SANA SINI LITERASI?

MENUNGGU PARA PEZIARAH

itu buku
pada rak kayu
telah merayu waktu
untuk setia di situ
ketika ruangannya rubuh
tanah rumahnya telah terjual murah
sebab tata kota menghendakinya

tulisannya masih pedang masa depan
tombak yang melesat dari masa silam
yang seperti ditaburi bunga dari langit
pada sebuah kota yang disebut makam
yang menunggui para peziarah

Kemayoran, 21112018
#puisipendekindonesia
------

Beberapa tahun terakhir ini Indonesia disemarakkan oleh istilah literasi. Meskipun di dunia pendidikan istilah ini sudah lama ada, tetapi greget penggaungannya memang semakin terasa beberapa tahun belakangan. Kita tentu jadi sering mendengar istilah, rumah litetasi, saung literasi, pondok litetasi, komunitas literasi, sanggar literasi, kelompok literasi, dll. Selain itu ada banyak program yang menggunakan judul literasi. Dan kalau kita buka internet, lalu mengetik "literasi.com", maka akan banyak bermunculan website literasi.

Secara awam kita memaknai literasi adalah melek aksara atau bisa membaca, atau masyarakat yang gemar membaca. Sehingga sukses literasi di suatu daerah selalu dimaksudkan pada tingkat perkembangan minat baca masyarakat yang terus meningkat, semakin lama semakin baik, yang ditunjang oleh sarana-prasarana, fasilitas-fasilitas, kegiatan-kegiatan, ketersediaan dan kemapuan untuk meminjam atau membeli buku.

Lebih luas dari sekadar kemampuan membaca, parameter litetasi adalah ketika masyarakat telah menunjukkan sikap dan perbuatan yang yang mendukung sukses hidupnya sebagai akibat dari kemampuan membaca, menulis, berbicara, berhitung, dst.

Kelak sampai berkemampuan mengendalikan sistem sosial yang ada. Bisa ngerti semua penyakit karena kenal dan dekat dengan dokter. Tahu semua hukum karena punya banyak ahli hukum di mana-mana. Bisa membetulkan AC atau motor rusak karena punya tukang AC dan tahu bengkel. Bisa masak semua masakan karena tinggal nanya "mBah Google". Bisa mencari kerja, mencari nafkah, karena tahu cara dan tempat-tempatnya. Bisa mudah maklum karena peka. 

Tentu. Tentu kita jadi prihatin kalau melihat suatu program atau acara yang bertajuk literasi, tetapi menunjukkan sekelompok masyarakat yang masih belajar membaca, atau sudah mulai diperkenalkan pada kebiasaan membaca tetapi belum terbeli rasa senangnya, serta tidak tahu-menahu apa gunanya membaca buku. Meskipun setidaknya itu masih bagus disebut sebagai proses awal.

Lebih memprihatinkan lagi kalau ada sekelompok dewasa, yang katanya ngerti dunia literasi, tetapi tidak bersungguh-sungguh membawa anggotamya, ---termasuk pada guru pembimbing yang tidak membawa murid-muridnya, kepada situasi yang benar-benar menyenangi membaca dan tahu mengambil manfaatnya. Tentu banyak pendekatan yang bisa dilakukan untuk meraih sukses itu. Dan serba menyenangkan. Tinggal mau kerja sungguh-sungguh atau tidak.

Itu sebabnya ketika bertahun-tahun saya dan kawan-kawan menggalakkan Wisata Sastra di suatu taman kota, kami sengaja menumpuk sejumlah buku puisi di pojok taman. Dikumpulkan dari seluruh panitia yang membawa buku koleksinya dari rumah masing-masing. Lalu para pengunjung yang sudah rutin datang atau spontan ingin ikut bisa langsung terlibat membuka-buka buku itu. Ikut aktif membaca. Bahkan bagi yang minat dan percaya diri, diberi kesempatan untuk langsung tampil baca puisi di depan umum. Di sela-sela membaca buku dan baca puisi di depan umum itulah panitia membedah satu dua puisi dengan maksud membangun cara-cara memahami puisi. Begitulah. Sebab akan sangat sia-sia jika ratusan orang yang berkumpul saat itu tidak menuai apa-apa dari puisi yang dibaca atau didengarnya.

Sehingga mereka pulang ke rumah masing-masing dan melakukan aktivitas apapun sebagai puisi yang bersikap dan berbuat. Begitupun ketika datang kembali ke Wisata Sastra. Mereka datang sebagai pemahaman puisi.

Itu sebabnya saya sangat serius menyemangati kegiatan Wisata Sastra, Lomba Puisi, dan Panggung Puisi (Malam Puisi). Wisata Sastra tentu memiliki banyak ragam, bahkan sekelompok mahasiswa sastra yang berkunjung ke suatu perkampungan atau pedesaan untuk memperkenalkan minat baca buku sastra pun termasuk wisata sastra. Selengkapnya bisa dibaca dalam tulisan saya yang lain di cannadrama.blogspot.com yang bertema wisata sastra. Tetapi Wisata Sastra yang pernah kami selenggarakan adalah membaca karya sastra di tempat terbuka, semisal taman kota, dan mengikuti diskusi atau materi yang disampaikan oleh narasumber. Bisa diselingi juga oleh berbagai kegiatan seni yang menyemarakkan suasana. Misalnya musikalisasi puisi, pertunjukan teater, lomba menggambar, tari, fotografi, dll.

Lomba puisi yang saya maksudkan tidak cuma seremoni satu persatu peserta lomba membaca puisi ke atas panggung untuk dinilai juri. Kalau cuma begitu, itu namanya proyek EO dalam menggelar kegiatan, yang penting dapat uang acara. Ini yang sering saya kritik tidak mencerahkan. Sebab cuma nunggu anggaran turun, lalu uangnya dibagi-bagi. Untuk operasional, untuk upah panitia, untuk MC, honor tiga orang juri, dan hadiah untuk tiga atau enam pemenang.  Selesai. Peserta yang lain gak dapat apa-apa.

Meskipun ada yang paling diuntungkan di situ. Nilainya bukan uang sekian rupiah. Tetapi semerbak nama baiknya. Misalnya ketika di spanduk tercantum didukung bupati, gubernur atau tokoh tertentu. Setidaknya nama yang harum di situ akan mendapat pencitraan positif dari masyarakat dan pemberitaan berbagai media, telah menyukseskan program literasi melalui lomba baca puisi. Suatu yang normal sebenarnya. 

Lomba baca puisi yang saya maksud adalah yang kadar sukses litetasinya tinggi. Yang tidak berbohong. Tidak asal berupa acara yang semarak. Peserta yang tampil tidak cuma ikut lomba. Tidak cuma mewakili sekolah dengan berharap-harap cemas dapat piala. Tetapi yang benar-benar telah dilatih membaca dan menahami puisi, sehingga dengan kemampuannya itu ia berusaha menunjukkan kemampuannya dengan mampu mengajak penonton untuk bersama-sama memahami maksud di dalam puisi itu. Bahkan sampai masyarakat dan dewan juri, atau seluruh yang hadir dibuat takjub, setelah memahami isi puisi yang disampailan dengan cara-cara yang khas.

Itupun masih belum cukup. Peserta lomba baca puisi dengan kesadaran literasi tinggi, harus berani masabodoh jika tidak berhasil memenangkan lomba, karena setidaknya ia telah terlibat dengan sukses, tampil sebagai sosok penyampai pesan dalam tema puisi dan tema kegiatan itu kepada masyarakat. Misalnya untuk puisi bertema anti-natkoba, cinta lingkungan hidup, dll. Artinya, ia telah memasuki ruh pentingnya membaca karya sastra. Karena sastra sangat besar sugestinya untuk anti miras-narkoba dan untuk mencintai lingkungan hidup.

Oleh sebab itu para peserta lomba harus tampil selayaknya artis baca puisi, karena ia membawa misi khusus, bukan cuma seperti peserta lomba yang ecek-ecek. Ini perlu dibiasakan. Dan dia wajib merasa puas kalau telah sukses melakukannya. Tidak perlu diukur dengan piala. Dan saran saya, demi kesejahteraan peserta, jika mereka mewakili sekolah masing-masing, maka seperti altet Asian Games yang mewakili negara, dia harus dicukupi segala halnya, baik uang transportasi, konsumsi, maupun uang sakunya oleh pihak sekolah. Itu akan merata didapat oleh seluruh peserta, meskipun tidak akan sama kebijakan di setiap sekolahnya. Dengan demikian peserta yang kalah pun tetap akan senang hati. Termasuk guru-guru pengantarnya.

Sekali lagi yang ingin saya tegaskan, misi lomba puisi adalah sukses literasi dan sukses menyampaikan tema karya  sastra dan tema kegiatan kepada para penonton. Sehingga semua peserta adalah pemenang.

Itu sebabnya jika ada walikota, bupati atau kepala dinas berpidato ngasih arahan, mesti jelas dan tegas soal tema kegiatannya. Misalnya jika tema kegiatannya adalah Hari Lingkungan Hidup dengan sub tema tertentu. Maka para peserta lomba mesti menangkap dengan jelas maksudnya. Karena merekalah duta lingkungan hidup yang telah berkumpul dan terus akan vokal soal lingkungan hidup. Dan itu akan segaris dengan tema-tema puisi yang dilombakan. Sehingga benar matematikanya, lomba baca puisi Lingkungan Hidup tidak cuma mencetak penyair atau pembaca puisi yang baik, tetapi juga mencetak masyarakat peduli lingkungan. Demikian pun pada lomba anti korupsi, dll.

Dan yang ketiga adalah panggung puisi atau malam puisi. Ini bukan sebuah lomba. Melainkan sebuah pentas sastra yang memunculkan para pembaca karya sastra, satu persatu naik ke atas panggung. Baik di siang hari maupun di malam hari. Run down-nya bisa mirip Wisata Sastra, tetapi ini spesial di atas panggung khusus. Dan ukuran suksesnya adalah sukses literasi, memahami guna sastra, dan sukses tersampaikannya tema kegiatan itu kepada masyarakat penonton.

Malam Sastra atau Malam Puisi ibarat pasar malam bagi penyair. Meskipun yang dijual adalah kata-kata. Bisa lebih seru lagi kalau ada tema-tema sponsor yang ikut. Dan lebih lagi kalau ada penjual cemilan disekitarnya yang bisa disantap sambil bersastra bersama.

Di akhir tulisan ini saya ingin menyampaikan sebuah ilustrasi. Masyarakat sastra, sastrawan dan para pembaca karya sastra itu, ibarat buku-buku, yang hakekatnya adalah sebuah buku tebal kehidupan saja. Yang ketika buku itu dihabisi sekalipun, isinya tetap akan memiliki kuasa perlawanan, karena dia sudah menjadi kehidupan. Menjadi pemahaman manusia. Itulah literasi. Menyelamatkan isi. Oleh sebab itu, jangan habisi buku, tetapi lebih utama dari itu memahami isinya untuk keselamatan dan kesejahteraan hidup sehari-hari.

Dan ketika sampai pada poin keselamatan dan kesejahteraan manusia, sampailah kita pada kesadaran dan kesaksian, waspada terhadap isi buku yang menyesatkan, yang tidak mencerahkan. Dan kalaupun kita membacanya, bukan berarti kita sedang meng-iya-kannya. Sehingga saya selalu berpesan kepada para aparat dan masyarakat, berhati-hatilah menemukan buku pada seseorang, sebab belum tentu seseorang yang memegang buku anti-Pancasila, berarti dia anti-Pancasila. Begitupun pada mereka yang membaca buku-buku jihad yang keras dan anti NKRI. Siapa tahu dia cuma memiliki bukunya dari pemberian seseorang dan telah membacanya, tetapi tidak mungkin mengikutinya.

Tetapi fakta itu sekaligus menunjukkan, bahwa masyarakat, penulis, dan pembaca buku yang anti-Pancasila itu ada. Bahkan belakangan ini diberitakan di TV Nasional jumlah pegawai negri yang anti pancasila ternyata persentasenya cukup tinggi.

Seperti yang pernah saya ingatkan juga, seorang anggota DPR, polisi, bahkan Kyai yang ketahuan sedang melihat gambar porno, belum tentu dia mendukungnya. Sebab itu kalimat-kalimat kesaksian bagi mereka untuk disampaikan. Maka haram hukumnya menyebarkan fitnah atau hoak. Termasuk menyebarluaskan video, rekaman suara atau tulisan yang dinilai sebuah peristiwa kemesuman kepada khlayak ramai, yang semestinya menjadi data kepolisian. Meskipun, mengherankan juga kalau ada anggota DPR tidak ikut sidang, tetapi malah sibuk melihat video porno di tangannya. Atau mungkin, kalau kita husnuzon, karena dia sudah menguasai materi sidang dan akhir keputusannya? Sehingga dia punya alasan yang sangat kuat untuk itu. Tetapi secara etik jadi tidak nyambung, termasuk para peserta yang malah asyik tidur saat sidang itu.

Selamat berfikir terbuka, cerdas dan cermat.

Kemayoran, 21112018
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG