DINDING PUISI 1 - 10

Selamat menikmati 10 catatan pendek saya di media sosial facebook, berbentuk komentar, yang ditulis sejak 16 Juni hingga 24 Juni 2019. Yang telah disosialisasikan juga di tiga grup: Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia, Puisi Pendek Indonesia, dan Dinding Puisi Indonesia.
-----

DINDING PUISI 1

Ya. Meskipun sulit menemui standarisasi menulis puisi yang bagus itu. Yang ada, seseorang sudah menulis sesuai kaidah yang benar menurut teori perpuisian. Baik teknis menumpahkan puisinya, maupun hukum universalitas sastranya.

Tapi memang, berdasarkan keberangkatan umur, seperti dibilang Rendra, "tulisan seseorang semakin bertambah waktu mesti semakin matang". Sebab kesaksian, kesadaran, dan ruang pertimbangan menulisnya lebih banyak. Sehingga tubuh puisi bisa lebih padat, meskipun puisinya panjang.

Bagaimana nasib puisi pada sebuah lomba? Pada awalnya memang cuma dilihat kesesuaian tema dan persyaratan teknis lainnya, yang biasa disebut seleksi awal. Lalu memeriksa detil-detil keunggulannya. Sampai terpilah, terpilih 10-20 terbaik. Ini sudah juara semua. Tetapi kapan ada 10-20 piala? Subyektifitas juri akan sangat berpengaruh ketika harus menentukan 6 atau 3 besar. Ada puisi yang menonjol karena banyak sekali detil keunggulannya, tetapi ada juga puisi yang sekilas nampak ramping detil keunggulannya, tetapi justru terasa tajam menghunjam. Membeliakkan cungkup hati.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Pencungkil mata nanas. Cerdas, bermanfaat, menyenangkan, dan inspiratif.
Sumber gambar: internet
-----

DINDING PUISI 2

Kan sudah saya bilang. Kita gak bisa 'ngeremehin' buku antologi puisi komunitas yang dicetak dalam jumlah terbatas, meskipun tanpa ISBN. Itu bisa jadi karya "gila". Bahkan, sebagai kode eksistensinya berpengaruh serius, satu contohnya kalau ada buku komunitas yang 'ngaco', apapun bentuknya, polisi bisa dibuat gerah dan diwajibkan undang-undang untuk mengatasinya. Lalu apa kita masih mau nutup mata untuk karya yang manfaatnya sangat positif?

Lalu, mari kita bikin beberapa pertanyaan:

1. Siapa punya buku antologi puisi komunitas yang sampai hari ini masih sering dipakai dalam diskusi komunitas, dan sering dibaca di panggung. Meskipun itu cetakan beberapa tahun silam?

2. Siapa yang hari ini sudah menerbitkan dengan ISBN buku komunitas yang masih tersimpan rapih dari masa lalu? Meskipun mulai sobek sana-sini?

3. Siapa yang pernah mengangkat puisinya dari buku antologi komunitas ke buku terbitan yang ber-ISBN, atau mengangkatnya ke koran dan majalah?

Jawaban dari tiga pertanyaan itu akan memberikan kekuatan kepada buku-buku antoogi komunitas, baik antologi personal maupun antologi bersama, yang sudah dicetak terbatas dan bekerja sosial, meskipun tanpa ISBN.

Bahkan kalau saja Chairil pernah nulis begini, "Selain yang sudah terbit resmi, saya juga menyimpan dua buku antologi puisi cetakan sendiri di rumah". Saya yakin hari ini akan banyak yang ingin tahu.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Memasak di dapur tradisional atau memasak ala dapur tradisional? Apa bedanya?
Sumber gambar: internet.
-----

DINDING PUISI 3

Tentu saja saya 'seneng', Mas. Kalau ada seorang aktivis sastra yang notabene penyair yang cukup dikenal di lingkungannya, kabupaten atau propinsi, meskipun popularitasnya kata orang-orang sedang-sedang saja. Suatu waktu menemui Rendra atau Taufiq. Bilang gini, "Kami dari Komunitas Kentir mau menerbitkan antologj puisi. Penulisnya aktivis sastra nasional yang berminat, termasuk beberapa anggota komunitas kami. Banyaknya 200 orang. Kalau sudi Kang Mas Rendra dan Pak Taufiq menyertakan satu-dua puisinya di buku kami".

Saya senang. Dia pasti orang 'ndableg'. Masabodoh ketika menjelaskan ke Rendra dan Taufiq, gak penting bahwa pengisi buku itu berjenis kelamin penyair tulen, atau sebagian besar para penggembira sastra, atau aktivis literasi  yang sebagian baru memulai ikut antologi".

Tapi saya akan lebih bangga lagi kalau orang sekaliber Rendra atau Taufiq mau. Meskipun sekali-kali. Minimal dengan alasan, "Dosa apa menemani komunitas-komunitas?"

Ini sebabnya jika ada buku komunitas yang kebetulan aromanya demikian, para penggiat sastra Indonesia mesti mafhum. Kita gak bisa tiba-tiba menuding Si Ndableg itu berikut Rendra dan Taufiq-nya tidak berkualitas gara-gara muncul di sebuah antologi puisi komunitas model begitu. Seolah-olah keunggulannya telah tergerus oleh 'sesuatu' yang tidak mungkin menggerusnya.

Pertanyaannya, apakah anda punya daya baca buku komunitas? Jangan-jangan pada saatnya, saya akan dibilang Penyair recehan, gara-gara puisinya berada dalam satu antologi yang sebagian penulisnya cuma utusan SMA-SMA yang lolos. Padahal saya sedang menemani dengan cinta, calon penyair hebat dan pencinta sastra di situ. Sedang bersukacita.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Taman. Ada siapa saja di situ?
Sumber gambar: internet
------

DINDING PUISI 4

Pasti ada yang dilupakan. Jumlah, ruang dan pengaruhnya.

Kita hitung. Berapa jumlah penyair dan sastrawan? Sedikitkah?

Berapa jumlah guru dan dosen sastra yang 'hidupnya' karena sastra? Sedikitkah?

Berapa banyak komunitas sastra dari Sabang sampai Merauke jika di tiap kabupaten kita asumsikan, minimal ada 3? Sedikitkah?

Berapa banyak aktivis literasi se Indonesia yang gemar menyosialisasikan minat baca sastra ke berbagai kalangan masyarakat? Sedikitkah? 

Berapa banyak panggung puisi sepanjang tahun se-Indonesia, jika diasumsikan di satu kabupaten pasti ada minimal 5 panggung (komunitas sekolah/kampus/pesantren/masyarakat)? Sedikitkah?

Berapa banyak siswa sekolah yang lulus ujian dengan kewajibn nilai bahasa dan sastranya bagus? Sedikitkah?

Berapa banyak wartawan koran yang akhirnya kuat apresiasi sastranya, karena kalau gak demikian, tulisannya tidak bisa tawar-menawar dengan sastrawan? Sedikitkah?

Berapa banyak penerbit buku yang semakin populer dan dicintai karena menerbitkan buku-buku sastra? Sedikitkah?

Berapa banyak pembaca tafsir kitab suci yang dimudahkan menafsir karena kekuatan ilmu sastra di kepalanya? Sedikitkah?

Berapa banyak data-data sastra di pusat-pusat sejarah yang menolong kehidupan di jaman ini? Sedikitkah?

Saya yakin yang mengatakan penyair cuma bisa ngomong doang, dia juga memukul pencipta lagu, dan para penulis buku-buku umum. Sebab semuanya punya cara kerja yang khas. Berupa tulisan yang dibaca, syair yang dinikmati atau lirik yang dinyanyikan. 

Saya punya pengalaman, mengumpulkan dana untuk berbagai korban bencana dengan mengadakan panggung sastra dan musik. Serta memikat pendengar #radio dengan puisi yang menyayat hati, agar masyarakat sudi bersedekah untuk korban bencana. Salahkah sastra dan penyair?

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Ruang kosong. Buku kosong. Lalu sastra bicara banyak, lisan atau tertulis. Manusia menikmatinya. Sampai-sampai seorang pemuda desa ingin jadi masinis.
Sumber gambar: internet.
-----

DINDING PUISI 5

Ya. Ya. Ya. Penyair itu panggilan dari pintu khusus. Bisa dimasuki hanya oleh penyair saja, tidak oleh yang lain. Sehingga yang mengetahui rahasia ini, dia sebenar-benarnya penyair. Sebab ia membawa dan membagikan hidup. Tetapi yang lain masih bisa menikmati syairnya. Karena seluruh rahmat hidup wajib disyukuri. Dan ini jalan kemudahan dari Allah.

Benar. Penyair tidak cuma bermain-main kata. Biarlah yang bermain-main kata itu para pencinta yang ala-ala penyair. Sebab itu karunia juga buatnya. Sementara penyair mengalir seperti air, mengalir dalam hukum rasa kemanusiaan. Kata-kata yang bekerja.

Kalimat yang secara awam disebut sangat sederhana, tidaklah demikian jika penyair telah memilihnya. Coba sibak, coba kuak. Seberapa dalamnya, seberapa luasnya? Bukankah kalimat, "aku ini binatang jalang", tak ada istimewanya. Menjadi istimewa karena penyair yang punya maksud-maksud ---dalam persenyawaan gejolak perlawanan, telah memilihnya. Bahkan memopulerkannya.

Ya. Telah banyak kata-kata sederhana, menjadi top karena 'ulah' penyair. Kenapa? Karena Allah telah menitipkan sesuatu kepada yang namanya, penyair. Kenapa tidak kepada yang lain?

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Pintu-pintu. Meskipun banyak tetapi khusus.
Sumber gambar: internet
-----

DINDING PUISI 6

Puisi itu bicara banyak. Luas dan dalam. Tidak tumpah semata untuk satu peristiwa, memang. Yang artinya suatu hal tertentu, itu tetap menjadi satu hal saja. Tetapi tidak terkurangkan posisi satu halnya itu. Itu sebabnya puisi Chairil banyak menguak rahasia seputar tahun 1945, termasuk pergolakan sastranya saat itu. Mau tak mau. Tetapi itu adalah satu hal belaka, yang tak pernah bisa dikebiri. Sementara puisinya mengelana hidup tak lekang oleh waktu.

Tema 'aku', juga bisa bermula dari rasa atau pengalaman pribadi dalam berbagai hal. Yang lalu dipahami sebagai pengalaman kemanusiaan siapa saja. Itu sebabnya aku lirik adalah diri siapa saja yang merasa berada dalam puisi itu. Sehingga parameternya akan nampak jelas pada timbangan universalitas sastra. Suatu timbangan yang luas, yang didalamnya terkandung juga teknik menulis puisi.

Sehingga setiap pribadi tidak mungkin menjadi sangat egois, jauh dari rasa kemanusiaan yang luas. Yang artinya, itu jawaban untuk sebuah pertanyaan retoris, sejak kapan penyair cuma bicara tentang dirinya pribadi, tidak bicara kemanusiaan?

Termasuk dalam gerakan-gerakan sosialnya. Bagaimana mungkin seorang penyair hanya bicara diri yang sangat pribadi, tanpa bicara diri kemanusiaannya? Diri kemanusiaan adalah setiap diri yang berada dalam ruang kemanusiaan yang sama dan terbuka dengan seluruh manusia di hadapan Allah. Sehingga puisi Chairil, Diponegro maupun Kerawamg Bekasi, tidak cuma bicara Diponegoro, tidak cuma bicara pertempuran bangsa Indonesia melawan penjajah, tetapi perlawanan umat manusia yang tertindas, yang dilindungi Allah, kepada para penindas. Itu sebabnya di kemudian hari muncul istilah, NKRI harga mati.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Perang kemerdekaan Indonesia
Sumber gambar: internet
-----

DINDING PUISI 7

Tentu, Beb. Di dunia nyinyir, orang bisa tergiring oleh opini yang tidak dewasa dan cerdas. Disebutlah suatu puisi sebagai karya yang rendah karena lolosnya di koran lokal, dianggap berjarak bumi-langit dari puisi di koran nasional. Begitupun puisi-puisi yang muncul di penerbit terkenal dan dianggap selalu punya karya berkualitas, selalu dianggap jauh lebih mulia dari puisi-puisi yang terbit di penerbit yang tidak terlalu populer, apalagi cuma terbit sebagai sastra komunitas. Bahkan seorang penyair yang ngasuh acara sastra di radio puluhan tahun bisa dianggap remeh dari seniman yang suka muncul di majalah atau di TV nasional. Coba simak, acara di TV yang diasuh oleh seorang seniman, atau melibatkan seseorang seniman selama beberapa bulan saja. Langsung viral, namanya dielu-elukan sebagai budayawan paripurna.

Padahal puisi bagus itu ihlas dutulis di atas sesobek tisu, sebelum penyairnya sempat menuangkannya ke laptop dan menyertakannya pada suatu penerbitan, sebab penyairnya keburu mati. Ihlas muncul di buku komunitas. Ihlas dibaca di acara panggung Remaja Mesjid pinggir kali. Ihlas dimuat koran apa saja. Ihlas dibaca siapa saja. Ihlas ada di halaman buku mana saja. 

Oleh sebab itu, membeli buku puisi sebaiknya dengan alasan membeli buku atau puisinya, bukan membeli jenis covernya, ketebalan, pengaruh orang banyak, atau merk penerbitnya.

Kekacaubalauan jangan terus dipelihara di negri merdeka yang dirahmati Allah ini. Jangan ada bandar yang leluasa menyebarkan virus negatif, tetapi terus diikuti karena dianggap sebuah ruang terbuka yang paling menjanjikan. Sebab arah berfikirnya adalah belenggu yang kejam untuk para penyair dan sastrawan hari ini dan masa depan. Meskipun penyair selalu mengacungkan tinju kata-kata perlawanan.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Galengan Sawah. Kalaupun harus disebut berkasta tinggi, karena mulia, bermanfaat, dan menentramkan.
Sumber gambar: internet.
-----

DINDING PUISI 8

Kenapa tidak? Penyair itu khas. Saking khasnya, ia bahkan bisa sangat berbeda dari kebanyakan penyair. Sebab apa yang mustahil bagi Allah? Misalnya, ada seorang penyair yang ternyata setelah ditelisik cuma punya dua antologi puisi bersama, selain beberapa puisinya yang sudah dimuat koran meski tidak banyak. Dalam antologi itupun cuma ada enam puisinya. Sepintas apa istimewanya? Sebab penyair lain bisa bangga dengan minimal tiga-empat antoligi puisi sendiri dan tidak kurang dari sepuluh antologi bersama.

Ternyata penyair yang khas ini punya keistimewaan. Misalnya, pernah punya komunitas (literasi) sastra dan teater yang ditemaninya dalam kurun yang tidak pendek, meskipun tidak seumur hidup juga. Dikenal oleh berbagai pihak dan sering mengisi acara-acara sastra. Beberapa koran lokal dan nasional beberapa kali mewawancarainya. Kebanyakan dari puisi-puisinya ditulis dan dibacakan di atas panggung.

Meskipun fokus atau berlatar belakang kegiatan sastra, penyair yang kebetulan tidak pernah kuliah dan pekerjaan sehari-harinya jualan di pasar ini dikenal oleh tidak sedikit seniman dari berbagai komunitas. Gagasan dan pola fikirnya sangat dikenali dan sangat berpengaruh positif.

Jika waktu menginginkan kehadirannya yang kuat, siapa bisa menolak? Satu dua puisinya ternyata bisa tembus juga ke buku pelajaran sekolah. Dipelajari.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Pasar. Ada yang menjual, ada yang membeli.
Sumber gambar: internet.
------

DINDING PUISI 9

Kalau semua wartawan, dosen, bupati-walikota dan pejabat pemda, anggota DPR, para mentri berbondong-bondong naik panggung baca puisi, bahkan presiden, "jo ngguyu", itu berita dan kesemarakan yang baik. Kalaupun mau disebut seru-seruan, itu seru-seruan yang selalu sangat positif. Banyak pesan moralnya.

Kalau disebut-sebut yang sangat diuntungkan adalah dunia kesusastraan kita, dunia kepenyairan Indonesia. Itu benar. Tetapi siapa berani bilang cuma? Coba bayangkan, pembacaan puisi itu bisa semarak di hari-hari besar nasional, di hari-hari besar internasional, dan di hari-hari besar agama. Berapa banyak jumlah hari-hari itu dalam setahun. Saya kira cukup padat. Belum lagi macam-macam hajat lembur (acara daerah yang khas), acara komunitas, kampus, dst. Panggung puisi pun bisa bertajuk panggung anti korupsi, anti miras dan narkoba, anti perusakan dan pencemaran lingkungan hidup, anti terorisme, dst.

Lalu, siapa diuntungkan dengan even-even, momen, dan tema-tema itu? Apakah pada panggung puisi bertema anti narkoba yang diuntungkan cuma penyair?

Seiring makin sukses program literasi di negri ini, posisi puisi sebagai karya sastra penyair (terutama di buku-buku, termasuk buku pelajaran sekolah), dan di panggung atau arena puisi akan semakin kuat. Bahkan, bisa masabodoh ketika halaman-halaman puisi koran hilang, tinggal menyisakan berita-berita 'heboh' panggung puisi.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Sapu Lidi. Hadiah panggung kosong.
Sumber gambar: internet
------

DINDING PUISI 10

Pendokumentasian demikian (menerbitkan buku dalam jumlah terbatas atau mengikuti pesanan, lalu tersimpan aman di pusat-pusat pendokumentasian dan di seluruh rak buku penulisnya, selain yang dibeli masyarakat dan disedekahkan), gagasan yang brilian itu, adalah kesadaran sekaligus kesaksian kita, Pak. Bahwa kesusastraan senantiasa menggeliat dengan cara dan 'ulah'-nya tersendiri. Dan itu akan menguatkan yang perlu dikuatkan, sekaligus menggerus yang perlu dilemahkan. Karena memang demikianlah prinsip "tradisi kreatif dunia puisi". Asal jangan memunahkan yang mesti dilestarikan. Itu pertanda bahaya. Yaitu ketika generasi baru ---mungkin juga terinspirasi tokoh lampau, mencuri tongkat Sulaeman untuk jadi pecundang. Dan kita pantang. Semua mesti pantang.

Bahkan untuk penerbitan buku-buku yang sering disebut, buku komunitas. Dalam jumlah terbatas dan rata-rata tidak ber-ISBN. Kita masih bisa sangat salut. Itu suatu bentuk langkah kreatif dalam pendokumentasian sastra juga. Setidaknya dalam kurun waktu yang tidak pendek, teks-nya masih nongkrong di seluruh rak buku anggota komunitas itu. Tidak mudah punah. Termasuk ketika satu-dua personil komunitas itu telah berpulang.

Kita telah mengalami semuanya. Suka duka. Sebab itu dunia kita. Dunia yang kita bina. Bersama-sama berwasiat lewat makna dan tanda. Supaya hidup benar-benar terjaga dan memberi rasa sejahtera. Bukankah puisi mendidik kehalusan budi pekerti? Yang berarti juga selalu mencetak jawara, untuk melawan dajal. Subhanallah.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Rimba Indonesia. Rimba sastra adalah rumah kita.
Sumber gambar: internet

------------

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG