KECUPAN DUA PERIODE?

BISIKAN MALAIKAT PEMILU

sebab detikmu zikir
lima waktumu sujud
dan menengadahkan tangan
kebutuhan khususmu menjadi manusia
kepada siapa saja
lumpuh bahkan mati tanpa itu
kamu bukan cuma tubuh perempuan 
tapi sesungguhnya manusia
bahkan saat kuremas jemari tanganmu
menetes deras madu surgamu
dan saat kukecup bibirmu
Malaikat PEMILU berbisik, "Lanjutkan dua periode".

Kemayoran, 28112018
------

Belakangan ini memasuki tahun politik, keruwetan seperti menyumbat di jalan-jalan lapang kita. Padahal otak cerdas dan dewasa, bahkan kearifan ke-Indonesiasn kita tak pernah bohong, mengomunikasikan segala hal dalam bahasa yang mudah dimengerti, baik oleh kaum intelektual maupun oleh kalangan awam, justru membawa bangsa ini ke arah wacana terbuka yang lapang. Bukan malah menyempit, buruk rupa dan menegangkan.

Seorang ahli atau tokoh masyarakat yang terhormat, di depan masyarakat akan selalu bicara dalam kalimat yang tegas, keramat dan langsung bisa ditangkap maksudnya. Tidak plintat-plintut. Atau berbelit, biar memberi kesan pinter, padahal justru sembunyi ke dalam kebodohannya yang ceroboh. Tidak juga berdiplomasi musang berbulu domba, yang penting kesampaian menangnya, padahal ini-itu sudah dicoret gak penting.

Kalimat-kalimat yang benar, mulia dan menyelamatkan, selalu sudah mengandung hukum-hukum penelitian, meskipun tidak diuraikan. Seperti lagu yang sudah bagus, enak, bermanfaat dan banyak yang suka. Notasinya bisa dibuat belakangan oleh ahli musik, dan tidak pernah ditolak oleh pencipta dan penyanyinya.

Tetapi belakangan ini apa yang tersaji? Memprihatinkan. Kita perlu memanggilnya kembali ke satu lingkaran cara berbeda pendapat, cara menyalahkan yang benar dan beradab, dan cara berproses yang penuh kemenangan bukan berproses dengan cara-cara yang kalah. Sebab proses yang kalah akan berakhir pada kemenangan palsu yang menipu. Meskipun diam-diam para politisi bisa saling ngasih sen, kalau sudah menang tinggal tobat. Ya, bikin rekayasa tobat. Sementara malaikat tak bisa dikibuli.

Penguasa yang masih bisa maju nyalon di tahun politik ini, tentu hadir dengan fakta-fakta, data-data, dan rencana. Dan pada bagian rencana, dia bisa bersikap sama, bahkan sama persis, atau punya perberbedaan dengan oposisinya. Sebab itu memang rencana. Sehingga tetap menjanjikan perubahan besar. Tetapi yang kita pertanyakan, bagaimana cara baik dan mulia dalam berjualannya. 

Seperti dalam puisi di awal tulisan ini, bagaimana strateginya supaya waktu kita mengecup bibir (istri), malaikat cinta berkata, "Lanjutkan dua periode!"

Sementara calon penguasa dari kubu 'oposisi' yang ikut PEMILU pun mesti punya rencana-rencana yang realistis dan meyakinkan. Diikuti oleh cara-cara penyampaian yang membeli akal budi manusia. Yang tidak membohongi meskipun kepada masyarakat kecil yang dianggap gak tahu apa-apa. Meskipun kelak dalam merealisasikannya jika sudah menang, tentu akan bertemu dengan tiga hal seperti yang dialami calon petahana. Pertama, rencana yang sukses. Kedua rencana yang berhadapan dengan keadaan tertentu yang mempersulit eksekusinya. Dan ketiga, tetap terus yakin pada upaya merealisasikan rencana-rencana pembangunan apapun ke depan. Tergantung, apakah rakyat Indonesia masih memberi kesempatan atau tidak.

Logikanya, calon petahana sejak awal terpilih memang bisa berpegang pada konstitusi dan keyakinan penuh, bahwa pihaknya telah diwajibkan untuk memimpin dua periode, dengan syarat memenangkan Pemilu kedua. Sedikit mirip "Pemilu Sela" jadinya. 10 tahunnya bisa batal oleh kekalahan di situ.

Kalau disebut atau dikritisi, calon petahana cuma berusaha bikin tenang, ngelus-elus, padahal luka-luka masyarakat dan kegagalan pembangunannya besar. Pihak oposisi pun disebut dan dikritisi, cuma minta dibeli masyarakat 'daya pukulnya' yang pragmatis kepada penguasa hari ini. Daya pukul yang membabi-buta, tidak realistis dan humanis, serta tidak mencerahkan.

Sebutan dan kritikan dari dua arah yang model begini harus diredam dengan cara-cara yang lebih Indonesia. Yang lebih sehat dan mencerahkan. Ya, mencerahkan kubu lawan memang sulit karena posisinya berhadap-hadapan, tetapi yang terpenting beretika dan mencerahkan masyarakat pemilih.

Tidak perlu juga memaki-maki calon presiden petahana dengan sebutan-sebutan yang menjatuhkan wibawa supremasi ke-Indonesiaan. Sehingga serendah itu presidennya 'ditimpuki' oleh sebutan-sebutan kasar. Sebab dalam kapasitas presiden, kesana kemari ia masih dihormati oleh kepala-kepala negara dan masyarakat internasional, semata-mata sebagai penghormatan untuk ke-Indonesiaan kita.

Di era Orde Baru pun, kalau saja Presiden Soeharto punya pesaing, dia adalah capres petahana. Tentu tidak boleh ada yang 'ngata-ngatai' secara tidak patut. Bukan karena Pak Harto otoriter dan bakal bertindak keras, tetapi tanpa keadaan itupun kita punya standar logika, standar etika umum untuk menunjukkan bangsa yang selalu berproses secara beradab dalam hal apapun. Kalaupun ada yang berpendapat ketika itu, "Soeharto harus jatuh karena alasan-alasan yang masuk akal", adab ke-Indonesiaanlah yang harus melakukannya melalui prodedur yang benar. Sehingga diapresiasi oleh seluruh generasi.

Hari ini nampaknya kita tidak sedang berada di tengah suasana demontratif, "Jokowi harus jatuh" atau "Jokowi harus dijatuhkan".

Kritikan bisa disampaikan dengan cara menyebutkan fakta pembangunan yang dianggap tidak berhasil. Itupun harus siap menghadapi reaksi jawaban dari pihak yang dikritik. Terlalu jauh melenceng kalau kritikan itu misalnya dibumbui dengan menyebut, "Presiden Jokowi ideot", " banci", dll.

Bahkan sebaliknya, calon presiden dari pihak oposisi, yang pada bulan-bulan yang sama tidak sedang dielu-elukan oleh sistem hubungan internasional karena belum jadi presiden, tetap harus diberi sebutan yang menjunjung etika persaingan.

Biarlah kenyataan menunjukkan, calon satu dan calon dua berposisi setara. Tetapi yang masih aktif sebagai presiden memang selalu +1. Ini akan berlaku selamanya. Menjadi istimewa karena masih dihormati oleh bangsa Indonesia. Lugasnya, nilainya masih tokoh nomor satu nasional dalam upacara bendera 17 Agustus. Kalaupun ada yang bisa mengalahkannya pada Pilpres (Pilpres Sela), semestinya karena keistimewaan pesaingnya.

Ke depan, ---tentu dimulai dari hari ini, kita akan selalu merindukan Pemilu yang enak dilihat, dirasakan, dialami, dan dipersaksikan kepada anak-cucu kita. 

Kemayoran, 28112018
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG