-ibu dan artis-artis yang senam di tempat umum, pelajar dan mahasiswa yang unjuk hijab dance, dan atlit Asean Games dan Olympiade yang berhijab, tetapi memakai pakaian berjilbab yang agak atau lumayan ketat? Saya kira, dia masih gagap.

Ini jadi menarik dan penting untuk diapresiasi, dinilai oleh banyak pihak secara terbuka. Sebab siaran TV juga bersifat terbuka.

Saya kira gak akan ada ustad atau ulama yang memprotes saya, sebab itu artinya salah alamat. Meskipun beda pendapat dalam kebaikan itu ada dan boleh, karena itu rahmat Allah. Tetapi kepada Igun (Igunitas) malah kritikan tajam bisa sampai. Karena bukan soal beda pendapat, tetapi soal 'otak pabriknya' yang tidak pernah kekeringan kritik. Di satu sisi dia bersikeras bahwa busana muslimah wajib longgar, sampai menolak semua busana muslimah yang agak ketat, tetapi pada saat yang sama tetap memproduksi busana tanpa jilbab, ketat dan mini.

Saya lebih salut kalau Igun mendapat hidayah sebgai pembuat busana muslimah yang longgar, menolak yang ketat-ketat, sambil 100% meninggalkan produksi segala jenis busana yang lain. Fokus di situ. Sehingga dia tidak akan gagap berkepanjangan. Dia akan berada nyaman dalam lingkaran Igunitas baru. 

Tentu Igunitas baru itu tidak sama dengan pabrik-pabrik, termasuk yang konon dari Cina, yang memproduksi busana muslimah dan jilbab segala ukuran tanpa perlu memperdulikan ketat atau tidaknya pada seseorang. Bahkan kalaupun banyak pembeli bersengaja memilih yang ngepres di badan, biar membentuk tubuh, pabrik-pabrik ini senang-senang saja dagangannya laku. Sementara Igunitas yang baru akan memproduksi dan menjual produksinya sambil terus mengingatkan, busana muslimah berjilbab itu tidak boleh nampak ketat. 

Tetapi kalau saya boleh berandaikata. Seumpamanya saya ini seorang desainer ---setidaknya berempatik pada desainer, maka saya akan tetap memproduksi beragam busana. Saya akan bikin busana buat ibu-ibu yang di pesta hajatan bersanggul tidak berjilbab. Saya juga tetap menerima pesanan busana pentas artis, termasuk yang konsepnya pakai rok mini atau celana pendek. Saya juga akan bikin busana muslimah sesuai pesanan, mau agak ketat ataupun longgar. Sebab buat yang busana jilbabnya agak ketat, yang penting dia orang baik-baik yang hatinya lapang, tidak sempit. Saya juga tidak akan menyalahkan instruktur senam, artis, termasuk artis qosidah, hijab dancer, dan para atlet yang pakaian jilbabnya agak ketat dan membentuk tubuh. Sebab itu soal tafsir, bukan perkara menolak dalil. Dalilnya tetap utuh, terjaga, dan tidak rusak. Sehingga saya akan nyaman, lurus-lurus saja.

Tetapi kalau ditanya, bagaimana jika semua muslimah di Indonesia berjilbab? Saya sudah jawab dari dulu di radio-radio. Bahwa saya termasuk orang yang bersyukur dan berbahagia kalau seluruh muslimah di Indonesia mau berjilab. Itu hebat. Bahkan lebih dari itu, kalau sejarah menghendaki, bercadar semua juga tidak masalah. Sebab selain karena keutamaan yang banyak, secara naluri lelaki yang khusus, berjilbab dan bercadar pun tidak akan mengurangi nilai sensualitasnya. Semua akan menemui tempat dan ukuranya.  Allah maha tahu.

Tetapi pada saat yang sama saya juga ihlas menerima kemustahilan di Indonesia dijilbabkan semua. Paling-paling saya dakwahi, supaya yang utama 'ngaji jilbab' semua. Menutup diri dari segala dosa. Termasuk yang mini-mini itu. Jangan jadi sumber kecelakaan sosial. Berlakulah lurus. Baik-baik saja. Bisa membawa diri di semua tempat baik.

Sebagai pengamat senibudaya, saya juga mengagumi tari tradisional Nusantara yang memakai busana khas, termasuk yang beraksen sensual. Sebab itu adalah bahasa komunikasi. Rasa yang bernilai. Sebab itu adalah eksotisitas panggung yang butuh logika kearifan. Dan jika kearifan dikerasi maka yang terjadi adalah kekejaman atas kearifan sosial itu. Betapapun menolak tradisi buruk adalah kewajiban.

Begitupun ketika ada hijab dancer yang secara kebetulan diapresiasi punya nilai sensualitas tertentu, apalagi yang pakaian tarinya agak ketat. Saya bilang, nilai sensualitas tidak selalu identik dengan kemesuman atau nafsu rendah. Dan segala fitnah di situ adalah kekejaman atas kemanusiaan. Kekejaman berkedok  nilai-nilai yang dipaksakan. Bahkan kekejaman terhadap Islam yang rahmatan lil alamin.

Sehingga ummat Islam di muka bumi harus dibuat serba salah. Kalau pakaiannya longgar dan serba tertutup disebut fanatik buta. Tidak rahmatan lil alamin. Membuat jarak yang dramatis. Cuma menjadi sekelompok manusia khusus yang minta dimaklumi. Sementara ketika busananya lebih lentur, ada yang longgar dan ada yang agak ketat, bahkan ada muslimah yang tidak berjilbabnya, disebut-sebut telah jauh dari ajaran sucinya. Padahal kedua pendapat itu bersumber dari kebencian. Termasuk pada pihak yang terprofokasi untuk membenci.

Saya jadi ingat istilah yang populer ketika Ahok-Jarot nyalon gubernur dan wakil gubernur DKI untuk kedua kalinya yaitu, EMAK-EMAK. Sampai saya berfikir, jika kehidupan emak-emak di lingkungan kita nyaman secara nilai agama dan nilai sosial, yang tidak saling bertentangan samasekali, maka dia justru bisa bersikap lapang dan terbuka. Menjadi pancang sosial yang anti maksiat. Rem yang pakem. Serta bebas gaul antara wanita berjilbab dan tidak berjilbab. Keduanya ini sama-sama tetap bisa menyandang predikat muslimah yang taat. Tidak saling mengolok-olok. Insya Allah. Serta bersanding akrab dalam pergaulan sosial antara muslim dan non-muslim.

Dalam dunia tari ada perlambang yang baik. Nenek penari yang dituakan bukan karena sensualitasnya, tapi karena penerimaan spiritualirasnya yang sudah menjadi sejarah, yang setia menemani dan memotivasi para penari muda. Sebab urusan tarian bukan cuma urusan sensualitas, betapapun itu tak terhindarkan di dalamnya, bahkan bisa menjadi daya tarik untuk pesan kebaikan. Itu sebabnya kita selalu butuh nenek dan emak-emak yang baik. Bukan yang jahat.

Maka saya pernah menulis dan membaca puisi di acara Wisata Sastra Situ Buleud, berjudul Nenek Permisi, sbb.:

NENEK PERMISI

matahari inikah yang terbit
dari balik halus pipi merekah cahaya? 
bulan semalamkah yang selalu naik langit
membawa parfum tubuh telanjangmu
meluas angkasa? 
daun-daun mana lagi
yang segar hijaunya tidak mengabarkan cinta
dan bunga-bunga mana lagi
yang rekah merahputihnya
tak menggambarkan rindu sejak dari kuncup? 
lebah kaukah yang terpanggil asmara
menyetubuhi lentur tangkai dan pucuk-pucuk
saat angin landai
dan seruling menikmati gelombang liukkan hutan?  
bibir sungai basah
ikan-ikan menemui surga birahinya
matahari telah menyisir rambutmu
meminang bulan untuk bunga kuning di telingamu
sementara bulan berterimakasih
melalui asmaramu yang selalu hangat
tak pernah tua
sebab menjadi tua adalah pembunuhan hidup
(ketika persetubuhan menjadi tak berguna bagi manusia)
kau menjadi begitu setia
semisal nenek permisi
yang gemetar hanya dengan aura menari
sekedar memohon restu agar anak-anaknya diberi jalan
untuk memutar lagupinggul-nya
di atas permadani merah pink
yang bersih setiap saat
dari mesum dan sesat

Kemayoran, Jakarta 2012
------

Kemudian puisi Nenek Permisi itu terkumpul dalam antologi puisi bersama, Suara Hati (cannadrama 2012).

Sepintas tulisan ini cuma bicara satu soal, sepele, bahkan seakan-akan cuma pingin nyerempet-nyerempet sensualitas dalam seni. Itu tentu menurut yang berpandangan dangkal. Padahal ini contoh, keberanian, dan keterbukaan bicara detil berkaitan dengan guna politik kebudayaan di Indonesia, politik kesenian, sekaligus bicara kemanusiaan secara universal. Yang menurut mayoritas muslim di Indonesia untuk umat Islam Indonesia, tetap harus hidup Islami dalam ciri khas ke Nusantaraannya yang bhineka tunggal ika.  

Kemayoran, 21 09 2018

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG