GARUDA DARI ANAK

KUPETIK BINTANG JAKARTA 

galaumu di tujuh samudra
membangun tujuh rasi perjalananku
membuat lesatan-lesatan jauh
memetik satu bintang Jakarta
tertinggi, terhebat
terang dan cinta 
ketika Koesplus mengirimi telingaku
lagu Kembali Ke Jakarta
maka sempurnalah kepak garuda 
sempurnalah Indonesia
karena nyawamu di jantungnya
dan aku mengecup rekah bibir malammu

Kemayoran, 04112018
#puisipendekindonesia 
------

Kegilaan yang seperti tidak berharga padahal besar manfaatnya, itu perlu. Saya sudah lama, sejak tahun 1991 nyemplung ke dunia radio sudah pinjam lagu Koesplus yang berjudul, Kembali Ke Jakarta untuk propaganda nasionalisme. Baik secara langsung lagu itu sering diputar, maupun berupa siaran kata tentang 'misi sesuai tafsir saya' dari lagu Koesplus itu. Maklum, di tengah acara dangdutan pun saya madih bisa berimprofisasi, ngoceh soal Kembali Ke Jakarta.

Itu sebabnya ketika Witarsa Watarman yang di tahun 1998 sempat menjadi programmer radio Lita FM Bandung bikin program Keluarga Koes, request lagu-lagu Koesplus dan Koes Bersaudara, saya langsung antusias. Saya bisa leluasa berkoar Kembali Ke Jakarta sekaligus mengenang masa kabak-kanak di perkebunan kopi, yang sudah mulai doyan lagu-lagu Koesplus. Satu lagu yang membakar adrenalin saya jetika SD adalah lagu yang berjudul, Mobil Tua. Lagu teriak-teriak yang menurut saya 'super mantap'. Yang nampaknya berakibat juga pada karakter saya hari ini, banyak memelihara tradisi para tua yang berharga untuk bangsa dan negara. Setidaknya secara wacana di radio, tulisan dan di berbagai  forum. Sebab bagi saya, itu adalah mobil tua yang tak perlu mogok karena mesinnya tak perlu rusak dan bahan bakarnya tak pernah habis. Yaitu berupa wasiat kehidupan.

Setidaknya di tiga radio saya pernah bertahun-tahun siaran membawakan acara Koesplusan, meskipun sebagai koordinator Koes Fans Club yang memanfaatkan radio-radio, saya tidak harus tergantung pada tiga radio itu. Ketiga radio itu adalah, Lita FM, Populer FM, dan Trend FM.

Bagi saya lagu-lagu Koesplus yang inspiratif akhirnya memang teman dekat sejak kecil, selain lagu-lagu dari Ebiet G. Ade. Seperti sengaja dikirim Tuhan ke telinga saya biar hidup saya ada backsound-nya. Ya, meskipun saya bukanlah seorang penghafal banyak lirik lagu yang baik, karena lebih banyak merenung dan mengurai tafsir, tetapi saya cukup sadar menangkap pesan lagu-lagunya yang cukup renyah dinikmati masyarakat di pasaran. 

Saya yakin pasti ada yang sudah terlanjur nyebut saya norak. Karena lekat dengan lagu pop (populer) yang encer, bahkan meskipun agak telat, sejak remaja sudah berani siaran dangdutan. Sebab sebelumnya sejak bayi kebetulan tak ada satupun kaset dangdut di rumah orang tua saya. Kalau uyon-uyon (kesenian Jawa) dan lagu pop ada. Termasuk lagu nostalgia mancanegara.

Saya yakin, selain memiliki khas masing-masing, kita ini juga manusia pop (populer), manusia umum dengan pergaulan yang umum. Model rambut, sepatu, dan gambar kaos kita juga pop. Yang sering membedakan antara satu dengan lainnya adalah gaya tampil dan cara memadu-padankannya. Itu. Maka eklusifitas saya pasti selalu berhimpitan, berkesamaan dengan pengalaman anak-anak Indonesia pada umumnya. Meskipun setiap hal baik di situ bisa dipotong paksa oleh arus tertentu, oleh pihak tertentu yang tidak jelas terbaca maksudnya oleh anak-anak dan remaja.

Itu sebabnya, daripada mampu mengurai pengaruh luar dengan terang-benderang, waktu umur kelas 1 SMA saya malah nulis di surat kabar, Kenakalan Remaja Eksistensi Hantu. Jelas, saya lebih bisa 'membaca diri' daripada pengaruh luar yang bisa menjebak ketika itu. 

Yang saya maksud dengan keumuman kita yang saling bersinggungan sejak masa kanak-kanak, salahsatunya adalah dalam hal tumbuh-kembang kita sebagai garuda dari anak. Anak Indonesia sejak lahir. Yang pada usia 25 tahun saya terjemahkan dalam suatu argumentasi, tanah ini adalah tanah Allah. Tempat kalimat-kalimat Allah ditegakkan. Sejak lahir sampai mati akan saya bela melalui jihad fi sabilillah. NKRI harga mati. Apapun sebutanya menurut konstitusi, Indonesia, Nusantara, atau apapun. Seberapapun luas wilayahnya yang dibenarkan oleh undang-undang.

Karena itu saya sering berharap, kepada para pihak yang suka ngaji khilafah besatu hatilah. Karena itu juga saya renungi. Tetapi melalui pintu yang khas dan konstitusional. Yaitu berjihad untuk Allah di Indonesia, yang berbhineka tinggal ika, berpancasila, dan berbendera merah putih. Menjadi nasionalis relijius (NASIR). Sebab nasionalisme juga ajaran besar dari Nabi SAW. Perkara bersatunya negara-negara berbeda ke dalam titik sentrum nasionalisme baru yang lebih besar untuk tujuan penyelamatan muka bumi Allah, itu adalah kemungkinan. Tetapi eksis dan hadirnya negara-negara di bumi yang dipimpin orang-orang soleh yang amanah, itulah amanat utama perdamaian dunia. Semakin banyak jumlah negara di muka bumi atau semakin sedikit karena proses integrasi, hanya Allah saja yang tahu rahasianya. Tetapi NKRI sudah menjadi fakta nyata, karunia Allah SWT yang harus dijaga. Agar seluruh hamba Allah, warga bangsa ini, bersukacita dalam cinta, berkeadilan dan berkesejahteraan. Selamat dunia wal akhirat.

Sejak kecil kita adalah anak-anak dengan kepak sayap garuda. Dengan merah-putih yang tegak di atas ubun-ubun kepala, tumbuh dari lagu Indonesia Raya di hati. Lalu kita tumbuh berbagi tugas, tapi selalu bisa saling mengingatkan pada perkara inti dari seluruh pilihan-pilihan. Seperti saya pribadi, akhirnya harus ngurus radio, wajib ngurus dunia senibudaya, menjadi penyair, dan lain-lain yang khas itu. Kecuali kalau presiden manggil saya jadi tukang cuci mobilnya, itu bisa jadi profesi baru. Meskipun peran saya selama ini pun sudah seperti tukang cuci mobil. Itu sebabnya ada yang kurang suka juga. Sebab ternyata tidak sedikit yang suka kotor. 

Sejak kecil juga, kita sudah dengar salahsatu backsound hidup di Indonesia berupa lagu pop yang merakyat, Kembali Ke Jakarta itu. Tentu, kalau ibu kota negara kita di Bandung waktu itu, dan Koesplus sedang tebar pesona dengan romantisme ibu kota, lagu itu pasti akan berjudul, Kembali Ke Bandung. Kalau ibu kotanya di Palangkaraya, lagu itupun pasti berjudul Kembali Ke Palangkaraya. Pun kalau di Palembang atau di Manado. Sebab ibu kota negara adalah supremasi. Selalu menjadi lambang spirit nasionalisme. Termasuk Jakarta.

Itu sebabnya saya suka bilang, kalau mau kerja di Jakarta buat orang Bandung cukup di Bandung saja, sebab Bandung juga Jakarta. Tapi kalau ada peluang ke Jakarta ya oke-oke saja. Begitupun buat orang Papua, kalau mau menikmati Jakarta, nikmatilah kesejahteraan di Papua. Sebab tanah Papua juga Jakarta. Tetapi kalau sempat datang ke Jakarta, kenapa tidak? Begitupun buat anak keturunan orang Jakarta, kalau mau menikmati Jakarta yang lain, datang dan berdomisililah di Aceh atau di Lombok. Sebab hidup di Indonesia ini indah. Karena itu, dalam hal pembangunan, selain adanya bangunan dan fasilitas publik yang ada di suatu tempat tertentu, karena mustahil ada di seluruh penjuru tanah air, kita pun senantiasa berharap adanya keadilan, pemerataan pembangunan, Sabang-Merauke, untuk seluruh yang bisa dibangun di mana-mana, sesuai kebutuhannya.

Waktu kita kecil, berangkat ke sekolah dan pakai seragam yang ditentukan oleh sekolah, kita sudah merasa di-Indonesiakan. Pun ketika harus 'upacara bendera' setiap Senin. Dan kita senang. Bersyukur kepada Allah. Tidak pernah berontak. Sebab di kemudian hari kita pun sadar, pemberontakan itu hanya ditujukan kepada kozoliman, kebiadaban.  

Waktu kanak-kanak kita dengar lamat-lamat atau jelas kisah Rosulullah yang memukau. Kisah para Wali penyebar agama yang 'sakti'. Kita tetap dalam posisi sebagai bangsa Indonesia yang menerima sukacita kisah-kisah inspiratif itu. Kisah-kisah yang sungguh beradab dan percontohan.

Waktu kecil, selain senang tidur-tiduran di ubin luar mesjid, kita juga biasa main-main di halaman gereja, naik pohon ngambil buah kersen di depan rumah atau toko orang Tionghoa yang beragama Kristen. Sebab kita merasa Indonesia. Tetapi ketika ada yang ceramah di hari besar Islam, "Umat Islam harus kokoh, bersatu, menyelamatkan bangsa dan negara", lalu ditambahi dengan kalimat, "Kita butuh pemimpin muslim yang bisa menyelamatkan dan menyejahterakan bangsa ini", kita pun sangat ngerti. Itu biasa. Bukan kode permusuhan. Itu kesejukan yang indah. Bagian kedua dari ceramah itu tentu datang dari dua alasan. Pertama secara konstitusional, siapapun anak bangsa ini boleh 'nyalon' jadi presiden. Kedua, Islam yang mayoritas, butuh seorang muslim yang mewakilinya sekaligus mampu memimpin bangsa ini secara menyeluruh dan adil.

Lalu kalau kita menengok ke negara luar, atau ke suatu daerah di Indonesia. Di suatu daerah yang mayoritas penduduknya Kristen tetapi telah terpilih seorang muslim sebagai pemimpin di situ. Kita tentu kembali memahami, bahwa semua telah diberi hak yang sama sesuai undang-undang.

Pengalaman pahit getir kita menunjukkan, kita selalu ingin menjaga dan menikmati setiap kenangan yang indah dan bernilai tinggi. Serta ingin meraih segala kebaikan yang belum tercapai. Subhanallah. 

Beberapa hari lalu sebelum membuat tulisan pendek ini saya sudah menulis status di media sosial facebook tentang ormas atau komunitas yang pro-NKRI dan Anti-NKRI. Sbb:

PEMBUBARAN ORMAS

Setahu masyarakat, pencabutan badan hukum suatu ormas harus memenuhi syarat pencabutannya. Harus dengan alasan yang benar dan meyakinkan. Misalnya tidak sehaluan dengan NKRI dan Pancasilanya. Kalau persyaratannya sudah terang benderang dan diketahui masyarakat banyak, lalu pemerintah mencabut badan hukum suatu ormas, maka masyarakat pasti menahaminya sebagai pembubaran secara resmi. Meskipun, negara tetap harus bersikap bijak dan adil kepada orang-orang yang pernah menjadi anggota ormas tersebut. Bagaimana?

Silahkan cek syarat-syarat pencabutan badan hukum ormas atau pembubaran ormas.

Apakah ormas yang dicabut badan hukumnya menjadi sama statusnya dengan ormas yang belum memiliki badan hukum? Ormas-ormas yang belum terdaftar bisa terbagi menjadi ormas pendukung NKRI dan ormas yang tidak pernah mendukung NKRI. Yang keduanya wajib disikapi oleh negara secara proporsional, sesuai undang-undang yang berlaku.

Soal NKRI harga mati, bagi orang Islam yang terbuka sangat mudah untuk memahaminya. Selama perjuangan untuk NKRI adalah perjuangan mulia di jalan Allah, tentu umat Islam menerima. Dan itulah yang terjadi selama ini. Bahkan cara berfikir khilafah yang paling sesuai di Indonesia adalah ketika umat Islam yang mayoritas sesuai konstitusi menginginkan pemimpin negaranya dari kalangan umat Islam. Meskipun semua punya hak yang sama di depan undang-undang. Sehingga tidak ada cara berfikir lain dalam kontek NKRI. Apalagi anti NKRI.
------

Tulisan di media sosial itu merupakan suatu bahan renungan, mengapa akhirnya kita bela-pati terhadap NKRI, dan mengapa Allah rido terhadap NKRI? Sekaligus mendatangkan kesadaran dan kesaksian, kapan waktunya Allah bisa tidak rido atas suatu hal tertentu. 

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG