INI JUGA PR DI HARI PUISI NASIONAL

MENJADI MATAHARI, MENJADI BULAN

maaf Tuan, 
anda menghalangi matahari
jangan begitu,
begeserpun kau menghalangi bulan
24 jamku bisa selalu habis
itu semua karena kamu korupsi
tidakkah cukup hidup dengan harga diri
dan berapapun besarnya uang gaji?
tidakkah itu cukup untuk menjadi mattahari?
menjadi bulan?
dan membeli lagi 24 jamku
untukmu

Kemayoran, 17112018
#puisipendekindonesia
-------

Saya menghadiri acara pembukaan Hari Puisi Nasional di TIM, 17112018. Saya dengar ketua Yayasan Puisi, Maman S. Mahayana yang cerita repotnya lari kesana kenari nyari dukungan dana untuk Hari Puisi. Yang saya komentari di bawah tiang tenda, "Salah sopo?" Tetapi alhamdulillah, sudah sukses berjalan ke 6 kalinya. Saya dengar orasi Sutarzi Calzoum Bachri tentang puisi, masyarakat dan hari puisi.  Lalu saya dengar juga gubernur Anies Baswedan yang ngasih pidato sambutan sebelum pemukulan gong, diantaranya tentang fasilitas seni yang ada sungguh sangat membutuhkan 'aktor seni' untuk selalu mau tampil, selain juga bicara Pemda DKI yang akan mendukung sepenuhnya anggaran Hari Puisi. Ya, saya dengar sambil makan sate Padang dan minum teh dingin.

Subhanallah. Allah maha baik.

Soal tampil baca puisi, panitia bilang pada saat saya registrasi kehadiran, "Nanti dipanggil". Okelah kalau begitu. Setidaknya saya memang siap untuk membaca satu puisi pendek berjudul, Menyudahi Terik. Ya, satu saja.

//MENYUDAHI TERIK

aku menepuk bahu langit
dengan takbir dan bismillah
malaikat mengeluarkan kuda putih berkilau
berasap api
besar dan perkasa
kutunggangi ia
memecahkan sial dunia
mengelilingi bumi dan tata surya
meringkik tak selesai-selesai
di pinggang pedang masa depan
dari tangan melesat tombak masa silam 
dan aku perwira di tujuhpuluh bendera

Kemayoran, 09102918//
-----

Sayang sekali, famili yang mengantar saya kurang fit badannya. Sangat kelelahan. Sehingga saya terpaksa pulang sebelum naik panggung. Yaaah, apa boleh buat. "Ini kenyataan, Bro".  Untung segera dibisiki malaikat, "Emangnya penyair semakin tambah resmi kalau sudah baca puisi di Hari Puisi Nasional? Trus bagaimana dengan yang sangat banyak itu, yang berhalangan datang?" Alhamdulillah, setidaknya buat saya, bisa hadir di acara penting saja sudah berkah Allah yang luarbiasa.

Mengapa puisi Menyudahi Terik? Tentu banyak alasan. Termasuk salahsatunya, karena ini acara pertama saya yang bisa ketemu selokasi dengan gubernur Anies. Sebab sebelumnya saya masih merasa-rasa, "Apakah mantan pendukung Ahok pada Pilkada yang lalu perlu hadir?" Ah, itu lain soal, Pilkada dan konstitusi kan telah memenangkannya. Lagipula Anies Baswedan adalah gubernur DKI yang secara struktural juga tetap menghormati presiden Jokowi. Artinya, dia sudah bukan peserta Pilkada lagi. Sudah jadi pemerintah, bersama presidennya. Siapa menolak?

Kalau ingat terus Pilkada itu apa gak terus panas? Mumet? Apalagi di media sosial julukan saya waktu itu kan mirip dengan julukan untuk Jokowi. Kafir, murtad, PKI, antek Cina, antek asing, dlsb. Gak tahu apa judulnya, pokoknya memang begitu. Apalagi partai pendukung Jokowi saat itu bersama koalisinya mendukung Ahok.

Kita menatap ke depan saja, untuk kebersamaan yang lebih baik. Untuk Indonesia yamg dirahmati Allah Swt.

Saya yakin masyarakat sudah makin melek politik. Gak ada yang namanya dukungan Pilkada bersifat  pribadi. Yang ada, saya representasi masyarakat yang mendukung Ahok sebagi sebuah sistem pembangunan yang meyakinkan. Yang konstitusional dan mencerahkan.

Tapi itu kan sudah selesai. Sayangnya memang, masih menyisakan materi diskusi dan perdebatan yang tak selesai-selesai. Peristiwa sejarah yang penuh kenangan. Tapi saya yakin justru akan semakin membuka kesadaran persaudarasn sebangs setanah air.

Daripada terus terjebak di kesedihan masa lalu, bukankah jauh lebih baik bersikap optimis ke masa depan?

Berkaitan dengan politik, tentu halal saya mendukung Jokowi sebagai presiden periode yang akan datang. Sebab ini penting. Jangan pernah menakut-nakuti seniman (termasuk penyair di dalamnya) untuk selalu tidak memilih alias netral di permukaan, meskipun tidak di bilik suara TPS. Sebab dalam keadaan punya dukungan terbuka pun, universalitas karya seniman itu netral. Selalu netral.

Dan saya yakin Anies Baswedan di TIM tidak akan pernah murung meskipun saya pendukung kubu Jokowi-Ma'ruf. Justru sikapnya ini juga, Menyudahi Terik.

Tapi gak perlu jadi picik juga. Emangnya baru ngerti politik sejak kapan? Hari Puisi sebagai pihak yang mengaku milik seluruh penyair Indonesi tentu bisa berlepas diri dari kubu manapun yang sedang berjibaku dalam kampanye capres-cawapres. Tetapi itu berarti, membebaskan para penyair secara pribadi-pribadi atau berkelompok mendukung pihak manapun.

Meskipun puisi saya Menyudahi Terik belum naik panggung, tetapi secara penjadwalan sesungguhnya telah ditulis dan disiapkan panitia untuk naik. Itu janjinya kepada saya. Maka anggap saja itu sudah cukup berita gembira. Sebab setiap satu puisi selalu punya ruang kerjanya yang khas. Yang kemudian mengingatkan saya pada sajak Aku dari Chairil Anwar, yang juga bekerja secara khas diikuti seluruh cerita seputar dirinya dan penyairnya.

Ini juga PR di Hari Puisi Nasional.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG