KALI INI MEMULUNG PUISI BERKAIT

Beberapa hari lalu saya diajak masuk grup facebook #sajak_berkait oleh teman Arie Png Adadua. Tentu saya sambut sukacita. Selain memperpanjang pertemanan melalui media sosial dengan siapapun, saya juga bisa menikmati satu suasana sastra yang khas. 

Seperti berkali-kali saya kemukakan dalam banyak momen, termasuk melalui siaran radio dan diskusi di komunitas-komunitas, saya termasuk selalu senang diajak bergabung dengan komunitas seni, khususnya komunitas sastra apapun. Manapun. Bahkan saya selalu mendukung penerbitan buku-buku sastra, khususnya antologi puisi komunitas, baik dengan atau tanpa ISBN. Ini sekadar pembelaan keras saya, karena telah ada pihak-pihak yang ingin mematikan eksistensi sebuah gerakan budaya hanya karena persoalan penggunaan ISBN. Meskipun secara teoritis ngurus ISBN itu gak rumit.

Sebuah fakta besar telah menunjukkan, tidak sedikit buku sastra ber-ISBN kualitasnya tidak lebih dasyat dari buku-buku terbitan komunitas yang tanpa ISBN. Yang pada waktunya, sesungguhnya jika mau, ISBN-nya masih bisa diurus. Ini salahsatunya berdasarkan pada pengalaman umum ketika masuk sebuah perpustakaan. Di situ kita mudah kecewa pada buku-buku tertentu. Sehingga pada saat yang sama jadi ingin membandingkannya dengan buku-buku komunitas yang pernah kita baca.

Tiba-tiba mengingatkan saya pada salahsatu prinsip cannadrama, kisah bunga tasbih. Rajinlah membaca sebanyak mungkin buku apa saja, tetapi jika ada buku atau bagiannya yang merusak hidup manusia, 'buang saja'!. Ini sukses literasi namanya. Keutamaan dari membaca. Sebab kuncinya, hidup sukses itu karena kebenaran dan kemuliaan-Nya, bukan karena pernah atau telah banyak membaca buku.

Lagipula kita mesti hati-hati pada borok sejarah kesusastraan, ketika melahirkan kasta-kasta tinggi dan menjatuhkan apa yang dipropagandakan sebagai kasta-kasta rendah dengan timbangan yang abnormal. Bahkan untuk berpuisi yang katanya demi peradaban, demi prikemanusiaan, kita sikut-sikutan.

Ajakan teman Arie Png langsung melayangkan kenangan saya pada tahun 1992. Saat itu selaku guru SD (meskipun tidak PNS) dan selaku pembina pramuka saya mengikuti 'kemping pembina' di Palabuhan Ratu. Ada satu peristiwa yang menginspirasi saya untuk menggeliatkan Wisata Sastra di alam terbuka. Yaitu ketika pada suatu malam, kami baca puuisi spontan, sambung-menyambung antara satu orang kepada orang berikutnya, dengan satu tema. Saya menyebutnya itu spontanitas puisi berantai. Misalnya, tema malam berbulan yang indah.

Dalam komunitas teater, komunitas sastra, atau komunitas baca sajak, puisi berantai biasanya ditafsirkan berupa pembacaan satu buah puisi, biasanya puisi panjang, yang dibacakan oleh lebih dari satu orang. Bergantian. Kadang pada kata, kalimat atau bait tertentu dibaca bersama-sama. Koor. Sehingga menimbulkan kesan kesemarakan dan pesan teaterikal. Apalagi didukung olah tubuh yang ekspresif.

Tetapi saya melihat pada dua peristiwa pembacaan puisi tersebut, sama-sama berantai. Bedanya, yang satu puisi spontan, yang lain puisi yang sudah selesai diciptakan sebelum pembacaan, atau puisi-puisi yang diambil dari suatu buku tertentu.

Terlepas dari soal pembacaan atau pengekspresiannya yang berantai, kita tidak bisa menutup mata, bahwa pada puisi yang kami teriakkan di bawah bulan Palabuhan Ratu Sukabumi itu adalah model sajak berkait. Mengapa? Sebab berkait itu bisa berupa berkait tema, berkait kata bahkan suku kata, dan juga berkait yang sebrang-menyebrang. Disebut sebrang-menyebrang karena bisa menunjukkan ekspresi setuju dan tidak setuju, suka dan tidak suka pada suatu hal tertentu. Singkatnya saling mengkritisi dalam harmoni kedamaian. Hal yang terakhir ini bisa sangat mencolok misalnya untuk tema demokrasi, buruh, poligami, patah hati, dll.

Sajak berkait suku kata misalnya sbb: seumpama cerita mesra pada buku/ kutunggu sampaimu padaku/ kumulai dan kuakhiri cinta/ tarikan asmara berdua selamanya// dst.

Contoh sajak berkait kata, seperti yang ditulis oleh Arie Png di grup #sajak_berkait:

DAPAT BERITANYA HAHAHA

tumbang kumbang kubang
kubang kebo betina
betina ramai gosip
gosip tentang pilpres
pilpres kita nanti
nanti tunggu saya
saya dapat beritanya
beritanya tumbang hahaha
hahaha hahaha hahaha

beritanya tumbang kumbang
kumbang kubang kebo
kebo betina ramai
ramai gosip tentang
tentang pilpres kita
kita nanti tunggu
tunggu saya dapat
dapat beritanya tumbang
tumbang hahaha hahaha

Palembang, 11/11/2018
---

Selain berkait kata dan suku kata, kita juga bisa saling bergantian mencipta sekaligus melisankan puisi yang berkaitan tema. Antara dua orang atau lebih, berpuisi sambung-menyambung. Untuk memudahkannya, terlebih-lebih jika itu bersifat spontanitas semacam berbalas pantun, biasanya dipilih jenis puisi pendek yang tidak lebih dari 6 baris. Setidaknya ini pengalaman di komunitas-komunitas saya.

Tetapi jika sajak berkaitnya dibuat secara teks, semisal di media sosial, sesungguhnya bisa lebih bebas pilihannya. Bisa sampai tercipta satu sajak 8 baris dengan 2 bait. Terkecuali kalau pihak 'admin' atau panitia telah membuat kesepakatan dulu. Misalnya, kita buat sajak berkait 4 baris. Teori ini tidak berlepas diri dari pakem tertentu, jika di suatu kelompok masyarakat telah ditemukan sajak berkait yang telah tetap jumlah suku kata, kata, dan barisnya. Sebab itu termasuk salahsatu contoh yang bisa diangkat. Tidak pernah menjadi tabu, apalagi keliru.

Sikap kritis kita juga akan membiarkan sajak berkait, sambung-menyambung satu tema, yang isinya justru saling mengkritisi. Yang kadang akan terdengar seperti debat juga.

Selain ditulis atau dilisankan oleh lebih dari satu orang, sajak berkait sesungguhnya bisa juga diciptakan oleh satu orang. Tetapi ia bersengaja bahwa tulisannya itu adalah sajak berkait, yang pada waktunya bisa dibaca atau diikuti siapa saja dengan cara baca puisi berantai, seperti yang sudah saya uraikan.

Sekilas tentang pantun. Naskah pantun berkait, atau pantun berkait yang dibukukan, saya yakin bisa disebut sajak juga. Sajak pantun berkait. Bagian dari kesusastraan lama Indonesia.

Uraian singkat ini semoga bisa melengkapi sekaligus menyimpulkan wacana dan teori tentang sajak berkait. Sebab tidak sekadar mau beda pendapat. Sekaligus mengabarkan fenomena sajak berkait di komunitas seni. Termasuk di organisasi-organisasi tertentu, seperti dalam kegiatan kepramukaan.

Dalam buku Syair Wangi (canadrama, 2009), saya menyebut itu adalah model puisi berantai. Sebab setiap puisi berdiri sendiri, tetapi satu dengan yang lainnya masih satu tema seputar kekuatan asmaul husna dalam kehidupan sosial manusia, sehingga bisa dibaca satu-satu, ataupun sekaligus, baik oleh satu orang maupun lebih dari satu orang. Seorang teman yang pernah membacakan satu puisi saja dari buku itu adalah aktivis seni, Ali Novel Magad dalam suatu acara Wisata Sastra di Situbuleud Purwakarta. Acara yang dimulai dengan spirit Mei, Bangkit Itu Anti.

Sukses untuk Arie Png Adadua yang menjadi penyebab saya menulis ini. Bahkan saya telah menulis di grup #sajak_berkait itu:
"sajak berkait kata
sajak berkait tema
sajak sebrang-menyebrang
memang bukan soal gampang
memang sebuah tantangan
memang ruangan terbuka

#puisipendekindonesia
#sajakberkait
#sajak_berkait
#memulungkhazanahsastraindonesia".

Kemayoran, 30 04 2019
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG