ADAB DAN SENI DEPAN ANAK-ANAK

WAKTU ANAK-ANAK 2

menjumpai lampu-lampu kota malam
suara bapak lebih bercahaya, 
"Sebut subhanallah"
maka lampu-lampu itu 
segera bersinar dari hatiku, lebih terang 
apa yang kurindu dari hikmah besar itu?

untuk ibu, selalu wangi masakan langit
membuat kakiku melompati semua bukit 
hati riang dibagi-bagi di halaman 
ke tujuh teman dari tujuh samudra
lalu mengapa kubilang pada setiap suara kereta hari ini,
cintamu datang bertubi-tubi?

Kemayoran, 03112018
#puisipendekindonesia
--------

Belakangan ini saya makin suka lihat wajah dan tingkah laku polos anak-anak, yang bisa dilihat di media sosial. Termasuk yang paling umum, melihat senyum-senyum bayi. Semuanya serba menyenangkan hati. Apalagi pas lihat foto, lukisan atau video anak laki-laki yang belepotan lumpur main bola setengah telanjang, atau ada juga yang bahkan terjepret kamera lagi telanjang.

Kenapa menyenangkan? Karena saya tiba-tiba bisa membayangkan kehidupan para anak yang sukacita, termasuk kehidupan masa kecil saya dulu.

Saya bahkan kemarin bercanda sama anak laki-laki saya yang sekarang sudah kelas tiga SMP. Saya bilang, "Mau gak Papa gendong lagi dari rumah ke danau seperti waktu kelas dua SD dulu?" Dia cuma senyum sambil nyengir.

Memasuki dunia anak-anak adalah menasuki masa depan mereka. Penuh tanggungjawab kita sebagai para dewasa di situ. Tetapi menatap masa depan sesungguhnya justru membuat kita serius menikmati masa kanak-kanaknya. Sebab dari dunia mereka yang lapang itu kita banyak mendapati wasiat kehidupan.

Kebohongan kecil saja kadang membuat hubungan kita dan anak-anak terganggu. Membuat anak-anak mulai marah terhadap ketidakadilan, pada kebohongan di satu sisi, di sisi lain dia malah bisa beranggapan telah menemukan contoh bahwa dalam hidup ini boleh berbohong. Ini seperti membentuk luka sosial yang terus berulang.

Tapi memang seringkali kita menemukan suasana yang rumit. Sampai kita gak mudah berteori. Bayangkan, seorang balita selalu mengisyaratkan ingin disayangi, tetapi dia menangis dan marah kalau diperingatkan ini dan itu, meskipun tidak keras. Padahal menurut kita, 'memarahinya' adalah bagian dari rasa kasih sayang. Sebab tanpa itu, anak-anak bisa menganggap biasa segala hal. Nakal sekalipun.

Sebagai orang yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan guru sekolah dasar, dan setelah lulus pun masih sering sibuk dengan berbagai event senibudaya di kalangan anak-anak, tentu saya sangat dekat dengan dunia mereka. Dunia kemanusiaan yang beradab.

Apalagi setelah saya punya dua anak. Otomatis makin lengkaplah pengalaman hidup saya dalam memahami dunia anak-anak. Subhanallah.

Belakangan ini kita seringkali merasakan suasana yang gerah dalam kehidupan sosial kita, dalam berbangsa dan bernegara. Banyak peristiwa-peristiwa yang menguras energi untuk merenungkan kembali makna peradaban manusia di hadapan Allah Swt. Yang anehnya, selain mendapati para perenung yang mengharukan, kita juga begitu mudah dan sering menemukan sikap srampangan berbagai pihak dalam menanggapi segala persoalan. Terutama di media sosial.

Saya kadang berfikir, "Sikap seperti itu, jangankan bagi orang-orang ngerti, bahkan kalau anak-anak kecil sudah mulai ngerti, merekapun akan merasa sangat dibohongi".  Lalu beranjak dari suasana semacam itu, mengapa tidak dikedepankan saja teorinya. Kita bersiaga dengan membawa kalimat, "Bagaimana kalau anak-anak hari ini pada suatu saat kelak akan mengetahui semuanya, bahwa selama ini yang terjadi adalah kebohongan-kebohongan". Tentu pada saat itu mereka akan geram dan berucap, "Jahat".

Anak-anak yang sering kita sebut, memiliki dunianya sendiri. Terlepas dari dunia dewasa. Ternyata tidak sepenuhnya benar. Justru mereka adalah pihak yang paling memiliki kehidupan kita hari ini. Bukan cuma pewaris yang terkesan menunggu waktu, tetapi memiliki proses putaran waktu. Sebab berat atau ringan masa depannya, sangat tergantung pada tabungan keadaan hari ini yang ia tangisi melalui 'rasa kemanusiaan', bukan melalui logikanya yang masih terbatas.

Lalu saya mengambil satu perumpamaan. Bahwa anak-anak memang selintas seperti selalu terlihat sederhana berkesimpulan. Keluasan hidup cuma seluas kasih sayang orang tua. Asalkan kebahagiaan di situ mereka dapati, maka surga dunia pun akan terlihat nyata bentuknya. Padahal apa yang kita pahami tentang kasih sayang orang tua hari ini akhirnya? Secara sosial ternyata adalah kasih sayang dari para orang tua kepada anak-anak. Sebab mustahil sepasang orangtua bagi anaknya terpisah dari tatanan sosial hidupnya. Meskipun tinggal terpencil dan terkucil sekalipun. Mustahil tanpa garis hidup di tengah masyarakat. Pendeknya, keluasan hidup itu memang cuma dunia anak-anak dan para orang tua itu. Begitu terus sepanjang zaman. Dan kalau itu disebut rotasi yang polos dan sederhana, maka kita pun mesti bergerak polos terus dan sederhana terus. Jangan pernah berlebih-lebihan.

Anak-anak kecil yang telanjang itu begitu tanpa beban. Ia cuma nampak membawa diri untuk dirinya. Tetapi kunci besar di balik itu, yang perlahan-lahan akan disadarinya, diri yang besar adalah kemuliaan yang besar. Inilah yang disebut tanggungjawab moral. Sehingga mereka sangat-sangat bebas membawa jiwa raga besarnya ke manapun, dalam kebesaran kemanusiaannya. Lalu apa yang nampak beda dari dunia anak-anak dengan yang kita sebut masa depannya kelak? Lalu mengapa para penggenggam masa depan hari ini, justru terbalik-balik dari teori masa awal keberangkatannya sebagai manusia?

Anak-anak itu butuh hadir aman dan nyaman, selebihnya menyenangkan, setidaknya tidak berbahaya bagi diri dan orang lain. Ini universal. Tentu, hanya Allah yang maha kuasa saja yang kuat menggenggam rahasia kehidupan ini. Sehingga kebaikan dan kemuliaannya akan senantiasa menyelamatkan dunia. Seberapa dinamis dan kreatifpun manusia di bumi.

Dari kesadaran pribadi-pribadi yang kuat inilah lalu lahir komitmen-komitmen hidup bersama yang penuh cinta dan berkeadilan. Kesejahteraan diukur dengan itu. Termasuk pada waktunya mengarungi kehidupan berumahtangga. Berkeluarga kecil dan besar. Beranak cucu. Berbangsa dan berbegara. Bahkan berbangsa-bangsa di muka bumi.

Ternyata di depan anak-anak yang polos, yang kadang terdengar pecah tawanya lepas, kita malah sedang berkedasaran dan berkesaksian tentang kenanusiasn yang beradab. Subhanallah.

Trimakasihnya, tentu akan meningkatkan kepedulian kita pada kehidupan anak-anak. Terlebih-lebih pada kehidupan anak-anak terlantar, disabilitas dan yatim-piatu. Sebab mereka adalah kita dan kita adalah mereka. Bahkan sebagai otokritik, tidak terlalu penting kita melabeli mereka dengan puja-puji "generasi milenial" kalau ternyata para dewasa justru membiarkan mereka terpleset-pleset dalam laju hidup yang tidak dilapangkan. Sampai pada suatu saat bisa terjadi 'perlawanan' (arus balik) atas situasi yang tidak adil dan memihak, yang sudah kepalang dikembangkan dengan iming-iming kepedulian. Sebab ternyata sesungguh-sungguhnya mereka tidak minta di bebaskan tanpa arah, dielus-elus kebohongan, tetapi sebenar-benarnya menuntut kemerdekaan yang lapang dan menentramkan.

Ngomong-ngomong soal yatim piatu. Kita teringat lirik lagu dan nasehat para orang tua yang menyebut, pada waktunya kita akan menjadi yatim piatu di perut bumi, dipukul dipalu di alam kubur karena dosa-dosa kita. Nasehat ini setidaknya menyadarkan kita pada dua hal. Pertama, sebagai persiapan untuk menghindari hukuman dosa kelak, kita memang sebaiknya memahami satu hal dari srkarang. Sebagai mahluk sosial, kita akan selalu hidup bersama dan saling ketergantungan. Tetapi, segala sikap prilaku kita yang beriringan dengan sebab akibatnya dalam kehidupan pribadi, akan selalu menempatkan kita pada posisi sebagai yatim piatu. Sebatang kara. Sebab dalam hal sikap-sikap dan prilaku kita, bahkan saudara dan orang tua pun tidak bisa berbuat apa-apa. Semua serba tergantung yang menjalaninya. Ya, dalam segala peribadahan di seluruh penjuru bumi manapun kita hanyalah yatim piatu yang hanya bisa berbapak kepada Allah Swt. Sebab dalam perjalanan di seluruh titik peta, selalu hanya Allahlah yang paling dekat. Ada juga yang menyebut, beribu kepada waktu. Ini berasal dari ajaran suci yang menyebut, demi waktu. Sebab Allah sajalah yang menguasai waktu.

Kedua, sebagai yatim-piatu di muka bumi, kita memang seperti manusia sebatang kara saja yang terus akan dipukul dan dipalu oleh balasan-balasan atas dosa-dosa kita sampai kelak dikuburkan. Meskipun kita hidup bersama dalam sebuah keluarga dan masyarakat. Kearifan masyarakat kita menyebut, siapa menabur siapa menuai. Semisal koruptor, pengedar narkoba dan pemerkosa yang dipenjara itu. Untuk itu sebagai manusia lemah yang berserah kepada Allah kita wajib hidup menjauhi dosa-dosa.

Dengan menjadi manusia dewasa yang menyadari keyatiman diri, maka kita akan menjadi penyelamat bagi anak-anak yang lahir dan tumbuh sebagai generasi baru. Sebab mereka sangat butuh orang-orang dewasa yang banyak tahu. Jangan sampai kelak mereka menjadi 'yatim piatu kehidupan' yang tersesat.

Sebagai orang yang kesehariannya sangat dekat dengan panggung dan event kesenian, saya pun menemukan satu pembelaan yang kuat dan berharga di depan anak-anak. Sehingga panggung-panggung ada event-event itu bukan lahan penyesatan buat mereka kelak di kemudian hari.

Begini. Anak-anak itu selalu identik dengan keriangan hati, tawa lepas dan rasa ingin tahu. Suatu sikap yang tidak berbahaya dan tidak melukai siapapun. Maka panggung dan event kesenian pun sesungguhnya tak ubahnya ruang riang, tawa lepas dan pencerahan bagi manusia. Siapapun. Usia berapapun. Membuat hati siapa saja, penyelenggara, pengisi acara dan penontonnya menjadi lega atau terhibur. Untuk itu dibutuhkan parameter yang tegas dan kuat. Yaitu, suatu panggung dan event kesenian yang sama sekali tidak mendatangkan bahaya. Tidak ada kemesuman, hura-hura berlebihan, miras dan narkoba, kriminalitas, dll.

Sampai di sini tulisan ini. Tapi tak akan pernah selesai kita bicara anak-anak, atau terinspirasi anak-anak. Bahkan detik terakhir tulisan ini ternyata saya buat di depan Net-TV (Sabtu, 03112018) pukul 14:30 WIB. ketika ada adegan dua prajurit TNI tiba-tiba menemui anak-anaknya di sekolah. Entah TK atau PAUD. Sebab gambar di layar kaca tentu cepat bergerak. Lalu setelah bikin kopi hitam saya menyambut anak laki-laki saya yang baru pulang futsal. Ngasih dia obat sakit kepala karena mengaku agak pusing. Lalu kami ketawa-ketawa bersama nonton film kartun Spongebob di G-TV. Sebelum akhirnya pindah nonton Liga Dua di TV-One. Subhanallah. 

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG