MELACUR 20-80 JUTA vs BACA PUISI?

TARIAN LUCU 

orang bangga dongeng rajawali
bintang film naik rajawali dipuji-puji
temannya naik rajawali tak dikenali

merasa tinggi ngangon*) harimau
penguasa terus pawai topeng harimau
tak kenal yang menontonnya, harimau

membaca garuda dan air suci
terdepan tolak pinggang menjaga negri
garuda wudu malah tak disukai

demi benteng merasa paling banteng
katanya berilmu seribu tameng
diintip banteng, kok cuma topeng

menjaga badak putih di dalam taman
katanya wanita cantik berilmu jantan
tapi tak kenal, mana hewan paling rupawan

mau anak cantik, tiduri bulu kepodang
mau anak ganteng, tiduri bulu kepodang
merasa tak cantik tak ganteng, kepodang ditendang

sejak kecil ia diasuh neneknya
sudah besar ia hina neneknya,
"Nenek sudah tua, giginya menclok di jendela"

gading gajah dalam lemari kaca
berharap mengangkat derajat dan nama
ribuan tamu yang datang malah tertawa

dulu cerita hebatnya kuda terbang
tapi yang dimaksud bukan pesawat terbang
ditungguin penjelasannya, dia malah ngilang

karena menjaga kepercayaan setiap hari
dia sebut, merpati tak pernah ingkar janji
waktu ia selingkuh katanya, merpati minta dimaklumi

ayam kampus dan kupu-kupu malam katanya bersahabat
menurut kabar burung, sama-sama belajar filsafat
dikira tobat, nyatanya makin sesat 

tong kosong nyaring bunyinya
anjing menggonggong kafilah berlalu, katanya
dalam tong malah ada dia, maki-maki melulu kerjaannya 

Kemayoran, 07 01 2019
*) Ngangon = Ngaping = Menggembala
-------

Mungkin ada yang sudah baca dan masih ingat, meskipun selintas, isi dalam puisi saya yang termuat dalam antologi puisi bersama, Indonesia Lucu, yang diterbitkan oleh Penebar Media Pustaka Yogyakarta. 

Pada buku itu dimuat dua puisi saya masing-masing berjudul SAJAK DI ATAS MEJA dan TERNYATA KITA BUTUH.  Untuk lebih mengingatkan, kita lihat lagi satu-satu.

Puisi pertama:
SAJAK DI ATAS MEJA

aku lihat dia
ketawa Indonesia
pecah
airmata dangdutnya
sampai ketahuan juga
sesungguhnya dia
sedang tidak bisa ketawa

aku merasakan
goyangan pinggul luka-luka
merobek panggung
menjadi dua bahkan tiga
antara sakit hati
dan sesungguhnya menari

sajak di atas meja dibicarakan
kaki di bawah meja digigit ular
jalan kesejahteraan dipertaruhkan
disebut proses kalau kesasar-sasar

Kemayoran, 06112017
------

Pada puisi pertama tersebut, meskipun multi tafsir, punya banyak pesan, ekonomi, sosial, politik dan budaya, tetapi kita dengan mudah bisa mengambil gambaran dua jenis prnyanyi di ranah paling merakyat, di kampung-kampung kita, dari panggung ke panggung. Meskipun kita tidak perlu menyebut yang tergelar secara nasional di layar TV selalu percontohan. Sebab di situ, hal yang berlebihan dan yang bersifat pengekangan kreatifitas juga tebal.

Di TV, yang gak penting bahkan nyata-nyata merusak sering muncul. Hidup seperti dimain-mainkan oleh candaan dan gagasan serampangan. Tetapi yang bersifat kreatifitas yang cerdas, meskipun bisa ditanggapi beragam oleh yang beda pendapat, malah dikekang. Padahal untuk yang kedua, itu bagian dari proses kecerdasan sosial.

Pada puisi Sajak Di atas meja, kita melihat ada suatu kenyataan. Bisa apa saja. Termasuk penyanyi dangdut itu. Di satu sisi ada penyanyi yang serba ngerti. Suaranya bagus, penampilannya seksi dan mempesona, sangat menghibur, dan disukai masyarakat pencintanya. Meskipun ada juga yang masih tetap anti, karena bagi mereka seksi itu bukan seni, itu bagian dari kemesuman, kerendahan. Tapi dia tetap konsisten dan profesional. Meskipun area terbangnya tidak sampai dikenal tingkat nasional.

Di sisi lain ada para penyanyi yang sesungguhnya tidak total sebagai penyanyi, yang bagus dan ngerti. Sebab ia cuma membaca peluang uangnya, asalkan cantik, punya bodi bagus, dan berani tampil seksi. Sebab menurutnya, seksi dan cantik tidak pantas dipakai kerja di dawah atau jadi karyawan pabrik. Lebih cocok naik panggung. Meskipun apa adanya.

Maka dari sinilah kita menangkap, Indonesia Lucu. Ada yang nyanyi dan tampilnya bagus, tapi mendapat bayaran ala kadarnya, untuk menyebut, yang penting dapat bayaran. Profesional. Maklum, kondisi sosial kita masih lemah. Dan siapapun yang pernah teriak-teriak untuk merubah keadaan ini, ternyata puluhan tahun tetap begitu. Berubah membaik tapi tidak banyak. Malah pernah terjadi, yang naik kuasa malah memundurkan kemajuan-kemajuan. Ini terlihat dari keluhan di banyak daerah yang mengakui kemunduran-kemunduran itu.

Di sisi lain ada yang menyanyi dengan 'air mata' yang sesungguhnya mengisyaratkan, ia tidak bisa nyanyi dan bergoyang. Dia cuma naik panggung karena punya peluang, dan yang penting dapat uang dari cantik dan seksinya. Bukankah dalam teori panggung entertaintmen, "yang penting punya nilai jual karena dianggap menghibur?"

Selain itu, ada juga satu fenomena yang tak kalah menarik dilihat. Meskipun seseorang dengan cantik dan seksinya, bisa cukup punya uang dari berbagai pekerjaan tertentu yang layak, sebut saja misalnya kerja di salon, toko kecantikan, atau di bagian-bagian pemasaran, tetapi sebutan 'artis penyanyi' nampaknya sangat memuaskan bagi mereka. Sehingga setiap ditawari manggung, kenapa tidak? Meskipun suaranya ngalor-ngidul terbawa-bawa angin, yang penting penonton masih bisa bilang, menghibur dan sensual. Ini sungguh-sungguh lucu.

Kadang kita bisa melihat permakluman yang cair di atas panggung. Apalagi melihat masyarakat yang terhibur. Tetapi untuk sikap-sikap dan peristiwa tertentu yang berlebihan di atas panggung dan di bawah panggung, kita juga sering dibuat marah. Apalagi, ada juga yang suka naik panggung nyanyi dangdut, meskipun suaranya pas-pasan, karena bisa menaikkan 'harga jual diri' di belakang panggung. Kita jadi ingat berita tahun 90-an. Konon artis figuran film pun harga jual dirinya bisa naik, apalagi artis yang populer?

Tetapi secara sistematis kita juga melihat tanda-tanda. Ini soal lain. Biarkan masyarakat kreatif di atas panggung hiburan dan di bawah panggung penonton, seperti apapun, sebebas-bebasnya, kalau perlu yang norak-norak pun kasih saja. Daripada secara sosial politik mereka menjadi gangguan. Sepintas ini masih masuk akal, sebab ketenangan juga dibutuhkan dalam pembangunan di segala bidang. Tetapi apa yang terjadi, ketika di balik itu ternyata terjadi tipu-rnenipu dan korupsi? Masyarakat yang menghibur dan yang menonton, yang sama-sama joget itu, jadi seperti 'orang senang-senang' yang terus ditinggalkan. Ibaratnya, yang menghibur uangnya recehan, yang terhibur juga upahnya recehan. Sementara para pejabat banyak yang korupsi. Pembangunan tidak menunjukkan kemajuan-kemajuan. Dan ini sudah berlangsung sangat lama. Jangankan masalah pendidikan dan kesehatan, untuk kebutuhan pokok pun masih serba sulit.

Itu sebabnya di tahun politik 2019 ini, kita butuh wakil-wakil rakyat, para kepala daerah, dan capres-cawapres yang terbukti amanah dan berjiwa pejuang sejati. Bukan yang cuma jago jualan janji-janji palsu.

Ruang dangdutan memang bisa dipinjam untuk membaca Indonesia. Lihatlah para penontonnya. Dari multi profesi. Bahkan tidak sedikit yang pengangguran dan korban PHK. Siapa saja mereka? Dan bagaimana keadaannya? Mereka merasa senasib ketika berkumpul dalam sebuah forum yang bisa kita sebut, FORUM DANGDUTAN BERSAMA.
------

Puisi kedua:
TERNYATA KITA BUTUH

ternyata kita butuh kecerdasan
dan kedewasaan sosial
kata tikus yang mencuri kelapa
dan ular yang meninggalkan bisa pada korbannya

ternyata kita  butuh kecerdasan
dan kedewasaan ekonomi
kata beruang yang bertapa
depan perapian sampai mati kelaparan 
kata harimau yang menghabiskan
sisa makan siangnya
di tengah kerabatnya
yang juga mati kelaparan

ternyata kita butuh kecerdasan 
dan kedewasaan beragama
kata kadal gurun
yang memahami suhu panas 
tetapi lupa pemangsa dan janji Tuhannya
kata srigala malam  
yang melupakan kasih sayang bulan

ternyata kita butuh kecerdasan 
dan kedewasaan berpendidikan
kata induk elang 
yang menipu anak itik
sebelum memangsanya

ternyata kita butuh kecerdasan 
dan kedewasaan bernegara dan berbangsa 
kata sekelompok burung jalak
dalam suatu perjalanan cinta 
yang melupakan nasib kelompok
dan nasib setiap perut anggotanya
sementara paruhnya bernyanyi-nyanyi saja 
tentang keadilan hukum dalam berbangsa

ternyata kita butuh kecerdasan 
dan kedewasaan hidup bersama alam
kata anjing lewat 
yang mengencingi tembok-trmbok
menimbulkan bau tak sedap
kata seekor macan  
yang merusak sarang pipit 
dengan ujung cakarnya 
kata sekawanan gajah 
yang menginjak-injak kebun sayuran
kata gergaji besi 
yang menumbangkan pohon-pohon

ternyata kita butuh kecerdasan dan kedewasan berbahasa
kata seekor kelinci yang sangat lucu 
yang tidak mau mengerti 
maksud setiap kalimat 
dalam kitab suci 
kata seekor ayam 
yang bulunya dipakai 
mencoret-coret sajak 
kata kuntilanak 
yang diatas pohon 
entah menyanyi, 
menangis atau menghina

Kemayoran, 07112017
------

Pada puisi yang kedua, Ternyata Kita Butuh, kita coba memasuki kerangkeng besar yang telah menyandra kita, yaitu, kecerdasan dan kedewasaan. Ketika semakin cerdas dan semakin dewasa ----setidaknya ngakunya demikian, ternyata kita malah semakin tidak waras. Tentu, tentu ini adalah kritik tajam kepada pihak-pihak tertentu yang demikian. Tidak kepada semua orang. Alangkah 'lucu' (mesti diucapkan dalam sinis yang tinggi) kalau kita bangsa yang membiarkan atau memelihara yang demikian itu.

Belakangan ini saya lagi-lagi teringat dan tiba-tiba masuk ke dalam kumparan berfikir tentang Indonesia Lucu juga. Sampai-sampai saya menulis puisi berjudul, Tarian Lucu, sbb.:

TARIAN LUCU

orang bangga dongeng rajawali
bintang film naik rajawali dipuji-puji
temannya naik rajawali tak dikenali

merasa tinggi ngangon*) harimau
penguasa terus pawai topeng harimau
tak kenal yang menontonnya, harimau

membaca garuda dan air suci
terdepan tolak pinggang menjaga negri
garuda wudu malah tak disukai

demi benteng merasa paling banteng
katanya berilmu seribu tameng
diintip banteng, kok cuma topeng

menjaga badak putih di dalam taman
katanya wanita cantik berilmu jantan
tapi tak kenal, mana hewan paling rupawan

mau anak cantik, tiduri bulu kepodang
mau anak ganteng, tiduri bulu kepodang
merasa tak cantik tak ganteng, kepodang ditendang

sejak kecil ia diasuh neneknya
sudah besar ia hina neneknya,
"Nenek sudah tua, giginya menclok di jendela"

gading gajah dalam lemari kaca
berharap mengangkat derajat dan nama
ribuan tamu yang datang malah tertawa

dulu cerita hebatnya kuda terbang
tapi yang dimaksud bukan pesawat terbang
ditungguin penjelasannya, dia malah ngilang

karena menjaga kepercayaan setiap hari
dia sebut, merpati tak pernah ingkar janji
waktu ia selingkuh katanya, merpati minta dimaklumi

ayam kampus dan kupu-kupu malam katanya bersahabat
menurut kabar burung, sama-sama belajar filsafat
dikira tobat, nyatanya makin sesat 

tong kosong nyaring bunyinya
anjing menggonggong kafilah berlalu, katanya
dalam tong kok malah ada dia, maki-maki melulu kerjaannya 

Kemayoran, 07 01 2019
*) Ngangon = Ngaping = Menggembala
-------

Dari puisi Tarian Lucu itu, kita bisa meneropong jauh, sering kita seperti sudah berfikir benar, padahal tidak benar. Atau berfikir serius di depan, tapi berkhianat di belakang. Atau setidaknya kita takut terjebak demikian, karena banyak terbukti dan jadi berita viral di mana-mana.

Bekakangan ini, mungkin pelacuran sudah semakin mendapatkan tempatnya. Sebagai sesuatu yang gila tentu saja. Meskipun tidak lagi pakai lokalisasi atau hotel dan diskotik sebagai tempat singgahnya. Sehingga urusannya sudah bukan soal peristiwa pelacuranya, tetapi sudah sampai ke strategi pemasaran dan perang tarif.

Ketika viral berita, ada artis pasang harga prostitusi 20 hingga 80 juta, orang-orang di media sosial dibuat sibuk bikin meme lucu, lalu bagaimana yang 100-200-an ribu? Begitu tanya mereka.

Selain bermaksud mempersoalkan hal demikian itu, mungkin ini juga momen saya untuk berharap, "Kapan kita bisa baca puisi honornya 80 juta?" Meskipun dalam bahasa lain sudah saya jawab, sebagai pembawa acara Apresiasi Sastra mingguan selama lebih dari 20 tahun, saya menganggap gaji saya juga gaji seorang penyair, selain srbagai penyiar radio lazimnya. Bahkan hasil jualan kopi dan kuli lain pun saya sebut uang puisi. Sebab tanpa itu puisi saya mati, tidak bisa bekerja. Tema-temanya tidak berpengaruh. Maka dari menulis dan membaca puisi puluhan tahun itu, masuk akal ratusan juta rupiah sudah saya dapatkan. Tapi hari ini saya jadi tertarik berfikir yang lain. Pakai teori lain. Ya, ingin naik panggung puisi, sekali naik honornya 80 juta. Bahkan lebih kalau bisa.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG