MEMULAI PAHAM (?)

ribuan berjuta kali
kutulis sajak pendek
tak pernah bisa memangkasnya
menjadi 5 7 5 suku kata

untung aku biasa nyaman
mendengar musik Jamaika berbahasa Indonesia
produksi anak Jakarta
sambil minum teh

27 Januari 2015
Bukan puisi tapi status di media sosial facebook
------

Kadang saya harus sedih. Apakah kecerdasan dan kedewasaan milik semua orang, termasuk semua penyair, guru dan politisi? Apa benar kata iklan, banyak yang "krik krik krik?" Misalnya ketika baca ungkapan 'kenangan 4 tahun lalu' saya ini. Siapa ngerti? Jangan-jangan atas dasar multi interpretasi, malah ada yang menafsir secara salah. Sebab saya pun bisa dan pernah bikin haiku berbahasa Indonesia, yang bukan terjemahan, yang masuk katagori puisi pendek Indonesia. Malah jangan-jangan 'orang haiku' ada yang gak ngerti maksud saya. Karena gak cukup punya dasar untuk bisa paham. Kecuali setelah baca penjelasan serupa ini. Proses paham itu baru dimulai.

Bayangkan Tuan-Tuan dan Puan-Puan yang katanya bijak bestari. Kalau saja paragraf pertama tersebut berdiri mandiri tanpa paragraf berikutnya. Lalu kata 'guru' di kalimat pertama itu saya ganti dengan kata 'ustad' atau 'kyai' apa gak gonjang-ganjing dunia pemikiran? Minimal saya akan dikucilkan sebagai kubu anti-agama, atau anti-agama tertentu. Apakah sedemikian gelap kemajuan kecerdasan dan kedewasaan kita, termasuk di kalangan penyair dan pengamat sastra?

Padahal ketika saya membaca kerasulan Rasullah SAW sebagai pihak yang terbebas dari segala dosa, hal itu pula yang saya tarik sebagai garis besar untuk memahami pewarisnya, yaitu para ulama, kyai atau ustad itu. Tapi tahukah yang saya maksud? Atau masih ada batu besar yang menghalangi keihlasan kita untuk memahami apapun?

Bagaimanapun, relijiusitas dan spiritualitas adalah hal yang paling sensitif dan paling enak untuk menyentuh kesadaran dan kesaksian pribadi-pribadi. Pintu yang punya kenangan tajam menghunjam ketika kita mulai menemui segenap teori apapun pada akhirnya. Ketika dunia malah sibuk dengan meraba rasa permukaan laut yang semu.

Jujur. Saya di depan tari Saman, tari Jaipong, tari Gambyong, tari Janger, tari Samrah Kalimantan, tari Ronggeng Betawi, tari Papua, dll telah merabanya dengan kesadaran dan kesaksian mendalam. Menikmatinya lahir batin. Dengan prinsip keselamatannya, seperti Syuaeb dan Musa juga menikmatinya. Tidak sekadar membangun sukacita permukaan. Bahkan di depan pinggul yang bergoyang kelaki-lakian saya terbeli dan bisa terhibur, tanpa harus merusak mesjid atau berniat menumbangkan Tugu Monas. Saya berucap, "Subhanallah".

Maka dalam sastra pun sama. Menikmati dan mencipta haiku berbahasa Indonesia pun pasti ketemu persegi Ka'bahnya. Kalau gak demikian bukan anak Hamka, atau dalam istilah Jawa, "bukan potongan Hamka".

Selain ketemu relijiusnya, nikmat menemui romantisme filosofis, historis, psikologis dan sosilogisnya. Bahkan politik kebudayaannya.

Tentu sebagai penyair dan pengamat sastra, urusan teori sastranya tak perlu berdebat yang gak perlu. AKU lahir dalam kalam.

Saya bersengaja meminjam kata 'potongan' dari kebiasaan Jawa. Ketika menyebut seseorang segaris dengan sosok lain meskipun tidak harus senegara, sedaerah, sesuku, seorganisasi, sedarah atau apapun istilahnya. Bukan tanpa alasan sastra. Sebab saya beberapa kali mengalami proses kreatif yang khas. Untuk suatu tema atau penekanan tertentu, di suatu waktu menginspirasi lahirnya puisi panjang, di waktu lain melahirkan puisi pendek. Bahkan kadang-kadang seperti puisi yang dipotong pada bagian tertentu, sehingga menjadi dua puisi. Atau sebaliknya. Suatu puisi pendek seperti meral, berubah bentuk jadi puisi panjang. Itu namanya sepotongan. Artinya dua yang berbeda. Seperti saya dan Hamka adalah dua manusia yang beda.

Dengan argumentasi ini, saya tidak merasa memotong, jika mengambil beberapa baris dari puisi panjang saya menjadi puisi pendek. Tetapi sebenar-benarnya melahirkan dua nyawa. Sepotongan. Dengan dua judul, dua nama atau dua akta kelahiran yang berbeda. Pun kalau saya seperti memangkasnya jadi haiku, meskipun kebetulan belum pernah melakukannya sampai hari ini, 27 01 2019.

Jujur. Saya masih merasa bukan penyair haiku. Tidak bisa tiba-tiba memaksakan diri untuk itu. Meskipun bisa mencipta dan pernah membuatnya. Lebih tepat saya disebut Pupenis. Penulis puisi pendek Indonesia. Dan ada satu-dua haiku di dalamnya. Termasuk ada yang saya sebut NALIKAN itu. Meskipun lucunya, ketika ada seseorang melihat puisi-puisi pendek saya langsung bilang, "Tukang bikin haiku ya?" Haha!

Ini beberapa contoh puisi pendek saya, yang saya ambil dari buku Sedekah Puisi yang diterbitkan oleh Penebar Media Pustaka, Yogyakarta, 2018:

KEPADA SEORANG ANAK

teringat sebuah puisi
yang kuberikan kepada seorang anak
suatu kali
tentang hujan menyentuh daun
membaca ayat-ayat suci
-----

PUISI DI ATAS TISU

puisi di atas tisu
tipis rahasianya
sebab tak guna penyair
menyembunyikan makna
------

KUTULIS PUISI

pada tisu
kutulis puisi
lembut
dan wangi
------

RAMBU MALAIKAT

malaikat memasang rambu Ramadan
"Hati-hati dalam perjalanan"
aspal yang basah hujan
selalu cinta dan persetubuhan
nanti keringnya, melulu penantian
------

Bahkan buat yang belum baca atau tidak punya buku antologi puisi saya, JALAK (Jakarta Dalam Karung), saya kasih bocoran. Seluruh puisi dalam buku itu panjangnya 12 baris. Bisa disebut puisi 12. Tetapi itu masuk ke dalam puisi pendek Indonesia.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG