PAK TOYO GURU
MENDUNG KAMPUNGMU
ini mendung dan rindu membatu
lalu kutulis surat dan nanti kuberikan padamu
sekali ini aku harus melawan telpon
yang tak bisa mewakili gemetarku
saat menyerahkannya ke tanganmu
lalu menunggu reaksimu
sebab telah kudatangi kampungmu
yang jauh melingkar-lingkar
lalu kusimpan mendung untuk menjadi berkah hujan
lalu kupastikan kamu mengerti
mencintaimu juga mencintai negara dan kampungmu
kutulis di surat itu, "Bulan ini kita nikah".
Kemayoran, 08112018
#puisipendekindonesia
--------
Saya awali tulisan ini dengan mengatakan bahwa puisi di kepala tulisan ini tidak sama persis dengan bagian kisah pernikahan yang akan saya uraikan. Kalau bersinggungan, iya. Sebab pernikahanlah yang telah menginspirasi puisi tersebut.
Selanjutnya seperti judulnya, saya mau 'memanfaatkan' cerita Soetoyo Madio Saputro. Bapak saya yang lahir di Bogor tahun 1932, tetapi dari keturunan Jawa. Banyumas. Yang kelak beristrikan ibu saya, Ustajah Siti Djalaliyah kelahiran Jogja. Lalu berdomisili di Curug Sewu Kendal, Jawa Tengah dan kota Sukabumi, Jawa Barat. Terakhir dimakamkan di kota kecamatan, Sukorejo, Kendal.
Bagi saya, bapak saya itu orang baik. Udah gitu aja.
Itu sebabnya ketika meninggal, beliau tetap umur panjang. Sebab semua orang baik adalah dia. Adalah umurnya. Dan menjadi orang baik itu adalah cita-cita mulia. Termasuk yang saya idam-idamkan sampai akhir hayat. Udah gitu aja.
Jadi orang baik itu menentramkan hati dan bikin panjang umur. Insya Allah. Hidupnya ngerti karena setidaknya mendapat restu Allah untuk berusaha ngerti.
Setelah menulis paragrah di atas, saya tiba-tiba teringat Kak Philip. Kakak kandung dari wanita yang telah saya nikahi di Bandung tahun 1995 lalu. Dia pada hari ini meninggal dunia di Manado sana. Sebagai seorang Kristen yang taat dan disayangi keluarga besarnya. Sayapun terharu dan merasa kehilangan. Lagi-lagi berkesimpulan, jadi orang baik itu dambaan setiap orang. Dan ternyata tidak mudah jadi orang baik sampai akhir hayat itu.
Diingatkan oleh nama Soetoyo dan nama Philip itu, saya hari ini, 8 November juga teringat peristiwa tahun 1995 di Bandung. Karena pada tanggal itu saya sedang persiapan nikah untuk tanggal 10 November. Sebab sudah saya yakinkan kepada bapak saya dan keluarga di Manado bahwa 10 Novemver, yang saat itu jatuh pada hari Jumat, adalah hari baik. Dan kami siap dinikahkan oleh Allah SWT, dan kelak berketurunan, Nurulita Canna Pambudi (Bandung) dan Findra Adirama Pambudi (Purwakarta).
Kenapa 10 Novemver baik untuk pernikahan kami? Jawabannya diplomatis, sederhana, dan semoga cerdas, "Sebab kami tidak ingin menikah di hari yang disebut sial oleh Allah SWT". Apalagi saat itu 10 November hari Jumat dan Hari Pahlawan. Saatnya kami berfikir tentang spirit kebangsaan juga. Suatu sikap gak neko-neko. Sebab nikah pun pinginnya dicatet oleh negara, bukan oleh pohon terong.
Awalnya sejak masa SMA saya menduga-duga bakal dikasih wanita Sunda. Ya, pacaran saya emang selalu di situ, meskipun sempat dekat juga sama wong Jowo. Tapi takdir Allah yang selalu baik itu memilihkan untuk saya wanita asli Manado tetapi domisili sejak kecil di Bandung. Yang kakak kandungnya juga nikah sama asli orang Bandung, keturunan Tionghoa.
Dasar bapak saya orang baik sejati, dan ngerti bahwa anaknya 'laki-laki sekali', maka diapun langsung merespon rencana pernikahan itu dengan dukungan sepenuhnya. Ihlas dan bahagia. Pun ibu kandung dan ibu tiri saya. Kompak.
Akhirnya, 10 November ketika itu seluruh orang Indonesia rasanya seperti ngumpul di hari Jumat di rumah saya. Meskipun tidak dihadiri banyak orang karena tempat 'selamatannya' juga kecil saja. Acaranya juga sangat sederhana.
Kembali ke cerita Soetoyo atau Pak Toyo yang kebetulan bapak saya. Yang memang bentuknya juga pas untuk jadi bapak saya. Termasuk gaya duduk dan batuknya.
Bapak saya orang baik. Sehingga kalau ada orang-orang baik dipukuli, disiksa, dihina, dst, maka mereka itu, tua atau muda, pria atau wanita, pimpinan atau anak buah, adalah bapak saya. Adalah juga saya.
Dalam spirit nasionalis relijius, bapak saya yang pernah jadi penggembira Masyumi itu, apalagi waktu muda sempat jadi Kepala Sekolah SMP Islam di Lampung hingga punya anak pertama di sana, pernah mengatakan kepada saya, "Lihatlah Pak Harto (maksudnya Presiden Soeharto), meskipun ngobrol tani sambil ketawa-ketawa kepada rakyatnya, tetapi kata-katanya terus dicatat oleh para mentri dan pejabat. Sebab kata-katanya adalah kebijakan pemerintah. Tidak cuma untuk diingat. Tapi dilaksanakan". Sejak saat itulah rasa saya rasa presiden. Juga rasa mentri dll.
Apa yang bapak saya katakan itu adalah kenang-kenangan berharga. Dia melihat Allah untuk pembangunan Indonesia, juga melihat kebaikan presidennya dengan tulus. Meskipun tinggalnya di perkebunan dan menjuluki dirinya Wong Alas (Orang Hutan). Sebab kisahnya akan menjadi berbeda ketika yang kita pertanyakan, apa yang bisa dikritik dari Pak Harto? Itu terlihat ketika dia menyayangkan, ketika Pak Harto akhirnya turun tahta di tengah jalan dalam suasana ribut menuntut reformasi.
Bahkan saya sependapat dengan Yusril Ihza Mahendra dan Amin Rais, idealnya, rapihnya, presiden Soeharto tidak dicalonkan lagi atau tidak terpilih lagi pada pemilu terakhir ketika itu. Hampir tiap hari saya menyukil pendapat seperti itu dari berbagai sumber untuk siaran radio. Sehingga wacana politik yang berkembang diharapkan, pihak-pihak yang berkepentingan harus segera bersiap-siap menyongsong pemilu terakhirnya itu. Tetapi takdir Allah yang tidak pernah salah menentukan, sebelum pemilu terakhir dia harus lengser.
Sebagai orang baik tentu bapak saya tidak suka orang jahat. Termasuk menyesali mengapa harus ada orang jahat yang membunuh para jendral di Lubang Buaya? Lebih ke belakang lagi, mengapa harus ada pihak jahat yang bikin perang, sehingga di tahun-tahun perang kemerdekaan, sebagai anak-anak dia sering ketemu mayat di sana-sini, baik dari pihak Indonesia maupun penjajah?
Akhirnya sederhana saja sikapnya mewujudkan anti jahat pada kehidupan sehari-hari. Sebagai pekerja, dia selalu berusaha menunjukkan bahwa dirinya, disukai atau tidak, adalah orang baik-baik. Sebab dari sejak jaman dahulu kala pun tidak sedikit orang baik yang justru dibenci pihak tertentu.
Sebagai orang tua ia tak bosan-bosan bernasehat, agar anak-cucunya jadi orang baik saja. Itu harus dijadikan cita-cita besar. Apapun pekerjaan dan posisinya. Sebagai keturunan Jawa dia juga bilang, "Wong Jowo kui terkenal wong apik karo tonggo teparo" (orang Jawa itu terkenal orang baik pada siapapun). Saya tahu persis maksudnya, dia sekaligus sedang mengangkat tinggi-tinggi ajaran agama. Yang dia maksud, minimal, sungguhpun kita pendiam dan banyak sibuk di rumah sendiri, tetapi selalu berusaha tidak pernah bikin susah orang lain, para tetangga, bahkan sebaliknya, bisa membantu pada waktunya. Sebab Allah yang maha mengaturnya dengan sempurna.
Saya yakin bapak saya juga tahu, waktu saya menikahi wanita Manado, Wihelmina, selain karena saya mencintainya, juga karena saya mencintai Manado, mencintai Indonesia Timur, dan mencintai Indonesia semua. Bahkan dia juga tahu, mengapa jauh hari sebelumnya saya pernah memperkenalkan seorang gadis Sunda asal Sukabumi sebagai pacar saya. Meskipun gak sampai nikah.
Pak Toyolah yang bilang kepada saya waktu saya sakit dan berobat sana-sini, "Kamu jangan sakit, kasihan anak istrimu".
Bagi saya bapak saya adalah teman akrab dan juga guru. Sehingga menjelang hari guru pun saya wajib membanggakannya. Sebab dia juga bagian dari umur panjang guru Indonesia, meskipun hidup tidak selamanya harus di depan kelas. Bahkan teman-teman saya menyebut saya, guru di luar kelas. Pun ibu kandung saya, sebagai Ustajah di berbagai majlis taklim ibu-ibu, dia adalah guru Indonesia.
November selain saya kenal sebagai hari nikah saya dulu di Bandung dan Hari Pahlawan, juga dikenal karena Hari Guru dan November Rain.
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar