PUISI JELANG RAMADAN

Jelang Ramadan

biarkan cinta tetap berpuasa
sebab Ramadan segera tiba
dan ia akan sukacita menyambutnya
sebab setia menunggu 
berabad-abad lamanya

istimewa mana
pertemuan Ramadan 
dengan cinta yang puasa
ataukah Ramadan dan 
penantiannya yang hampa?

karena cinta kita bergerak
memahami segala jarak
dari terminal ke terminal
dari stasiun ke stasiun
dari dermaga ke dermaga 
dari bandara ke bandara
dari alamat ke alamat
Ramadan

biarkan cinta sholat
pada siang pada malam
tadarus di rumah
di mesjid
berzikir di seluruh waktu
itikaf dengan tentram dan damai 
berzakat dan berbuat baik apa saja
kepada hidup

lapangkan cinta terus berpuasa
sebab Ramadan segera tiba
dan ia akan sukacita menyambutnya
sebab setia menunggu 
berabad-abad cahaya menggebu

Kemayoran, 30 04 2019
Dari: Antologi Puisi Di Penerbit
------

Puisi Jelang Ramadan tersebut adalah sebuah puisi saya yang saya tulis di akhir bulan April lalu, dan sudah ada di meja penerbit, sedang dalam proses penerbitan. Merupakan satu dari beberapa puisi.

Sebelum menulis catatan ini, saya terlebih dulu mendengar penjelasan sosok kharismatik, Tuan Guru Bajang di Metro-TV yang sedang menayangkan program wawancara dan reportase menunggu sidang isbat awal puasa Ramadan 1440-H yang tengah dipimpin oleh mentri agama. Pada penjelasannya TGB menyampaikan kalimat yang sangat hebat menurut saya, dia menyampaikan, semoga Romadon ini menyambut kita, tidak cuma kita yang merasa menyambut Romadon. Kalimat inilah yang mengingatkan saya pada puisi Jelang Ramadan itu. Alhamdulillah.

Puisi Jelang Ramadan itu juga mengisyaratkan hal yang persis disampaikan oleh TGB. Yang artinya, titik temu kita dalam berkesadaran dan berkesakaian atas Romadon, adalah memahami apa itu Romadon dan derajat puasa yang sudi menyambut kita? Sebab siapa tahu, kita malah terjebak nelangsa, tergolong orang yang tertolak oleh Romadon, meskipun kita telah melakukan ini dan itu. Bukankah kita kadang terjebak keras kepala dan sombong atas suatu perbuatan, padahal puasa Romadon menolaknya? Selain itu, menarik juga kalimat TGB, menahan diri dalam berpuasa itu tidak cuma menahan diri dari yang dilarang, tetapi juga menahan diri dari yang tidak perlu.

Kalimat terakhir TGB itu sangat tepat. Sebab dalam hidup ini selain kita mesti menolak yang haram, kita pun dituntut membangun skala keutamaan, sebab banyak sekali hal yang tidak perlu yang justru mengganggu tarekat kita. Mengganggu fokus kita pada tujuan-tujuan yang diridoi Allah, yang paling utama.

Pada bait pertama saya menulis, "biarkan cinta tetap berpuasa/ sebab Ramadan segera tiba/ dan ia akan sukacita menyambutnya/ sebab setia menunggu / berabad-abad lamanya"//. Bait ini mengisyaratkan, jika hidup kita benar-benar berlandaskan cinta, maka biarkan selama-lamanya cinta itu hidup dalam puasa, sehingga Romadon yang agung, yang selalu setia berabad-abad itu sudi menyambutnya. Di sini kita melihat, betapa besar syarat lolos melintasi gerbang puasa Romadon itu. Meskipun demikian, justru meyakinkan kita untuk menujunya dengan sukacita dan penuh percayadiri. Sebab ada jaminan kemenangan dunia-akhirat di situ.

Sebagai repetisi yang menguatkan sekaligus menyampaikan pesan yang lebih banyak, puisi tersebut diakhiri dengan bait, "lapangkan cinta terus berpuasa/ sebab Ramadan segera tiba/ dan ia akan sukacita menyambutnya/ sebab setia menunggu/ berabad-abad cahaya menggebu"//.

Kesadaran dan kesaksian yang demikian menunjukkan, bahwa puisi sebentuk itu tidak hanya layak dikonsumsi oleh pembaca pada momen bulan Romadon, melainkan dapat dibaca dan diselami sepanjang tahun. Apalagi pada saat mengaji puasa wajib dan sunah, syariat Islam, serta hari-hari besar Islam. Itu di satu sisi. Di sisi lain, hal itu menggugah kita untuk bersiap-siap menjadi manusia terbaik di gerbang Romadon. Tidak menyepelekan bulan Romadon atau pemahaman Romadon kita. Tidak pula menganggap bahwa ritual Romadon cuma seremoni akal-akalan. Subhanallah. Selamat berpuasa.

Tulisan ini diakhiri dengan pengumuman mentri agama RI, Lukman Hakim Syaifudin, tentang hari pertama puasa Romadon 1440-H. Juga ditandai oleh Jakarta gerimis.

Terakhir, sebagai motivasi, kita nikmati angka 40 pada tahun Hijriah, 1440-H kali ini sebagai kedamaian umat manusia di muka bumi, ukhuwah Islamiah, empat persegi Ka'bah. Dan sebuah puisi pendek saya dari antologi bersama, Sedekah Puisi, yang diterbitkan oleh Penebar Media Pustaka, Yogyakarta:

RAMADAN ITU

basah siangnya
basah malamnya
tak berkesudahan

Kemayoran, Ramadan 1439-H.
---

Kemayoran, 05 05 2019
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG