SATU BIJI PUISI

Satu biji puisi pada seorang penyair bukanlah kegagapan proses kreatif. Ini semacam jawaban atas pertanyaan pop, di atas bis antar kota atau di sebuah taman kota, yang setiap bersinggungan dengan karya sastra biasa bertanya, "Sudah berapa buku yang terbit?" Entah argumentasi apa yang bersemayam di benaknya, bahwa kerja sastra pada seseorang itu harus identik dengan berapa banyak bukunya? 

Lagi-lagi selalu mengajak kita berpusar pada angka komersil yang mengikutinya. Yang artinya, dengan banyak buku yang terbit dari proses kreatif seseorang maka semakin kuat dan meyakinkan popularitasnya, setidaknya di dunianya, dan secara ekonomi pasti hidup dari itu. Padahal, meskipun tidak menutup kemungkinan seseorang dapat royalti yang lumayan serta dapat panggilan sana-sini yang bisa dipakai hidup, tetap saja tidak sedikit penyair yang hanya dapat royalti sedikit atau keuntungan dari buku yang tidak seberapa, dan tidak terlalu banyak juga panggilan beruang dari sana-sini. Ya, meskipun jumlah bukunya makin tidak sedikit. Fakta ini menunjukkan, bahwa seorang penyair bisa hidup dengan nafkah dari suatu kerja lain, sementara proses kreatif dan enerji positifnya terus saja setia bekerja. Ini adalah sebuah rumus umum yang mesti diamini segenap manusia dan malaikat.

Kembali pada hal yang sudah disinggung pada paragraf awal. Apa arti satu biji puisi dari seorang penyair yang dibaca di antara sederetan penampilan penyair dan pembaca puisi di suatu even? Apa arti satu puisi penyair yang seakan-akan cuma menyelip di sebuah antologi puisi bersama, di antara 100-200 penulis puisi?

Idealnya kita bisa melihat popularitas sajak Aku atau Kerawang Bekasi-nya Chairil Anwar. Yang menunjukkan, sebuah puisi saja bisa menunjukkan kedasyatannya. Sehingga dengan itu puisi bekerja di antara karnaval harian para manusia, atau di antara deru-menderu manusia revolusi.

Tapi kita juga melihat fakta lain. Ada banyak puisi yang ketika dibaca dan dihayati seseorang, ia sangat inspiratif. Membuat seseorang itu beranjak dari duduk dan meneropong jauh melalui jendela yang terbuka. Ia ingin menjadi
segala yang wajib jadi. Ia ingin mempersembahkan pengabdian besar untuk prikemanusiaan dan keadilan. Ya, meskipun beberapa puisi yang baru saja dibacanya tidak semodel puisi Chairil yang seperti ledakan besar pada waktu.

Ada banyak puisi yang setia bekerja, masabodoh pada ketidakpopuleran judul dan nama penyairnya. Analogi praktisnya begini, mungkin kita sebagai awam pernah mendengar pembacaan puisi yang menyentuh jiwa, di radio, di layar TV, pada film, atau di atas sebuah panggung. Sementara kita masabodoh pada judul dan penyair yang menulisnya. Bahkan tidak pernah hafal siapa yang baca? Tetapi puisi itu demikian menggugah. Sangat menyentuh dan berpengaruh.

Di hari Kartini ini saya ingin menyebut, puisi tentang ibu barangkali? Puisi semacam ini bisa membuat kita tambah cinta pada ibu. Bersaksi pada tiang pancang strategis eksistensi seorang ibu pada sebuah bangunan keluarga, negara, bahkan kemanusiaan seutuhnya. Bahkan pada makamnya yang kita ziarahi, kita sematkan kuat-kuat, jimat kalimat sakti tentang ibu. Selain itu, juga menyadarkan dan mencerahkan kita pada garis perjuangan hidup istri, saudara dan anak-anak perempuan kita. Subhanallah. Padahal kita lupa, puisi yang mana yang pernah menggugah rasa itu? Karya siapa? Apa judulnya? Siapa yang membacanya?

Ya, di dalam ruang sidang buku antologi puisi bersama, tidak mustahil 100-200 penulis, yang terdiri dari penyair populer, penyair aktif, dan kelompok pencinta sastra, cuma bisa menyertakan satu-dua puisinya untuk terbit. Tidak bisa lebih. Memang demikian hukum lumrahnya. Tetapi di situ kita selalu bermasabodoh dengan itu. Malah tetap kuat bersyukur. Yang penting setiap satu biji puisi di situ bisa bekerja efektif di tengah masyarakat manusia. Pun demikian pada perhelatan parade baca puisi para penyair dan komunitas. Satu puisi yang naik panggung tentu tidak sedang menjatuhkan derajatnya. Melainkan sedang istikomah bekerja untuk dan demi apa saja. Jalan lurus jalan terus.

Dan jika waktunya tiba, Allah saja punya kuasa. Satu puisi bisa mengangkat nama siapa saja. Jika dunia membutuhkan namanya untuk suatu kepentingan perjuangan.

Kemayoran, Minggu, 21 April 2019

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG