HIBURAN TAHUN POLITIK

TARIAN GAPURA PASAR MALAM

siapa bilang malam tidak bisa diputar?
kata seorang bapak sambil memutar senyumnya
depan anak lelakinya yang mau naik
wahana ombak banyu

begitu melintasi gapura pasar malam
hati anak-anak mana tidak berdebar
mendengar dentuman musik
melihat wahana permainan yang tinggi-tinggi
dan tentu saja semarak lampu
dan semarak manusia

bahkan bagi jaman baru
itu kemenangan kenangan
sekaligus pintu masuk anak-anak

dunia memang pasar malam
selalu lahir keinginan membahagiakan
anak-anak
seperti arak-arakan sukacita
sebab membawanya kepada kesedihan-kesedihan
apalagi kepada penderitaan dan
kegelapan masa depan
adalah khianat pada segala nikmat
sedang Allah begitu dekat

maka jadilah kampung berisik Komedi Putar
kota mengidap Bianglala
jalan-jalan lorong Rumah Hantu
sampai seorang muda yang jagoan
berteriak, "Jangan jadi penakut Dik,
ini cuma permainan, ayo masuk,
yang penting takuti hantu-hantu sunguhan di jalan-jalan"

memang ada yang sinis bilang,
itu rejeki kelas dua bahkan kelas tiga
tetapi bagi anak-anak
di dalam seluruh gapura pasar malam
cuma ada satu peristiwa
berputar itu berputar
naik tinggi itu naik tinggi
takut itu takut
berani itu berani
sampai ketika waktunya tiba
seluruh wahana di alam nyata
bisa ditaklukannya

lalu sebelum keluar gapura bapak itu bertanya lagi,
"Mau foto sama badut?"
tentu ia perlu menutup segala rasa malam itu
dengan memasuki dunia anak-anak paling indah
sebab dia sendiri sudah cukup mampir makan malam
di warung tenda di bawah langit cerah
diselingi hiburan musik panggung yang meriah

Kemayoran, 16 01 2019
------

Dalam buku antologi puisi, Jakarta Dalam Karung (JALAK), terbitan J-Maestro, 2019, anda akan menemui puisi saya yang berjudul Tahun Politik. Ini puisinya:

TAHUN POLITIK 

mumpung tahun politik
aku sudah mengantongi nama
bahkan di pangung pun berani teriak terbuka
segera kirimi aku lagu damai tanah air
untuk menikmati Indonesia
yang merdeka berbuat baik apa saja
merdeka membangun kebaikan apa saja
merdeka membenci kebohongan apa saja 
sebab aku rakyat Indonesia
yang sedang menikmati tahun politik
waktunya berpesta demokrasi 
karena aku sebuah nama

Kemayoran, 12112018
----

Tetapi sekadar saran. Bolehlah disebut saran seru, meskipun bagi sekelompok pembaca tang lain menjadi pelengkap utama. Sebaiknya sebelum menyelami lebih jauh puisi Tahun Politik itu, anda bisa menyelami dulu puisi saya yang termuat dapam antologi puisi bersama, Satrio Piningit, yang diterbiktkan oleh Media Penebar Pustaka, Yogyakarta, 2018. Ini puisinya:

SATRIO PININGIT

kamu cari-cari
sampai ke dalam suara Kenari
masih setia curi-curi
pesan lagu Turi
tidak habis cara-cara
mahkota bersuara depan rumah raja

dia cari-cari
juga lewat suara Kenari
masih soal curi-curi
langit menaungi Turi
tak putus cara-cara
ke rumah raja menjual mahkota

di sebelah mana titik temu, katamu
tempat pertemuan para tamu
yang merunduk di tujuh pintu
pada waktu yang tak mau menunggu

di mata terbuka hidayah raja
di bumi terluka langit pun murka
dari tujuh pintu memancar cahaya
api keadilan mengangkat senjata

kau sibuk mencari ratu
saat dia menjadi kamu
kecuali kalau kamu hantu
tidak tahu arah menuju

Kemayoran, 24 Juli 2018
------

Dan sesungguhnya ada satu puisi lagi yang bisa saya sebut, untuk dirasa-rasa saling menguatkan, tetapi sayang, saya belum bisa menyebut atau memuat puisinya karena sedang dalam proses penerbitan untuk suatu buku yang lain. Karena seperti yang kita mafhum, penerbit tertentu ada yang memohon agar puisi yang akan diterbitkannya belum pernah disoaialisasikan melalui media apapun. 

Meskipun demikian sebuah puisi pastilah berdiri utuh. Dia kuat, lengkap dan sudah menjelaskan. Istilah melengkapi kepuasan pada tulisan ini hanya persoalan selera membaca, dan pengantar pada para pihak yang mulai makin asyik menyelami dunia puisi.

Di akhir tulisan ini saya ingin memuat 'nyanyian' di media sosial facebook, yang ada hangat politiknya, sbb.:

"WALAH-WALAH

Saya tahu bahasa politiknya. Karena tidak tahu hakekat Islam itu apa, maka alergi kepada yang selalu menyebut Islam. Disebutlah fanatisme sempit, fanatisme golongan. Tidak nasionalis dan pluralis. Lalu sebagai sikap pragmatis, dinaikilah istilah baru, Islam dengan macam-macam simbul, sebagai pembeda dan penjelas yang seringkali sangat tidak perlu. Karena tidak mencerahkan. Bahkan dungu.

Ada pula yang menyebut, prinsip keselamatan dan kesucian dalam politik Indonesia tidak laku. Saya sangat ngerti. Di depan kalimat, MUHAMMADKU dan AKU MUHAMMAD saja dia tidak bisa menafsir, bagaimana akan mencerahkan melalui keselamatan dan kesucian?

Lalu ketika dibawa ke ranah kefasihan meraba kalimat Allah dalam nasionslisme, langsung dipotong dengan kalimat spektakuler yang katanya intelektual, "Ini bukan negara agama!". Padahal itu persepsinya sendiri. Sedangkan yang sedang bicara Allah-nya. Meskipun kalimat itu akan benar untuk argumentasi yang lain.

Dan ketika diajak diskusi senibudaya atau lukisan dan tari-tarian langsung bilang, "Tidak relijius!" atau, "Tidak Islami!"

Salam sastra Indonesia!
Salam literasi!

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG