TANTANGAN 1 PUISI 1 HARI?
INI BAB AIR MATA
pada sebuah buku tebal
yang diamnya selalu gunung
hijau, biru dan merah
pada bab-bab panjang
yang menyisir jemari padi
dalam tari-tari tradisi
ia mencari-cari keharuan
bagian yang sudah dibukanya
sudah dibacanya berulang kali
tapi tak ada wujudnya
seperti gaib
bersama bab yang tak ada
Kemayoran, 13102018
#puisipendekindonesia
------
Saya tiba-tiba tertarik ikut sebuah event menulis 1 puisi 1 hari dalam 100 hari. Bagi saya itu undangan yang mempesona. Tentu bukan karena sedang berproses latihan menulis ataupun tertarik pada kemungkinan untuk diterbitkan oleh pihak penyelenggara tantangan itu. Bahkan sebenarnya saya bisa 'bermasabodoh' pada siapa yang memulai event serupa ini dulu. Kalau ada yang sudah memulainya jauh-jauh hari, setidaknya mirip. Sebab siapapun yang punya gagasan pasti punya rencana-rencana dan raihan-raihan. Meskipun begitu, saya salut kepada yang punya gagasan ini. Setidaknya para manusia di bumi, setidaknya di Indonesia, sesungguhnya bisa berkomunikasi efektif melalui puisi. Melibatkan para penulis dan masyarakat pembaca.
Membaca tulisan Jisa Afta di Kompasiana yang berjudul Sejarah Event Tantangan Menulis 1 Puisi 1 Hari dalam 100 Hari, saya baru tahu kalau Jisa Afta inilah yang mengaku telah memulai gagasan menulis 1 puisi 1 hari. Yang dari uraiannya sangat jelas, sangat cocok untuk diikuti oleh siapa saja, terutama orang-orang muda yang mulai suka menulis dan masih punya rentang peluang menulis lebih panjang. Bahkan kalau event ini sudah ada waktu saya SMA dulu, siapapun penyelenggaranya, mungkin sayapun sudah terlibat. Apapun alasan saya. Tapi saat itu tidak ada. Adanya surat kabar.
Bagi saya mengikuti event menulis 1 puisi 1 hari dalam 100 hari, selayaknya terjadi pada para pencinta petualangan, adalah bagian dari uji nyali. Menguji adrenalin. Sepintas seperti sesuatu yang remeh, padahal sungguh besar manfaatnya. Toh bukan sensasi 'nyari celaka' seperti pada sebagian uji nyali yang berlebihan. Ini justru ruang penajaman mata hati, mata batin, bagi yang cermat mengikutinya.
Selain itu, bagi saya ini adalah kesempatan menguji teori-teori saya dalam suatu format yang berbeda. Sekaligus bangga menjadi teman sehati para penyukanya.
Sebagai penulis yang mulai menulis dan dimuat koran sejak kelas 1 SMA tentu saya sudah menghadapi tantangan informal. Tidak ada suatu forum atau institusi yang bikin tantangan-tantangan itu. Misalnya, ketika sedang jalan-jalan di Pameran Buku Bandung saya pernah melihat event lomba menulis puisi spontan. Durasinya tinggal tersisa kurang dari 30 menit. Tapi saya justru tertantang untuk menguji diri. Apalagi temanya menarik. Maka sayapun ikut. Dan hasilnya lumayan, dapat hadiah. Padahal orientasinya bukan orientasinya.
Seperti terulang pada kisah yang beda di Pameran Buku Jakarta. Waktu itu saya dapat kabar sehari sebelumnya dari beberapa mahasiswa teman istri, akan ada lomba menulis spontan dengan tema Indonesia di Lapangan Banteng. Sayapun bersiap-siap. Sesampainya di sana ternyata lebih spontan lagi, lomba terbagi dua sesi. Sesi pertama menyeleksi 10 penulis terbaik dengan tema Jakarta. Lalu yang 10 terbaik itu memperebutkan juara dengan tema Indonesia. Alhamdulillah saya lolos uji nyali. Lumayan punya HP baru.
Di berbagai event yang nyambung dengan aura sastra saya juga sering terinspirasi untuk naik panggung baca puisi secara tiba-tiba. Kalau tidak sempat bawa buku di tas, biasanya saya segera bikin puisi dadakan seperti menggoreng tahu bulat dadakan, lalu naik panggung. Bagi saya ini adalah uji nyali yang perlu.
Tentu, event ini bukan bagian dari latihan saya dalam menulis puisi. Menemui ketajaman merenung dan sensitifitas kemanusiaan ya. Tetapi saya dari dulu juga bukan tipe orang yang pandai berkata, "Jangankan 1 puisi sehari, saya ini sanggup bikin 10-20 puisi dalam sehari". Sebab di saat yang sama saya justru sedang memgamini, mereka yang berkata, "Melahirkan 1 kalimat untuk 1 puisi, meskipun untuk 1 puisi dalam 1 tahun, bukan perkara mudah".
Kalau di acara kemping pramuka dulu, saya memang senang meneriakkan puisi spontan. Memecah langit dan ombak pantai. Argumentasinya sederhana, sikap bersahaja seorang 'manusia sastra' ketika bicara, selalu seperti puisi-puisi pendek. Sebagian orang menyebut, seperti kata-kata mutiara atau kalimat motivasi. Jadi bukan bermaksud menggampangkan bikin puisi. Tinggal cuap. Lebih kepada sensitifitas, ketepatan, kelenturan, kedewasaan dan tanggungjawab kepenyairan.
Saya pun termasuk orang yang paling sering menghalalkan puisi pesanan. Misalnya jika ada seseorang minta dibuatkan suatu puisi untuk suatu acara tertentu. Tentu bukan untuk diaku-aku sebagai karya orang yang pesan. Tidak untuk itu. Atau ketika ada panitia yang menelpon saya supaya bisa naik panggung baca puisi dengan tema tertentu. Lalu saya sukacita segera menulis puisinya.
Menurut saya, banyak penyair yang sesungguhnya tidak merasa terperkosa oleh tema pesanan. Sebab sesungguhnya keseharian penyair adalah inspirasi-inspirasi. Ada yang langsung tumpah jadi puisi, dan ada yang mengendap menjadi kekayaan batin atau kekayaan intekrktual dalam diri.
Pada saat mengghadapi pesanan puisi, si penyair tinggal berkontemplasi memanggil inspirasi-inspirasi yang mengendap itu, dihubungkan dengan sentuhan jiwanya pada persoalan-persoalan terkini. Jika mudah cair, ia akan menyanggupinya. Jika tidak mudah cair, dia butuh waktu untuk proses kreatif, atau bahkan menolaknya sama sekali.
Itulah yang saya maksud. Dalam kehidupan sehari-hari, seorang penyair sudah menemui tantangan-tantangan. Banyak uji nyalinya.
Dan uji nyali yang paling normal dan paling terasa adalah, bersabar ketika puisinya tidak dimuat oleh koran tertentu. Meskipun beberapa puisinya sudah dimuat koran lain. (Apa anda mau bilang, cuma permainan bandar? Haha!)
Memasuki event menulis 1 puisi 1 hari dalam 100 hari, jelas tidak cuma uji nyali, tetapi uji teori-teori. Saatnya membuktikan bahwa sesuatu upaya atau proses kreatif itu bisa dilakukan dengan alasan yang benar dan kuat apapun. Bagaimanapun. Analoginya, sebagai guru gambar anak-anak yang lekat dengan dunia komik, misalnya, saya sebenarnya bisa ditantang oleh penerbit tertentu untuk membuat 1 lembar komik tangan dalam 1 hari selama bekerja untuk penerbitan itu. (Haha, jadi seperti promosi saja ya?) Yang artinya, tantangan itu memang selalu memaksa. Tetapi lagi-lagi, ada teori-teori lurus, yang bukan akal-akalan, yang bisa mengikutinya.
Kenapa menggambar komik untuk suatu penerbitan yang saya jadikan contoh? Sekadar menyambungkan uraian. Misalnya begini. Bagaimana kalau dalam suatu situasi tertentu, sedang sakit misalnya, lalu kita tidak bisa menggambar untuk menunaikan tugas, memenuhi target? Menurut saya, gagasan itu memang bisa tumpah dalam bentuk 1 karya 1 hari, tetapi logikanya dalam 1 hari bisa saja pada seseorang menggumpal gagasan untuk beberapa lembar karya. Selain itu, pada hari saat berhalangan, kita pun masih berkemungkinan punya gagasan yang menggelayut di kepala tetapi mustahil ditumpahkan, yang akan tumpah pada hari-hari selanjutnya. Itu sebabnya dari dua pengalaman itu kita masih bisa menutup target hari-hari kita. Itulah titik sambungnya. Tetapi kalau sudah ada kaitannya dengan dunia kerja, selain urusan bayar target, tidak melahirkan karya atau seseorang izin libur kerja bisa berdampak pada penghasilan.
Sepintas kita malah seperti sedang masuk ke dalam fenomena industrialisasi karya seni. Seperti ketika sehari minimal mampu membuat 1 pot kembang, maka akan diproduksi 30 pot dalam sebulan. Memang begitu. Tetapi memasuki logika lurusnya, kita tidak akan tersandung bengkoknya.
Perdebatan ini pernah memuncak saat saya membawakan acara Apresiasi Seni di radio Lita FM Bandung, sebelum era reformasi 1998. Salahsatu kritikan insan seni kepada kebijakan Presiden Soeharto adalah, seni terlalu diseret-seret ke ranah industrislisasi karya seni. Seolah-olah di luar itu adalah penyikapan seni yang salah. Bukan bagian dari politik kebudayaan dan REPELITA.
Tapi di era reformasi ini saya malah bangga bisa menulis karya sastra di blog setiap hari. Puisi, cerpen, dan artikel. Ratusan jumlahnya. Yang artinya saya pun pernah menulis 1 puisi 1 hari versi cannadrama.blogspot.com. Tapi bukan berupa event untuk menawarkan sebuah tantangan bersama. Meskipun demikian sangat besar manfaatnya, bagian dari strategi kerja puisi dan kerja senibudaya saya yang khas. Semacam jejak telapak kaki Purnawarman. Yang di dalamnya juga menyebut dan memunculkan nama-nama seniman yang hebat. Bagus buat bacaan harian.
Gagasan blog itu muncul setelah saya menyadari, lebih dari 20 tahun siaran Apresiasi Seni di radio-radio akhirnya saya menyesal, tak ada satupun rekaman yang bisa didokumentasikan untuk kepentingan anak cucu. Tak ada siaran radio dan TV yang bisa diklipingkan. Kecuali satu wawancara Apresiasi Seni di Majalah d'Radio. Padahal itu kerja nyata bertahun-tahun, meskipun tidak pernah mendapat penghargaan dari #KPI (#KomisiPenyiaranIndonesia). Lagipula targetnya sejak awal memang bukan penghargaan itu. Melainkan seperti dalam motto yayasan seni Cannadrama, "Menuju masyarakat seni (seniman dan pencinta seni) Indonesia apesiatif".
Nah, apakah anda juga suka tantangan-tantangan seperti yang saat ini saya ikuti? Tentu sangat tergantung seberapa kuat keyakinan, potensi, dan komitmen anda.
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar