NEGERI POCI MENOLAK POLITIK KEBUDAYAAN

NEGERI POCI MENOLAK POLITIK KEBUDAYAAN
-----

POLITIK KEBUDAYAAN  

ini politik kebudayaan 
ada firman Allah
yang dimenangkan

Kemayoran, 2018
Dari 8 puisi saya yang Tidak Ada Di Pesisiran 
------

Saya awali tulisan ini dengan spirit kehati-hatian yang penuh, sekaligus mengingatkan jangan salah tafsir. Sebab puisi saya di awal tulisan ini memang berjudul, Politik Kebudayaan. Puisi itu tertolak dari pemuatan puisi dalam Antologi Puisi Pesisiran, Dari Negeri Poci (DNP), 2019. Maka saya memberi judul untuk tulisan ini, Negeri Poci Menolak Politik Kebudayaan. Itu saja. Semoga terang benderang.

Selanjutnya saya akan mengajak pembaca memahami modal awal, apresiasi sastra yang lurus. Yang bercahaya atau mencerahkan. Yang mendasari kebebasan masyarakat (kurator), termasuk penyairnya, dalam mengapresiasi suatu puisi.

Saya tahu, keresahan masyarakat (kurator) di depan para penyair yang sewaktu-waktu atau sering membicarakan puisinya sendiri. Pertama, ketika ada penyair terjebak ke dalam satu tafsir yang diinginkannya, tafsir tunggal yang kaku, sedangkan puisi itu bebas merdeka membawa nyawanya sendiri, tanpa ada penyairnya yang terus 'ngintil', memata-matai, apalagi menggurui.

Kedua, ketika ada penyair yang sesungguhnya membebasksn puisinya dari sidang tafsir kehidupan, sebab puisi yang baik sudah punya maksud banyak, tanpa akan dikorupsi oleh waktu. Tetapi gara-gara penyairnya suka berkomentar tentang kandungan puisinya, yang tak ubahnya persis pendapat seorang masyarakat belaka, yang bukan si penyairnya, maka masyarakat (setidaknya sebagian masyarakat) mengakui hal itu yang sepenuhnya benar. Semacam tafsir tunggal juga. Padahal masyarakat yang melek sastra (kurator dengan 'disiplin ilmunya') tanpa harus bertanya jawab dengan penyairnya sudah bisa menemui nasib sebuah puisi seutuhnya.

Ya. Saya tahu! Di situ penyair seperti pengacau, seperti racun kesusastraan belaka. Apalagi kalau penyairnya masih hidup, lalu melakukan perlawanan atas apresiasi masyarakat yang benar. Terkecuali kalau terjadi pemlintiran makna yang merugikan, yang merusak kesusastraan, yang sesungguhnya bukan apresiasi sastra. Dan itu pasti akan berhadapan, tidak cuma dengan penyairnya yang kebetulan masih hidup dan bisa merespon, tetapi juga dengan masyarakat (kurator) yang memiliki 'disiplin ilmu' yang paripurna.

Tapi tidak cukup begitu. Ini harus dibuka hingga terang-benderang. Dimerdekakan juga sebagai hak hidup kesusastraan penyairnya yang benar. Penyair tetap boleh bicara kedalaman dan ketajaman karyanya. Tetapi sekali lagi seperti yang sudah saya sebut, itu tak ubahnya hanya serupa dengan pendapat seorang pembaca sastra belaka. Sebab puisi terbuka untuk multi tafsirnya. Sehingga masyarakat (kurator) tidak akan pernah terganggu kebebasannya. Sama sekali. Justru PR (pekerjaan rumah)-nya, bagaimana bisa terjadi proses edukasi masyarakat, bahwa puisi itu bebas ditafsirksn oleh siapapun, baik penyairnya maupun masyarakat. Dan tidak ada tafsir tunggal yang menguasai dari pihak manapun. Terlebih-lebih puisi sangat lekat dengan kepekaan rasa, meskipun tidak mungkin membunuh logika.

Jadi biarkan saja puisi bernafas lega. Terbang dengan sayap-sayap yang tidak dipatahkan. Tentu yang saya maksud adalah puisi utuh yang sebenar-bebarnya puisi. Bukan sebentuk karya yang diakui penyairnya sebagai puisi, tetapi hukum puisi (universalutas sastra) menyebutnya belum puisi atau bukan puisi. Di sinilah ada pesan besar, seseorang itu mesti lebih banyak belajar nulis puisi. Harus banyak baca karya-karya yang berkualitas.

Pertanyaannya, apakah ada pembaca sastra (kurator) yang salah baca? Tentu ada. Itu bagian dari kealpaan manusia. Tetapi itu bisa dilihat sebagai perilaku oknum pembaca, yang pada waktunya akan berhadap-hadapan dengan pembaca sastra (kurator) yang sesungguhnya. Bahkan tidak dipungkiri, bisa berhadapan dengan penyairnya yang paham sastra secara utuh. Misalnya, ketika suatu puisi diterjemahkan oleh sementara pihak, tanpa disiplin keilmuan yang cukup, dianggap menyerang ideologi negara yang sudah dipahami umum sebagai ideologi yang benar, padahal yang sesungguhnya samasekali tidak benar demikian. Apalagi penyairnya sendiri hidup di dalam ideologi negara itu. Ini sekadar satu contoh saja.

Dengan dasar pemahaman yang telah saya sampaikan, izinkan saya menyelami puisi saya, Politik Kebudayaan. Tentu saya tak ubahnya bertindak sebagai pembaca sastra belaka yang punya kebebasan sama dengan para pembaca yang lain. Artinya, dalam hal ini puisi saya itu sudah berpindah kepada saya, pembaca, yang kebetulan penulisnya.

Sesungguhnya puisi saya itu sejalan dengan hakekat hidup manusia yang selalu hidup dalam lindungan Yang Maha Kuasa. Yang di Indonesia diekspresikan dengan idelogi Pancasila yang mengandung sila pertama dan utama, Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tetapi dalam hal pilihan kata, puisi ini menarik karena berani memasukkan frase, firman Allah. Yang secara awam menunjukkan, ada masyarakat yang alergi dengan pilihan ini. Dan itu bikin tidak nyaman. Tidak mencerminkan masyarakat yang berbudaya tinggi. Dan puisi harus melakukan kerja sosial secara baik-baik saja. Bersahaja. Menentramkan. Jauh dari meresahkan. Tetapi mengena.

Frase 'firman Allah', seringkali dituding sebagai sikap fanatisme sempit yang menutup ruang humanisme universal. Ini sungguh memilukan. Sehingga melalui puisi Politik Kebudayaan itu saya ---sebut saja Si Penyair, wajar memilihnya sebagai pilihan kata yang tepat. Sebab tanpa yang begini ini, buat apa kita ber-Pancasila? Kalau ruangnya ruang dunia, yang tidak menempelkan lambang Garuda Pancasila seperti di Indonesia, buat apa kita berketuhanan? Sehingga dengan demikian sebagai nasionalis-religius, penyairnya tetap penganut humanisme-universal. Kedamaian dunia itu. Ini yang justru kelak memutar menjadi pandangan, dengan Pancasila Indonesia telah menyumbang pemikiran besar, meletakkan kemanusiaan berketuhanan sebagai pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Subhanallah.

Setelah baris kedua, "ada firman Allah", penyair melanjutkannya dengan kalimat penutup, "yang dimenangkan". Baris ini berfungsi sebagai penegas. Sebab jika "Ketuhanan Yang Maha Esa" berhasil dikalahkan, maka yang akan terjadi bukan cuma oknum Tuhan dan nama Tuhan yang hilang, tetapi pengingkaran atas kemuliaan-krmuliaan hidup. Ini sangat berbahaya. Apalagi dalam banyak peristiwa, hilangnya kemuliaan hidup terjadi lebih cepat dari hilangnya nama Tuhan atau Allah secara formalitas, yang sesungguhnya menunjukkan telah hilang nama Tuhan pada peristiwa yang pertama. Bagaimana mungkin kita bisa menjaga rumah kita, Indonesia (dunia), dari kekacau-balauan, kalau Yang Maha Mulia dihabisi? Lalu diganti oleh Yang Maha Jahat.

Ya, seperti pesan sederhana belaka jadinya. Seperti kalimat tauhid ustad kampung tamatan SMA yang sehari-hari tumbuh di mesjid. Atau yang melanjutkan ngaji ke pesantren tertentu. Tetapi ini soal jantung. Jantung paling jantung. Jantung yang jangan ditolak dan ditembak mati. Sebab ini jantung yang menyatukan sebuah bangsa, dan rahmatan lil alamin.

Justru setelah membaca puisi ini, masyarakat sastra akan merasa lega. Sebab kemuliaan masih berharga. Menyelamatkan ideologi bangsa. Menyelamatkan undang-undang. Menyelamatkan sistem berbangsa dan bernegara. Menyelamatkan bersosial-budaya. Menyelamatkan dunia pendidikan, bahkan dunia perekonomian. Serta menyelamatkan kita dari ruang-ruang ketidaklaziman yang mengancam dan berbahaya dari tujuh penjuru pintu kerajaan syetan.

Pendeknya, ini puisi kesejukan dan kesejahteraan manusia. Puisi tentang politik kebudayaan.

Kemayoran, 15 06 2019
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG