HEBOH PUISI DI DINDING SONI

POLITIK KEBUDAYAAN 

ini politik kebudayaan
ada firman Allah
yang dimenangkan

Kemayoran, 2018
Dari 8 puisi saya yang Tidak Ada Di Pesisiran,
cannadra.blogspot.com
------

Puisi Politik Kebudayaan adalah salahsatu puisi yang tertolak dari antologi puisi Pesisiran, Komunitas Dari Negeri Poci (DNP). Padahal sudah saya niatkan sebagai salahsatu puisi pendek atau puisi singkat saya yang sangat kuat posisi strategisnya di antologi ini. Karena menurut saya, setiap puisi dalam antologi bersama sebaiknya selain keikutsertaanya sesuai dengan tema dan sebenar-benarnya berupa 'puisi jadi', sebaiknya mengandung kekuatan, daya pikat, dan ketajaman kerja puisi. Tapi biarlah soal ditolak itu. Mau apa lagi? Sudah jatuh keputusannya. Meskipun masih saya perdebatkan. Bahkan bersama 7 puisi lainnya akhirnya sudah dimunculkan oleh website Gerakan Masyarakat Gemar Membaca, sebagai puisi yang kualitasnya tidak bermasalah, dan tentu saja dimuat blog saya, cannadrama. Bahkan pada waktunya akan saya bukukan.

Selanjutnya kita masuki satu pintu lain yang menarik. Tapi masih ada kaitannya dengan 8 puisi saya itu, meskipun tidak menonjol amat.

Telah terjadi perdebatan yang lumayan sengit, 'huru-hara', di dinding media sosial Facebook milik penyair, Soni Farid Maulana (SFM). Terutama setelah 8 puisi saya 'diusir' dari antologi puisi Pesisiran, DNP, dan ditunjuk-tunjuk dengan sepuluh jari oleh beberapa pihak yang pro-'ratusan pemenang' sebagai karya yang tidak punya kualitas, sehingga penyairnya harus belajar menulis puisi lagi supaya bisa menembus DNP. Ditambah lagi ada ulah 'komen' saya yang disebut Soni Farid Maulana, ngawur. Haha. Mungkin kalau gak ada yang model begini gak seru dunia sastra Indonesia hari ini. Kita ikuti saja. Tarik ... Pak Eko.

---

Soni Farid Maulana (SFM):
(Menulis status di akun FB-nya)
benar bahwa nulis puisi itu subjektif, namun demikian ada aturannya jika ia bersentuhan dengan metafora, majas, dan simbol.

Gilang Teguh Pambudi (saya):
Wajib!

Yusran Arifin:
Nulis puisi itu bebas, tapi terikat oleh kaidah2 yang telah disepakati. Hehe eh, muhun kitu, Om Soni Farid Maulana?

SFM:
Muhun.

Saya:
Disepakati oleh siapa, Mas Bro. Yang ada universalitas karya sastra. Kecuali kesepahaman melalui "Pengumuman Persyaratan Ikut Lomba" atau "Ikut Antologi".
(Saya mulai mengingati kesepahaman-kesepahaman dalam hal persyaratan yang spesifik, termasuk dalam pembuatan Antologi Pesisiran, DNP).

SFM:
Gilang Teguh Pambudi kalau Anda nulis seperti ini: betapa dingin di sini/ dibungkus kabut yang retak sepanjang jalan// logika macam apa yang ada puisi tersebut? Apakah kabut retak? Apakah kabut beda keras seperti kaca? Saya kira hal semavam ini sudah jadi kenentuan umum dalam penulisan puisi.

-
Apalagi bila Anda nulis puisi tradisional, dalam hal ini puisi Sunda, masing-masing larik ada bilangan huruf-nya, Misal ada yang 8a-81- dan 6u itu belum soal majas dan simbolnya, yang disebut ungkara.

Saya:
Sebuah pilihan yang cerdas saja. Karena Ki Sunda itu ngajar di Jerman. Lalu orang Jerman itu membawa puisinya yang terpengaruh Ki Sunda ke mana-mana. Juga ke Indonesia. Bentuknya, semodel karya Chairil dalam bahasa Sunda.

SFM:
Gilang Teguh Pambudi, saya tidak mengerti dengan maksud Anda Ki Sunda ngajar di Jerman? Justru tradisi penulisan puisi Chairil Anwar belajar pada Eropa. tidak pada Sunda. Selain belajar pada pera penyair Belanda Angkatan 1880-an, juga mendalami puisi simbol dari Perancis. Tentu saja dalam penulisan puisi simbolis itu ada aturannya, yang sangat lain dengan puisi imajis. Jadi aturan-aturan itu ada.

Yusran Arifin:
Diskusi menarik antar dua penyair Kang Soni Farid Maulana sama Gilang Teguh Pambudi.

Saya:
Soal aturan dalam sastra, itu selalu dibahas dalam universalitas karya sastra.

Catatan saya memang kadang nyeleneh, kadang lebih nyeleneh dari cara lihat Sudjiwo Tedjo dalam hal tertentu. Meskipun setelah tertawa, bisa terasa sama.

Ki Sunda itu umurnya sudah lama-lampau. Sastranya ya soal humanisne-universal. Secara tematis dan bentuknya diamini siapa saja. Termasuk ketika Ki Sunda ke sana. Tetapi nilai-nilai itu meng-AKU dalam sastra Jerman lalu masuk menjadi karya Sunda versi Chairil.

Seperti ketika humanisme-universal sastra Sunda masuk ke sana, diterima sebagai kesepahaman. Begitu pula sebaliknya.

Yusran Arifin:
Sebenarnya agak melenceng dari poin yang ditawarkan kang Soni Farid Maulana. Gilang Teguh Pambudi mestinya merespon dulu yang inti dari sebuah ajakan berpikir  kang soni, yang ini ( Gilang Teguh Pambudi kalau Anda nulis seperti ini: betapa dingin di sini/ dibungkus kabut yang retak sepanjang jalan// logika macam apa yang ada puisi tersebut? Apakah kabut retak? Apakah kabut beda keras seperti kaca? Saya kira hal semavam ini sudah jadi kenentuan umum dalam penulisan puisi )

Persoalan puisi tradisional, itu hanya sekedar contoh. Kenapa jadi sebuah pembahasan pokok?

Saya:
Bos, kan ada di awal kalimat. Soal aturan dalam bersastra, apapun, bagaimanapun, sudah di dalam pembahasan universalitas karya sastra. Selalu begitu.

Apakah universalitas karya sastra akan disebut kesepakatan sastra? Bisa juga. Okelah kalau itu maksudnya.

Aturan berpantun? Aturan sisindiran? Aturan menentukan kalimat ketiga yang tepat pada bait pertama suatu puisi tertentu? Oke. Itu bagian dari universalitas karya sastra.

SFM:
Ini pertanyaan Anda, bukan"  disepakati oleh siapa, Mas Bro. Yang ada universalitas karya sastra. Kecuali kesepahaman melalui "Pengumuman Persyaratan Ikut Lomba" atau "Ikut Antologi". Pertanyaan tersebut seputar ranvang bangun puisi, bukan soal unibersalitas, yang menyangkut nilai-nilai puisi di dalamnya. Nilai-nilai universitas dalam puisi akan muncul bila ranvang bangunnya benar, bila apa yang diekspresikan susai dengan daya ucap yang diinginkan, dan juga tentu benar dalam menempatkan majas dan simbol, atau metafora. Universalutas tak akan muncul -- bila rancang bangun yang ditulis dalam puisi saja berantakan. Pertanyaan Yusran Arifin secara esensial mempersoalkan itu, begitu Maa Bro.

Saya:
Ini salahsatu jawaban saya. Ini tentang universalitas karya sastra. Pak Dosen pasti bilang begitu:

"Nilai-nilai universitas dalam puisi akan muncul bila rancang bangunnya benar, bila apa yang diekspresikan sesusai dengan daya ucap yang diinginkan, dan juga tentu benar dalam menempatkan majas dan simbol, atau metafora. Universalitas tak akan muncul bila rancang bangun yang ditulis dalam puisi saja berantakan...

Yusran Arifin:
Okey. Terimakasih atas penjelasannya.

Saya ingin belajar lebih jauh pada guru kita Pangersa Mas Gilang Teguh Pambudi ini. Mohon maaf, saya belokan dulu ke soal lain. Yakni tentang sebuah tulisan Pangersa.

SIAPA MENUNGGU WAKTU?

Bahkan seorang intelektual yang akan bertengkar dengan dosennya, karena sudah lama memendam pertentangan yang serius, kadang harus menunggu selesai wisuda dulu. Haha.

Ini bukan puisi, kecuali kalau saya tulis begini:

SIAPA MENUNGGU WAKTU?

bahkan seorang intelektual
yang akan bertengkar dengan dosennya
karena sudah lama memendam
pertentangan yang serius
kadang harus menunggu
selesai wisuda

ha
ha

Kemayoran, 12 06 2019
#puisi
#puisipendekindonesia

Teks di atas adalah tulisan Pangersa Mas Pambudi.

Mari sedikit mempertimbangkan sebuah kesimpulan. Saya mohon maaf, untuk belajar sama pangersa penyair Mas Pambudi tentang sebuah tulisan Pangersa di atas. Pangersa menyimpulkan bahwa tulisan Pangersa yang di atas itu, yang satu Pangersa katakan bukan puisi, tapi setelah diubah desainnya, Pangersa katakan, seolah itu puisi.

Pertanyaannya, apa yang menjadi dasar pernyataan Pengersa sehingga mengatakan seperti itu? ( Ini bukan puisi, kecuali kalau saya tulis begini). Bukankah dua tulisan tersebut sama? Yang berbeda hanya tipografinya? Sedang esensi makna, frasenya yang terkesan prosais tidak ada yang beda. Mohon pencerahan Pangersa Mas Pambudi.

Saya:
Yusran Arifin , belajar lebih jauh? Subhanallah. Saya mesti nengok ke belakang, "Semoga Musa AS yang saya cinta itu lebih siap memberi banyak tahu, setelah ia tidak boleh bertanya kepada Khidr".

Yusran Arifin:
Gilang Teguh Pambudi yang sederhana saja Pangersa. Saya hanya tanya tentang tulisan Pengersa. Perihal puisi dan bukan puisi yang Pangersa yakini. Urusan Nabi Musa dan Nabi Khaidir, nanti kita bahas di sebuah tempat.

Saya:
Yusran Arifin, puisi itu harus diniatkan lahir untuk menjadi sebuah puisi oleh penyairnya. Kalau nulis macam-macam bentuk status di media sosial, biarpun dikasih judul, kalau tidak diniatkan bikin puisi ya bukan puisi. Mungkin cuma mirip puisi. Tapi tetap saja, sebuah puisi menuntut bentuk kebenarannya sebagai puisi. Sebab ada yang diniatkan sebagai puisi tapi belum bahkan bukan puisi.

SFM:
Gilang Teguh Pambudi ternyata Anda tidak mampu menjawab pertanyaan saya, dan hanya mampu mengutip apa yang saya jelaskan.

SFM:
Gilang Teguh Pambudi dalam menjawab pertanyaan Yusran Arifin secara esensial itu penjelasan Sutardji Calzoum Bachri ketika masih jadi redaktur di koran Kompas.

Yusran Arifin:
Jika pemikiran Pangersa Gilang Teguh Pambudi seperti itu, apa lagi jika benar seperti kata Maestro kita Kang Soni Farid Maulana, bahwa pemikiran yang disampaikan Pambudi adalah pemikiran orisinal Bang  Kucing Riau, ini bisa menyesatkan jika belum menguasai esensi makna dari pemikiran tersebut. Ya, otomatis bisa melahirkan sebuah kebebasan yang tak terbatas. Suatu hal yang sulit dipercaya, jika sebuah penciptaan ditentukan oleh niat. Bagai manapun esensi hidup manusia itu dibangun oleh 3 unsur. Niat, ucapan, dan perbuatan. Dan harus linear. Sulit diterima jika hanya memepercai niat.

Saya:
Yusran Arifin, tanya saja penyairnya, "Yang kau buat ini puisi atau bukan?" Kalau dia jawab, "Ya" berarti dia berniat bikin puisi. Atau lihat medianya. Di antologi puisi, di koran atau majalah atau radio/panggung? Jika tetlihat dan terdengar sebagai puisi, itu puisi.

Atau langsung kita baca, lalu bilang, "Ini puisimu ya?"

Yusran Arifin:
Gilang Teguh Pambudi Hahaha mantap! Saya salut dan bangga dengan keberanian Pangersa. Jika saja puisi tidak memiliki multi prasarat yang membatasi wujud puisi, mungkin saya tidak ragu untuk iyakan pendapat siapapun yang mendasarkan suatu bentuk disandarkan pada sekedar niat.

SFM:
Tolong tunjukan karya sastra Jerman yang dipengaruhi oleh sastra Sunda? Karya siapa dalam bentuk apa? Justru sastra Sunda modern menyerap apa yang tumbuh dan berkembang di Eropa dan bahkan dari belahan dunia lainnya. Sonet dalam sastra Sunda dipengaruhi oleh karya sastra Italia. Wahyu Wibisana yang awal memperkenal sonet dalam sastra Sunda.  Demikian juga tolong tunjukkan puisi Chairil anwar yang dipengaruhi oleh sastra atau kebudayaan Sunda?

Saya:
Soni Farid Maulana, panjang. Singkatnya saja. Pakai teori humanisme universal. Pake hubungan antar bangsa di masa silam. Ada yang saling membiarkan bentuk, tapi berkesepahaman dalam isi. Namanya juga cucu Ibrahim, atau cucu Adam. Tapi ada yang saling mengambil bentuk meskipun pada bagian terkecil, misalnya alternatif dalam cara berucap.

Pembelaan saya yang terlalu gagah pada Orang Sunda memang sangat beresiko. Bisa tidak disukai orang-orang tertentu dari suatu negara. Sebab mereka juga punya POLITIK KLAIM. Harusnya kita menyembah bangsa mereka. Kata orang-orang tertentu itu.

Semoga Kang Soni sering dipanggil baca puisi di luar negri. Karena disukai.

SFM:
Itu bukan pembelaan tapi logika berpikir yang ngawur. Apakah ketika Nabi Ibrahim hidup atau semasa Nabi Adam masih hidup, orang Sunda sudah ada? Bagaimana fakta-fakta sejarah itu bisa didapat, dalam buku apa?  Anda bertanya soal Jerman dan penbgaruh Sunda di dalamnya, tapi Anda sedikit pun tidak bisa membuktikan pertanyaan yang Anda ajukan dan saya balikan kepada Anda untuk membuktikan realitas tersebut. Bicaralah dengan fakta dan data, sebab yang Anda bicarakan itu butuh kenyataan, bukan omong kosong belaka. Lainnya dalam karya sastra itu tidak semua nilai universa;, tetapi juga ada yang lokal. Karena itu ada yang disebut lokalitas. Nilai-nilai yang terdapat dalam pantun Sunda sangat lokal, ia bisa menjafi universal setelah ditasir dan alih bahasa. Tanyalah Budhi Setyawan kalau tak percaya, atau tanya Asep Salahudin yang pakat dalam bidang kebudayaan.

Saya:
Ujung atasnya aja ya?

Kang Soni berkata, "Itu bukan pembelaan tapi logika berpikir yang ngawur. Apakah ketika Nabi Ibrahim hidup atau semasa Nabi Adam masih hidup, orang Sunda sudah ada?"

"Ya ya ya, kalaupun misalnya orang Sunda belum ada di zaman Nabi Ibrahim, tetapi yang saya maksud, kehidupan anak-cucu-cicit Ibrahim akan mendapat pengaruhnya. Tapi juga punya khas di tiap tempat. Dan pada bagian tertentu, sekecil apapun, menurut logika yang waras, bisa saling mempengaruhi".

Bahkan pengaruh bisa terjadi tidak langsung. Suatu benua bisa punya pengaruh ke China, misalnya. Sedangkan Sunda dalam hal tertentu mendapat pengaruh dari China.

Pun dari Sunda bisa berpengaruh ke Singapura (dan sekitarnya), misalnya. Dan Singapura bisa berpengaruh ke Amerika.

SFM:
Gilang Teguh Pambudi, jawaban Anda itu seperti ubi jauh panggang dari Api. Anda tak mampu menunjukkan satu fakta pun tentang pengaruh sastra Sunda terhadap sastra Jerman. Jawaban Anda semakin ngawur,

Saya:
Lagipula saya juga nyebut, puisi Sunda ala Chairil. Puisinya Sunda, karya penyair Sunda, gayanya Chairil.

Budi Setyawan:
Izin menyimak. Gelar tikar. Aya kopi teu kang? 😁

SFM:
Ayo.

Ana Parlina:
Betuul

SFM:
nuhun

------

Soni Farid Maulana (SFM):
(Menulis status yang lain)
dalam pandangan saya Tim Kurator Negeri Poci bukan penyair kemarin sore. Jam terbang mereka sangat tinggi. Saya percaya itu

Arief Joko Wic:
Pandanganmu dalam dan akurat.

SFM:
nuhun

Saya:
Saya tidak percaya.

Pertama. Ini sangat subyektif. Karya saya tidak lolos. Tapi semoga ini pendapat normal, yang tidak berlebihan.

Kedua. Saya tidak menemukan alasan yang tepat. Kecuali, "layak diusir" atau "halaman tidak muat", yang artinya saya rengkingnya di garis degradasi.

Dedi Wahyudi:
Karena tingginya saya tidak bisa menggapainya dan puisi saya berkali2 ditolak. Saya tahu diri dan maklum karena saya anak kemarin sore.

SFM:
saya kira bukan karena tingginya medium, tapi seberapa tepat kita mengolah majas dalam puisi yang kita ekpresikan, itu jika menggunakan majas. Seberapa sederhana puisi yang kita tulis yang antar lariknya tidak saling bertentangan. Banyak kok puisi yang dimuat di Negeru Poci sederhana, tapi tepat apa yang mereka ungkap.

Dedi Wahyudi:
siap belajar

SFM:
Dedi Wahyudi, ya

Zulkarnain Sl Idrus:
Saya juga baru pertama kirim, dan hanya lolos tahap ke dua, tahun depan kalau masih ada, saya kirim lagi.. mungkin puisi saya kurang beretika dan berestetika..🙏🙏

SFM:
semua ada proses, jangan mundur karena tak dimuat di koran atau antologi bersama.

Zulkarnain Al Idrus:
Soni Farid Maulana 👍👍👍👍 InsyaAllah tidak, karena saya hanya punya satu langkah, yaitu maju. Dan kalaupun saya harus mundur, itu juga maju dengan cara yang berbeda🙏🙏

SFM:
Zulkarnain Al Idrus sip, semoga sukses

Zulkarnain Al Idrus:
Soni Farid Maulana Aminnn...🙏🙏

SFM:
Zulkarnain Al Idrus Aamiin

Saya:
Saya tidak percaya.

Pertama. Ini sangat subyektif. Karya saya tidak lolos. Tapi semoga ini pendapat normal, yang tiidak berlebihan.

Kedua. Saya tidak menemukan alasan yang tepat. Kecuali, "layak diusir" atau "halaman tidak muat", yang artinya saya rengkingnya di garis degradasi.

Arther:
I do believe in judges 🤗👍

Rini Intama:
Ya  saya  percaya  itu  kang  Soni Farid Maulana

Sahaya Santanaya:
Syukurlah kang 🙏😁

Lala Lulu:
Tapi saya tak lihat pengumuman antologi bersama di sini?

Kapan ya waktu di umuminnya?

SFM:
Sudah lama hampir satu tahun lalu

Lala Lulu:
Soni Farid Maulana Owh he he pantesan tak lihat kalau sdh satu tahun yang lalu

Kang Suhanda:
Menyimak raih harap menuju jejak berikut ..
Terima kasih senior ...🙏

Andana Dan Janitra:
Semoga tahun tahun berikutnya bisa ngikut

Saya:
Saya tidak percaya.

Pertama. Ini sangat subyektif. Karya saya tidak lolos. Tapi semoga ini pendapat normal, yang tiidak berlebihan.

Kedua. Saya tidak menemukan alasan yang tepat. Kecuali, "layak diusir" atau "halaman tidak muat", yang artinya saya rengkingnya di garis degradasi.

Irvan Mulyadie:
Subjektif dengan alasan-alasan estetika adalah kewenangan kurator yang menjadi vetonya. Kurator tidak sendiri. Tapi beberapa orang yang sangat ahli di bidangnya. Yang sudah sangat dihargai selama ini oleh kalangan Penyair di bumi pertiwi ini.

Bila anda tidak lolos dalam kurasi kali ini, karena mungkin menurut kurator memang belum layak untuk disandingkan dengan ratusan orang lainnya yang karyanya lebih baik dari anda. Bukankah di atas langit masih ada langit?

Saya agak menyayangkan statmen anda yang menilai 'Subjektif' terhadap kurator karena alasan 'karya anda tidak lolos'. Padahal saya yakin, kurator sudah merelakan waktu, pikiran,tenaga bahkan hartanya demi memilih yang terbaik di antara yang sudah baik.

Terlebih karena saya sudah membaca karya anda yang tidak lolos itu, saya sarankan pada anda untuk introspeksi saja. Toh antologi ini bukan kitab suci pembaptis penyair. Hanya sebuah upaya terhormat untuk mewarnai kesusastraan Indonesia masa kini.

Jadi santai saja,Pak 😉

Saya:
Irvan Mulyadie, sama-sama manusia, sama-sama bernyawa, sama-sama bekerja, .... tetapi ada yang namanya dijatuhkan dengan pendapat, "Karya Gilang Teguh Pambudi tidak dapat disandingkan dengan ratusan karya lain". Itu menantang namanya. Menghina. Kecuali ada alasan yg masuk akal. Sesubyektif apapun. Logika harus bisa kerja di situ.

Ibarat dalam debat terbuka, mereka harus siap. Dan saya juga siap.

Apalagi ratusan karya lain dianggap lebih baik. Ratusan itu banyak. Pasti menuntut alasan. Wajib.

Masalahnya bukan mereka telah menumpahkan keringat, telah bekerja. Bahkan tukang nyeduh kopinya juga kerja. Yang penting, bagaimana kerjanya? Itu yg prinsip.

Saya dijatuhkan tanpa alasan. Karya saya dianggap jelek. Dan hak proses sastra saya membuat perlawanan. Ini juga sejarah sastra yg saya buat.

Saya menolak introspeksi, sama sekali, kecuali pada bagian yang seharusnya. Maka saya bilang, kurator harus introspeksi pada bagian yg perlu introspeksi.

Sikap saya sudah dihitung.

Irvan Mulyadie:
Gilang Teguh Pambudi Kurator udah bilang di akhir pengumuman, pertanggungjawaban akan diberikan di buku tersebut.

Dan saya tidak melihat yang tidak lolos kurasi sebagai karya yang dijatuhkan atau terhina. Di waktu lalu,saya juga tidak lolos kok masuk DNP. Nyantai aja. Nulis lagi. Dan saat dimuat, ya resiko ngirim karya itu mah.

Berpuisi itu harus gembira. Punten kumawantun 🙏

Saya:
Irvan Mulyadie , kalau karya saya tidak lolos dalam deretan yang sangat banyak, ratusan, wajar saya tidak cuma minta pertanggungjawaban yang benderang, bahkan minta yang lebih benderang lagi. Apalagi ada penulis yang lolos mengaku, "Saya berusaha ... saya berusaha ...akhirnya lolos". Berarti dia sadar, berkesaksian, usahanya pernah tidak cukup. Belum sampai. Wajar pernah tidak lolos.  Sedangkan saya, usaha bersastranya sudah sampai. Gak ada yang perlu dibenahi dari karya saya sekarang atau nanti. Sekarang final, nanti pun final. Ini jiwa penyair namanya.

Kalau 8 puisi itu nanti saya terbitkan dalam satu antologi, tidak ada yang saya ralat. Sudah bagus. Kecuali kalau proses kreatif saya memaksanya. Bahkan situs Himpunan Masyarakat Gemar Membaca sudah menerbitkan 8 puisi itu. Tidak ada kesalahan. Tidak ada kalimat, belum berkualitas.

Kalau ditolak koran saya mudah maklum. Kolomnya terbatas. Selain itu saya ngaku, bisa saja tidak disukai redaksi. Gak ada yang mustahil di dunia ini. Tapi urusan mereka.

Tidak jadi juara lomba puisi nasional, saya juga nerima. Sebab 6 pemenang itu sangat sedikit. Apalagi kalau kualitasnya sangat 'kompetitif'. Subyektifitas sekecil apapun pun bisa mementalkan saya. Mungkin baru masuk kalau juaranya ada 10 atau 20.

Irvan Mulyadie:
Gilang Teguh Pambudi bagi saya "tidak pernah ada kata selesai dalam kepenyairan" selama kita masih membaca dan menulis puisi. Bahkan konon dalam sejarah, Chairil Anwar sering merevisi karyanya sendiri, bahkan, karya yang sudah dimuat media massa. Ini artinya sebuah karya tidak lantas selesai begitu saja. Butuh pengendapan, kesabaran dan rancang bangun kalau istilah Pak Saini Km mah. Itu dari sisi karya.

Nah, apalagi dari sisi kepenyairan, perlu kesadaran dan kerendahan hati luar biasa dalam berkarya. Jangan sampai kata "final" itu sebagai ungkapan rasa "selesai" dari sisi pembelajaran kita terhadap ilmu dan kehidupan.

Semoga puisi kita mendapatkan ridha dari Allah SWT. Amin...

Saya:
Wah kelewat deh. Coba lihat lagi paragraf di atas. Oke saya ulang saja. Semoga huruf tebalnya menjelaskan banyak hal.

///// Kalau 8 puisi itu nanti saya terbitkan dalam satu antologi, tidak ada yang saya ralat. Sudah bagus. KECUALI KALAU PROSES KREATIF SAYA MEMAKSANYA. Bahkan situs Himpunan Masyarakat Gemar Membaca sudah menerbitkan 8 puisi itu. Tidak ada kesalahan. Tidak ada kalimat, belum berkualitas./////

Irvan Mulyadie:
Himpunan Masyarakat Gemar Membaca telah menerbitkan 8 puisi itu, lalu dikirim ke DNP Pesisiran?

Saya:
Irvan Mulyadie, terbalik dong. Diusir dari DNP, baru diterbitkan oleh Himpunan Masyarakat Gemar Membaca.

Irvan Mulyadie:
Mantap. Berarti di HMGMlah nasib puisi tersebut. Sama-sama tempat yang mulia 😊👍

Saya:
Irvan Mulyadie benar. Masalahnya, sangat terhormat sekali karya-karya Gilang Teguh Pambudi (mungkin DKK)  tidak masuk dalam deretan sekian ratus yang lolos di Pesisiran DNP, tanpa alasan yang masuk akal. Kecuali "diusir" atau halaman bukunya kurang, yang artinya kualitas puisi saya kalaupun dipaksa naik dengan penambahan halaman,  paling bawah sekali. Di jurang degradasi.

Irvan Mulyadie:
Gilang Teguh Pambudi Bukan masalah besar, hal yang sangat biasa saja tidak lolos (dengan atau tanpa alasan).

Saya:
Irvan Mulyadie , mungkin masalah besarnya ada di kualitas karya yang punya MEREK, Gilang Teguh Pambudi (mungkin beberapa nama yang lain juga, saya gak tahu datanya).

SFM:
Masing masing orang berhak berpendapat. Termasuk berhak membaca ulang apa yang ditulisnya itu layak atau tidak.

Saya:
Soni Farid Maulana, LAYAK.

SFM:
Bagus kalau begitu

Saya:
Soni Farid Maulana, siap!

Budhi Setyawan:
Jadi ada yang mau menggugat ke MK? 😁🤣

Saya:
Sejarah. Pada waktunya, buka-buka catatan sejarah sastra Indonesia di depan.

Budhi Setyawan:
Buka catatan sejarah sastra di buku apa ya bang?
Maaf saya belum paham.

Saya:
Budhi Setyawan, itu bentangan data dan fakta pada waktu, jadi harus dilihat dari semua yang menulis dan yang ditulis.

Minimal di buku-buku saya bisa tertulis, "8 puisi saya yang ini dan yang itu pernah ditolak antologi Pesisiran, komunitas DNP tanpa alasan yang jelas". Dan ini bisa jadi pintu masuk banyak orang untuk menelusuri rahasia sejarah yang lain-lainnya.

Dan saya halal bicara di buku atau dalam wawancara, "Saya pernah kasihan kalau KOMUNITAS DARI NEGERI POCI berubah menjadi KOMUNITAS DARI NEGERI ABAL-ABAL".

Budhi Setyawan:
Gilang Teguh Pambudi oh saya kira sudah ada buku cetaknya bang. Karena saya koleksi bbrp buku puisi dan juga esai.
Semoga bisa terus membaca dan makin berkarya bang. Salam takzim

Saya:
Budhi Setyawan, kado yang istimewa, lembut sekali, "terus membaca" dan "makin berkarya". Sangat cocok dan santun untuk Rendra.

Dan kita sedang di garis terdepan. Menentukan. Berbuat. Saat ini. Bukan nanti. Berpolitik kebudayaan.

Melati Purwakarta:
Karena aku masih junior, aku nyimak pendapat para senior

Darma Aloena:
Nyimak sambil belajar

Drs Dedi Tarhedi:
setuju

Emmanuel Sembiring Meliala:
Apa khabarnya?

-----

Soni Farid Maulana (SFM):
(Menulis status lain di FB)
hingga kini saya masih mengalami puisi ditolak oleh media massa, atau oleh orang yang bikin antologi puisi. bagi saya wajar saja.

Gilang Teguh Pambudi (saya):
Biasa aja ...

SFM:
Ya

Saya:
Soni Farid Maulana  2-3 tahun terakhir atau dulu?

SFM:
Gilang Teguh Pambudi saat ini juga

Saya:
Soni Farid Maulana, mungkin maksudnya tidak bisa produktif di koran-koran karena ada yang tidak naik. Alasannya klasik.
Tapi kalau tertolak dari antologi nasional 2-3 tahun terakhir, antologi yg mana?

------ 

Demikianlah saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, juga sedunia. Keriuhan di dinding FB Soni Farid Maulana.

Salam proses kreatif. Salam sastra.

Kemayoran, 13 06 2019
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG