SASTRA DAN SIANG BOLONG YANG BERCINTA

SEPANJANG TOL LANGIT

menarik matahari
menarik bulan
seperti lelaki bis malam 
yang memaksa pengemudi
mengantar menemui kekasihnya
dalam rindu yang melaju cepat
sepanjang tol langit
sepanjang waktu

Kemayoran, 26092018
#puisipendekindonesia
-----

Waktu itu saya masih seragam putih-abu kelas satu. Cerpen-cerpen saya sudah dimuat koran. Sejak saat itu saya bersama teman-teman karib satu sekolah biasa ngumpul di segala sudut, termasuk di warung dan ruang OSIS, ngomongin cerpen-cerpen dan puisi saya. Begitulah yang khas waktu masih sekolah. Setelah lulus dan kerja. Sudah biasa ngobrol seputar masalah sastra dan teater sama teman-teman di rumah, di aula tempat kerja, di warung, atau di komunitas. Tentu sambil membahas tulisan-tulisan saya yang sudah dimuat. Itulah kenikmatan penyair dan penulis sastra pada umumnya. 

Tapi saya sebenarnya termasuk orang yang hampir tidak pernah ngirim tulisan sastra, baik puisi maupun cerpen ke koran. Kecuali dulu antara 1989-1997. Sebab sehari-hari di radio saya pun sudah sibuk nulis dan memeriksa berbagai naskah siaran dari pukul 06:00 sampai 19:00. Selain saya juga punya ruang Apresiasi Sastra tempat membacakan karya kiriman, karya dari berbagai buku dan koran, serta karya sendiri. Selain itu, panggung-panggung pun sudah menjadi ruang kerja puisi. Setidaknya, argumentasi ini menunjukkan sikap tidak anti-koran. Meskipun saya suka ngritik koran-koran tertentu, yang saya sebut pasti ada pengarahnya dan ada ruang sastra yang khas yang dibangunnya. Yang memungkinkan seseorang penyair atau penulis karya sastra yang konsisten tidak perlu dimuat karyanya. Selain berlakunya hukum seleksi umum yang menolak karya-karya yang memang belum pantas dipublikasikan. Terutama dari para pemula. Sedangkan untuk yang bukan pemula pun sering harus ngantri pada tumpukan di rak kiriman, mengharap dapat giliran, atau seperti ihlas jauh-jauh hari menunggu tidak muncul karena memang tidak dikenal, atau bisa dianggap tidak perlu muncul karena seperti karya yang tidak terlalu diharapkan oleh suatu alasan, meskipun karya yang bagus, dll. Yang jelas redaksi memang punya otoritas.

Di ruang kerja saya dulu juga sempat terserak banyak puisi. Ada puisi-puisi yang tidak layak naik karena belum menunjukkan kesempurnaannya untuk disebut puisi, meskipun manusia dewasa yang menulisnya. Ada yang harus digilir pengudaraannya. Tetapi ada juga beberapa karya yang justru harus segera dimunculkan. Biasanya kalau ketemu karya yang secara tematis sesuai dengan keadaan, meskipun secara subyektif ada juga karya yang harus segera naik siar disebabkan oleh faktor 'nama' seseorang. Bagi kami itu otoritas on air. Yang penting punya aturan main yang bisa dimaklumi.

Saya pun banyak maklum kepada koran. Apalagi yang orang-orangnya tidak kenal saya. Meskipun saya suka ngakak sendiri, "Padahal nama saya bisa bikin suatu koran tambah populer. Bahkan bikin makin populer suatu perguruan tinggi dan lain-lain". Hebat kan? Soalnya kata guru-guru kehidupan saya di seluruh penjuru dunia, lumayan sulit menemui siang bolong yang nikmat untuk bercinta. Sebab yang populer justru kesiangan dalam bercinta. 

Di pintu lain pernah ada juga majalah bulanan yang nawari, kalau punya tulisan sastra atau senibudaya kirim saja. Lalu saya sempat ngirim dan ternyata dimuat tanpa menunggu lebih dari sebulan sejak pengiriman itu. Berarti selain karena kelayakan tulisan saya, saya pun sudah dipercaya dan dikenal kesenimanannya di situ. Setidaknya ini satu fakta, pembuktian suatu teori. 

Beberapa minggu ke belakang ini ada satu-dua karya saya yang sempat saya kirim ke koran lewat email. Tapi belum naik juga. Gak aneh. Saya husnuzon saja, mungkin nunggu giliran. Atau akan terkena hukum otoritas redaksi itu. Atau emailnya keliru? Saya rasa tidak lah. Biasa saja lah.

Koran bagi saya adalah ruang ekspresi yang menyenangkan dan menjanjikan. Itu sebabnya sejak kelas 1 SMA saya sudah mengirim cerpen, puisi dan artikel ke koran. Bahkan saya merasakan auranya, ketika SMA ternyata sayalah satu-satunya penulis di sekolah itu yang karyanya sering dimuat koran. Sehingga saya merasa sangat dicintai oleh guru bahasa Indonesia, guru bahasa Sunda, pembina teater dan pramuka, bahkan guru senirupa dan matematika. Apalagi pembina teater dan guru bahasa, Alm. Drs. Asep Sastra Djuhanda, dia sudah seperti teman dekat meskipun saya muridnya. Sehingga waktu saya (Cannadrama, Studio Lita FM, dan Yayasan Rumi) menerbitkan album Musikslisasi Puisi Trisakti Ari KPiN, yang berisi musikalisasi puisi-puisi karya para penyair Forum Sastra Bandung, dia termasuk orang pertama yang saya kirimi kaset itu.   

Alm. Asep Sastra Djuhanda adalah saksi cerpen-cerpen, puisi dan naskah teater saya semasa sekolah di SPGN. Termasuk beberapa yang dimuat koran. Sayang, bagi saya dia terlalu cepat pulang. Tentu hanya Allah yang punya ketentuan paling sempurna. 

Ya. Koran adalah ruang publik yang sempurna untuk sastra. Punya jumlah pembaca yang banyak. Meskipun belakangan ini, terutama melewati tahun 2000 ruang sastra berupa penerbitan buku antologi puisi dan cerpen, panggung-panggung sastra, dan sastra internet justru lebih progresif. Sementara sejak menjelang tahun 2000 rubrik-rubrik sastra koran yang selalu punya daya muat terbatas itu malah banyak yang tutup. Majalahnya gulung tikar. Tinggal satu-dua koran yang masih menjaganya.

Entah berapa banyak yang beralasan, menghilangkan ruang sastra dan menggantinya dengan ruang informasi senibudaya atau informasi lain malah jauh lebih menguntungkan? Pembacanya lebih banyak. Dianggap, daripada memuat 11 puisi dari tiga penyair yang menyita sedikit halaman, koran lebih tertarik mengangkat satu informasi semisal, "99 penyair baca puisi tema lingkungan hidup" yang menyita halaman jauh lebih luas. Misalnya. Coba saja terka, minat pembaca cenderung pada yang mana?

Bagi saya, sejak mulai sibuk berat di radio dengan ratusan mata acara, termasuk ruang sastra (on air maupun off air) di dalamnya, kalau sekali dua kali ada tulisan saya dimuat koran atau majalah, itu adalah bonus, saya anggap kebaikan orang koran kepada saya. Sebab dimuat koran bukanlah ukuran kepenyairan saya.

Apalagi saya pernah ketawa-tawa depan teman saya ketika membaca naskah berita di koran. Sampai teman saya itu bertanya, "Ada apa hoi?" ' Saya jawab, "Nih temenmu yang nulis berita di koran. Bahasanya kacau. Muter-muter lagi.  Tapi masih untung informasinya bisa ditangkap. Setidaknya data peristiwanya masih sangat berguna untuk pembaca!" Dari hal-hal seperti itu saya berfikir, soal dimuat ataupun tidak, koran punya otoritas, punya standar, dan bahkan punya kepercayaan penuh pada seseorang, termasuk kepada jurnalisnya.

Saya sendiri berkali-kali harus mengedit hasil wawancara reporter radio yang masih banyak salah karena baru. Tapi tetap naik siar juga. Itulah otoritas. Bisa menyelamatkan yang salah, bisa menolak sama sekali dengan berbagai alasan. Yang repot, kalau ada reporter punya kesalahan saat siaran langsung, susah mengeditnya kecuali memohon maaf kepada pendengar.

Di saat-saat sekarang ketika ruang sastra koran semakin sedikit, masyarakat sastra masih diuntungkan oleh maraknya penerbitan buku-buku sastra. Alhamdulillah. Bahkan saya termasuk yang paling antusias menyambut terbitnya buku-buku sastra komunitas. Saya sebut sangat hebat, meskipun tanpa embel-embel ISBN. Sebab komunitasnya itu sudah seumpama SIM dan STNK di situ. Yang penting saya sudah sering mengingatkan dengan perumpamaan pementasan teater atau pembacaan puisi di panggung. Selain karya kreatif itu sudah ditonton orang banyak, kita juga butuh sosialisasi yang luas biar pesan moralnya tersebar ke mana-mana. Begitupun dengan terbitnya antologi puisi komunitas. Harus diperhatikan efektifitas sosialisasinya, minimal berapa banyak orang yang harus memiliki bukunya, siapa saja, dan bagaimana dengan sosialisasi maksud proses kreatif itu sebagai suatu gerakan senibudaya? Seperti misalnya ketika saya menerbitkan buku antologi puisi NARKOBRUT. Saya harus memikirkan berapa banyak pembaca yang punya bukunya, siapa saja, serta berfikir masak-masak untuk seberapa jauh dan seberapa lama menyosialisasikan pesan dari puisi-puisi anti-natkoba itu? Buktinya, sampai hari ini pun masih saya sebut-sebut. Itulah kekuatan buku komunitas.

Seperti halnya saya gak bosan, mengingat-ingat pementasan LANGIT MANUSIA oleh teater Volunteer PMI Jakarta beberapa tahun lalu. Sebab saya mesti terus-menerus menyosialisasikan, ketika langit kemanusiaanmu cinta, mengapa bumi tubuhmu lupa? Atau yang lebih lama lagi, mengingat pentas teater garapan saya di Pameran Buku Bandung, TAFAKUR ZAMAN. Yang cuma mau konsisten seumur hidup bilang, kita ini mesti ngaji krenda mayat setiap hari untuk jadi orang baik. Ya. Cuma begitu.

Saya juga mengingatkan. Di masyarakat akan ada seleksi buku sesuai hukum alamnya. Buku yang isinya asal-asalan meskipun eklusif dan tampang mahal, bisa kalah oleh buku tipis terbitan komunitas yang isinya istimewa. Minimal, orang akan mudah mencampakkan buku yang cuma menang hebat di percetakan itu. Sedangkan buku komunitas sastra yang bagus bisa populer, meskipun peredarannya sering terbatas.

Sialnya, di jaman now masih tidak sedikit yang cuma tertarik beli buku karena judul dan ketebalannya. Yang tujuannya untuk menghias etalase ruang tamu. Sebab baginya buku sastra sama dengan souvenir ini-itu yang layak dietalasekan. Lucunya, diamini oleh para penerbit. Bahkan Kitab Suci yang tebal, besar, lux, tampang orang kaya, lumayan mahal, banyak yang mau beli, meskipun isinya sama dengan yang harga kios buku pingir jalan. Lagi-lagi karena indah dipajangnya di etalase buku. Tentu kita gak bisa bilang, majang kitab begitu itu salah. Sebagian mereka bilang, tampang buku bisa bikin semangat membacanya. Meskipun pelajaran dari dunia pendidikan menjelaskan, para siswa dan mahasiswa yang lulus dan sukses terbaik bukan karena tampang buku tapi karena isi buku yang masuk ke dalam kepala dan hatinya. 

