NONTON IKLAN DI BIOSKOP YUK

NONTON PILEM

seorang muda pamit ke bioskop
ngaku mau ngajak pacar 
neneknya pesan oleh-oleh adegan pilem
yang paling bagus

Kemayoran, 15092018
#puisipendekindonesia
------

Saya mau mulai dengan dua cerita. Tentu tentang saya, supaya jelas benar, mengapa saya berani ngomong soal iklan bioskop yang tiba-tiba jadi heboh itu. Meskipun tanpa dua cerita ini, sebagai orang yang bertahun-tahun membawakan acara Apresiasi Seni, saya selalu bisa membicarakannya. Misalnya dengan mengangkat tema, seberapa menguntungkan pemuraran film-film populer di bioskop untuk menajamkan taji iklan?

Oke. Cerita pertama. Saya ini orang iklan, terutama selama memakai atribut Orang Radio Indonesia. Meskipun secara struktural saya adalah penyiar, narasumber senibudaya, ketua panitia kegiatan-kegiatan off air, programmer (kepala siaran), dan kepala studio. Tetapi dalam program marketing radio baik untuk program on air maupun off air, selalu ada yang disebut Tim Marketing. Minimal terdiri dari seorang direktur atau wakil direktur, seorang kepala studio, seorang programmer, seorang koordinator marketing dan bebeapa staf marketing.

Sial hebatnya, dalam segala upaya selama bertahun-tahun tim marketing radio saya menemui berbagai pengiklan (biro iklan), justru sayalah yang wajib presentasi. Menjual program siaran dan program off air yang saya buat. Itu sebabnya saya sudah merasakan suka dukanya. Ada satu dua program yang tidak tembus. Ada yang tembus setelah melalui proses lama bahkan untuk angka yang tidak seberapa, tidak lebih dari 10 juta rupiah. Tetapi kalau lagi beruntung, di tahun 2004 misalnya, kesepakatan untuk angka 40-80 juta rupiah hanya ditandatangi setelah dibicarakan kurang dari satu minggu.

Dari cerita pertama ini saya bisa membedakan berbagai jenis iklan. Termasuk iklan partai atau iklan kampanye di dalamnya. Terutama ketika jatuh musim kampanye. Juga menginsyafi angka-angka di belakang setiap kerjasama.

Cerita kedua. Saya ini waktu umurnya di bawah 30 tahun masih penonton bioskop yang aktif. Hampir tiap minggu. Tetapi setelah melewati umur 30 tahun lebih sering menunggu punya VCD-DVD-nya. Sebab dengan begitu saya bisa lebih rileks duduk santai nonton di rumah. Giliran dua anak saya sekarang yang lagi seru-serunya kalau bisa nonton di bioskop.

Dari pengalaman panjang nonton bioskop itu saya sudah biasa nonton iklan-iklan sebelum film dimulai. Termasuk mengapresiasi daya pikat iklan-iklan di situ. Juga mengetahui kurang menggigitnya beberapa iklan. Dan yang paling kurang menggigit, bahkan paling menyebalkan adalah ketika muncul suatu iklan yang cuma berbentuk gambar tak bergerak, lengkap dengan kalimat penjelasnya seperti di koran atau majalah, atau yang narasinya persis seperti iklan radio, tetapi sudah terlalu usang dan tidak menarik.

Itulah dua cerita singkat tentang saya.

Lalu kemarin anak perempuan saya yang baru pulang kerja di percetakan menyodorkan video iklan di bioskop yang heboh itu. Dia bilang, "Ini Pa, apa komentar Papa soal iklan pembangunan Jokowi di bioskop ini?"

Setelah melihat sebentar saya berkomentar, "Ya, tadi Papa sudah dengar beritanya di TV. Itu model iklan yang wajar. Kapanpun ditayangkannya. Mau jauh sebelum musim kampanye maupun setelah dekat musim kampanye". Sambil dalam hati saya meyakini, justru otak yang encer akan banyak memutar iklan pembangunan di tahun terakhir masa kepemimpinan seorang presiden. Mengapa? Utamanya untuk satu hal, kalaupun tidak berlanjut memimpin lagi, itu adalah apresiasi atas segala proses pembangunan yang terencana dan serius, baik tentang sesuatu yang sudah selesai, sedang dalam proses, atau sedang dalam tahap perencanaan. Itu akan menunjukkan bahwa presiden itu konsisten dan sungguh-sungguh memegang amanat rakyat. Tetapi hal utama itu memang bisa berdampak mencitrakan figur positif dan keberhasilan seorang presiden yang sedang memimpin yang sekaligus bisa sebagai calon petahana dalam Pemilu berikutnya. Inilah fakta. Logika.

Dari yang saya urai sekilas itu, jelas menekankan bahwa kita tidak boleh munafik kepada segala hal baik yang kita inginkan. Ini universal. Yang penting tidak melabrak aturan. Tidak menghalalkan segala cara. Tetap konstitusional. Dalam hal ini tentu saja pemerintahan Jokowi tidak ingin disebut gagal membangun Indonesia ketika pada kenyataannya punya fakta-fakta yang bisa disampaikan kepada masyarakat. Apalagi ketika di masyarakat bersliweran hoak tentang kegagalan pemerintah. Maka reaksi positif penerintah adalah MENJELASKANNYA. Dan itu pasti pakai anggaran negara. Dan itu memenuhi kewajiban undang-undang. Dan itu yang kemudian dikritisi oleh pihak tertentu. Dianggap dalam posisi sebagai calon presiden petahana pada Pemilu yang akan datang Jokowi pasti diuntungkan oleh iklan model begitu. Bahkan ada yang curiga, itu mendahului kampanye.

Saya tentu tidak perlu menguraikan bahwa pihak yang mengritisi lebih menginginkan pemerintah tidak usah menyampaikan bukti-bukti sukses pembangunannya kepada rakyat, apalagi di tahun terakhir kepemimpinan presiden, sebab itu detik-detik sensitif, juga tidak perlu menutup reaksi sementara pihak dengan fakta-fakta yang diiklankan.

Lebih tepat saya berargumentasi normal. Sekali lagi, argumentasi normal.  Sepanjang 5 tahun, sesuai undang-undang, pemerintah wajib menyampaikan kepada rakyat tentang program pembangunannya. Menyampaikan hal-hal yang sudah dicapai, sedang dalam proses, masih dalam perencanaan, atau yang prosesnya masih mengalami berbagai kendala supaya dimaklumi. Itu penting. Justru untuk menunjukkan pemerintah sudah dan terus bekerja sungguh-sungguh, serta tidak berbohong.

Perkara ada kecurigaan, mengapa informasi pembangunan dibuat marak di akhir dari perjalanan 5 tahun? Di awal sudah saya sampaikan. Itu sah. Bahkan bisa memiliki argumentasi, itu waktu terbaik. Tidak pragmatis. Yang penting bukan propaganda kebohongan.

Iklan layanan masyarakat, jagalah kebersihan, misalnya, itu boleh disiarkan kapan saja. Termasuk yang disertai informasi apa saja yang telah dibangun pemerintah untuk menciptakan lingkungan yang bersih. Dan ini bisa dimuat koran, majalah, media internet, disiarkan tv dan radio, atau diiklankan di bioskop. Termasuk dengan gaya iklan milenial sekalipun. Justru itu kreatif namanya. Yang berfikir terbalik malah justru pragmatis, seperti yang tidak tahu kebutuhan masyarakat akan informasi pembangunan.

Semestinya kita hanya melihat bahwa sesuatu itu sesui peraturan atau tidak? Itu saja. Melanggar hukum atau tidak? Kalau sudah sesuai prosedur yang semestinya, itu namanya hebat. Harus kita beri ucapan, BEGITULAH INDONESIA!

Dan saya (kita) malah berharap, kepada intansi pemerintah yang beriklan menggunakan uang negara, jangan lupa untuk memikirkan efektifitas dan efisiensi pengiklanannya.

Dan harus sabar. Untuk suatu iklan yang baik dan benar sekalipun bisa ada pihak yang akan berkata suatu iklan itu sangat bagus dan sangat menarik, suatu iklan itu kurang bagus dan kurang menarik karena bukan seleranya, serta ada yang akan bilang, itu iklan yang sangat buruk, menipu, mubazir bahkan melanggar hukum apapun alasannya.

Bagi penonton bioskop sebenarnya yang terpenting adalah film yang menarik dan suasana nyaman di dalam gedung bioskop. Cuma itu. Lain tidak. Kalaupun ada yang paling boleh menyertai adalah iklan film lain yang bakal diputar di hari-hari berikutnya. Sebab itu akan segera masuk jadwal.

Tetapi berdasarkan pengalaman saya selama lebih 20 tahun ngurus radio, banyak masyarakat yang justru sering melakukan pembenaran, merasa butuh sesuatu, bahwa tepat sesuatu itu disaksikan atau didengarnya, justru setelah diberitahu penyiar atau melalui iklan. Kalau tidak ada pemberitahuan mereka tetap gagap dan gelap. Tidak punya penasaran. Dan situasinya bisa terombang-ambing oleh informasi yang menyesatkan, termasuk mitos-mitos yang tidak menyelamatkan. Sehingga informasi itu bernilai edukasi juga. 

Pengalaman saya yang bersifat umum itu jelas menyadarkan kita untuk mengajak masyarakat untuk berkesadaran dan berkesaksian. Menuju masyarakat melek namanya. Dan iklan-iklan pembangunan bisa berada di posisi strategis itu sejak jaman layar tancap dulu. Kapanpun penyiarannya.

Perkara sekarang kita sedang berada di tahun-tahun politik, ya, burung jalak pun tahu. Sering saya bilang, di saat memasuki pencalonan berikutnya seperti halnya terjadi pada Ahok dan kepala daerah lainnya, tersenyum dan batukpun dianggap kampanye. Apa itu mendahului kampanye? Bukankah itu ciri khas calon petahana?  Bukankah yang terpenting tidak melanggar aturan main?

Saya juga pernah berargumentasi, menurut konstitusi di Indonesia, Jokowi itu wajib memimpin 10 tahun. Dengan syarat menang pemilu lagi setelah memimpin selama 5 tahun. Sedangkan setelah itu, habis sudah jatahnya. Maka wajar terjadi di Indonesia hari ini ---sudah dimulai sejak era SBY, presidennya percaya diri siap membangun Indonesia selama 10 tahun. Dan itu sudah pasti bernilai kampanye.

Kalau saya terpilih jadi presiden. Di hari pertama setelah disumpah, saya bisa berkata, "Ijinkan saya merealisasikan semua rencana-rencana saya selama 10 tahun sesuai perintah undang-undang. Dan itu artinya secara wacana politis saya harus meminta, menggenapi, dukung saya lagi setelah 5 tahun". Dan kalimat saya itu bernilai kampanye seorang petahana sejak jauh-jauh hari. Itu normatif ciri khas petahana. Dan cara terhalus dan estetik dari itu adalah dengan menyebut keberhasilan pembangunan yang telah diwujudkan. Sebab itu bernilai kepantasan untuk 10 tahun. 

Dan di banyak negara, kita harus ingat, banyak yang ngotot begitu, merasa penguasa yang sekaligus kubu petahana yang sudah benar, tetapi kalah telak karena kepemimpinannya jeblok. Propagandanya serba bohong. Bahkan korup. Sedangkan apa yang terjadi di Indonesia, semua masih berjalan normal. Masyarakat yang kritis pun tidak sedang gonjang-ganjing, meskipun mungkin ada segelintir orang yang justru berharap munculnya gonjang-ganjing. Karena dia sedang membela 'dirinya sendiri', bukan ketentraman masyarakat umum.

Lalu bagaimana pendapat saya untuk calon yang berhadapan dengan capres petahana? Sudah pasti semestinya mereka bersikap sebentuk kalimat ini, "Kami akan melakukan yang terbaik, ini dan itu. Lebih baik dari yang terjadi saat ini". Sungguh elok kalau tidak berbelok-belok ke arah yang tidak perlu, apalagi yang tidak patut.

Salam Indonesia!

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DINDING PUISI 264

JANGAN KALAH HEBAT DARI BIMA

TIDAK ADA YANG BENCI KALIMAT TAUHID