Buku yang isinya asal-asalan tentu ada standarnya. Begitupun buku yang serius. Itu juga hukum yang bisa memahami bahwa di dunia ekspresif, puisi-puisi 'yang jantan dan bekerja' tidak selalu yang dibalut oleh bahasa bersayap yang punya keindahan yang khas saja. Bisa saja berupa puisi-puisi dalam bahasa lugas yang sering disebut sangat sederhana. Tetapi dia lulus sebagai puisi jadi, dan lulus menuntaskan ruang tembaknya. Apalagi untuk puisi-puisi yang dibuat dan dibacakan dengan menyesuaikan diri pada momennya. Tentu bisa terasa lain. Seperti satu contoh, saya pernah membuat puisi tema Muharom yang saya bacakan di depan anak-anak yatim usia SD-SMP. Puisi itu selain selamat kaidah perpuisiannya, jelas-jelas telah menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Dan itu sah 100%. Sah juga untuk dimuat koran dan diterbitkan pada buku antologi. Selugas ataupun sesederhana apapun penilaian orang atas puisi itu. Puisi itu telah dan akan terus bekerja. 

Saya juga pernah menerima permintaan seorang guru untuk membuatkan puisi dengan tema tertentu yang pantas dibaca oleh muridnya dalam suatu acara.  Tentu wajar saya membayangkan dan mempertimbangkan siapa yang akan membacakannya dan mayoritas penontonnya siapa saja. Dan itu bukan puisi buangan. Itu karya sastra serius. Selain itu tidak sedikit artis pembaca sajak yang mengambil dari buku-buku para penyair, dengan cara memilih puisi yang pantas untuk situasi dan kondisi penontonnya. Kalau perlu dicarikan puisi yang bahasanya paling cair, gak njelimet, dan mudah dipahami. Apalagi untuk baca puisi-puisi pendek berwarna humor ---seperti stand up commedy---, selain bisa bikin sendiri, seorang pembaca puisi harus mencari karya yang setelah dieksploitasi dianggap bisa memudahkan orang tertawa atau minimal senyum-senyum.  

Dan di era buku dan internet hari ini, kita masih tetap menyukai dunia sastra koran. Seperti yang sudah saya bilang, selain soal lulus kelayakan, kalau ada satu-dua puisi atau cerpen saya dimuat koran, itu benar-benar kebaikan dari pihak koran. Termasuk kebaikan dari seseorang yang berkeputusan di koran itu. Jujur saja begitu. Sebab ini adalah perasaan yang seragam dari seluruh penyair dan penulis sastra yang konsisten di depan ruang sastra koran yang serba terbatas dan memilki otoritas. Apalagi buat saya dimuat koran sebenarnya bukan untuk nyari honor. Sebab ada juga koran dan majalah yang suka menawari pemuatan tanpa honor. Tetap saja hebat. Tapi besar atau kecil, honor tetap harus disyukuri. Kata tukang Mie Ayam begitu. Begitupun kalau dapat honor dari juri puisi.

Saya fikir gaya saya tetap orisinil gaya semua. Tetap akan lahir pengusaha, guru, jurnalis, petani, nelayan, pedagang, pengrajin, manajer pabrik, mandor perkebunan, karyawan kantor, supir taksi, dll yang jatidirinya seorang penyair. Terseleksi oleh jamannya. Yang seringkali tidak terlalu menganggap penting honor puisinya, sebab nafkah hidupnya sudah diatasi dengan cara lain. Dan ini tidak bikin bingung calon mertua yang tidak terlalu paham puisi. Karena itu alinea terakhir ini pantas viral.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG