NYI RORO DAN ANTOLOGI PESISIRAN

SEPERTI NYI RORO

seperti Nyi Roro
seperti yang banyak digambarkan
gaunnya hijau sensual
basah air kilau laut saat asmara 
cantik yang lepas
tapi kutemui ia suatu ketika
di permukaan samudra menjelang senja 
tak ada tanda-tanda pernah bunuh diri
ia bicara dalam nada permisi
berpesan seperti mengantarkan
bibirnya merah merekah
mendekatkan
berkalimat baik-baik saja
bertanya keluarga juga negara
anak ke berapa kelas berapa?
bertanya harga-harga pasar
dan musim apa di gunung?
bertanya upah para pekerja
juga seberapa padat jalan raya? 
mungkin itu sebabnya dibilang Ratu
sebab pertanyaannya menguasai jawaban
lalu ia masuk kembali ke dalam laut
tanpa tabung oksigen
tanpa apa-apa
siapa sangka?

Kemayoran, 2018
Dari 8 sajak yang "Tidak Ada Di Pesisiran", cannadrama.blogspot.com 
---

Akan ada waktunya. Suatu saat seseorang atau jurnalis bertanya kepada orang pintar atau ulama, "Katanya Nyi Roro itu mati sakit hati dan bunuh diri?" Lalu ia mendapat jawaban, "Ada dua versi cerita rakyat. Tutur tinular. Pertama, memang demikian. Kedua, tidak. Dia memang berduka karena ada sebab yang mendatangkan kedukaan. Tentu beda dengan sakit karena disakiti, atau disiksa hatinya. Lalu ia pergi dan menyepi, bukan menepi, sampai dikabarkan hilang. Lebih tegasnya, menghilang".

Bagian ini pasti ketemu dalam puisi yang saya cantumkan diawal tulisan ini, meskipun puisi SEPERTI NYI RORO yang tertolak bersama 7 puisi lainnya dari antologi Pesisiran, Komunitas Dari Negeri Poci, itu tidak sedang melulu fokus pada soal itu. Apalagi ambiguitasnya tetap membuka ruang merdekanya.

Puisi memang sering mengandung otentisitas peristiwa sejarah. Berisi data dan fakta. Tetapi tidak bisa cuma berhenti disitu. Juga mengandung pencerahan yang banyak. Kecuali jika dimandulkan. Atau karena yang dimaksud memang bukan atau belum puisi.

Bagian lain yang juga ramai hingga hari ini adalah kisah Nyi Roro yang katanya istri raja-raja Jawa. Bagaimana ini? Satu wanita untuk banyak raja? Tentu, puisi saya itu berposisi selayaknya kata pengantar, bahwa Nyi Roro adalah seorang ratu yang dikelilingi oleh wanita-wanita cantik dan seksi, para pengawalnya. Sebutan yang lebih tinggi strata kekuasaan dan pengaruhnya dari sekadar para pengawal adalah, 77 Nyi Roro yang lain. Yang mengingatkan kita pada Raden Kian Santang yang sanggup membelahdiri menjadi 7 atau 700 tubuh. Maka dari 77 itu bisa diperistri oleh para raja tentunya. Bahkan seorang ulama akan tersenyum ketika menjelaskan, "Raja Jawa pun ada yang poligami. Yang begini kan bisa menikahi 4 ratu?"

Khusus berkaitan dengan ilmu membelahdiri, ya, tidak hanya dengan satu cara. Di situ rahasia banyak cara.

Dan jika anda adalah pembenci matematika di bangku sekolah dulu, bahkan hingga sekarang, karena tidak mau seperti saya, mulailah pecaya kepada guna matematika ketika menjawab pertanyaan rumit, "Apakah 77 ratu itu dinikahi raja-raja Jawa semua?"

Dalam wilayah intelektual dan konteks sosial kita pun mafhum, manusia tidak boleh terjebak macet terus tanpa solusi. Maka pada waktunya infrastruktur yang dibangun dunia literasi akan mengantarkan keluasan berfikir dan bersikap. Bukankah dari dunia dongeng dan mitos yang baik bisa mendatangkan banyak manfaat, kesalehan dan kecerdasan sosial?

Bagi siapa-siapa yang berani bicara, bercerita banyak, bahkan berteori dengan nama Nyi Roro mestinya otomatis bicara konteksnya dengan budi baik manusia. Dengan ekonomi, sosial, dunia kerja, politik dan budaya. Dengan negara, ideologi dan hukum-hukumnya. Dengan dunia pendidikan, sektor pertanian, pariwisata, dan kesadaran cinta lingkungan. Dengan anti kejahatan, anti miras dan narkoba, anti korupsi, dan anti-anti yang lainnya. Dst.

Bukan. Bukan karena persoalan memanggil Nyi Roro. Tetapi cerita Nyi Roro memang tetap menjadi daya tarik bagi orang yang tahu dan bagi orang yang semakin tidak tahu.

Katanya Nyi Roro itu menolak orang yang berpakaian hijau di pantai. Persoalanya, bagaimana kalau yang dimaksud adalah yang pakaiannya hijau tetapi tidak menyenangkan sesama manusia karena sesungguhnya tidak hijau? Seperti orang tidak suka sama Buto Ijo yang jahat karena ijonya bukan rahmatan lil alamin. Maka wajar seorang Kyai teguh tetap berkata, "Pakaian hijau itu milik Allah". Artinya, pakaian hijau harus dipakai baik-baik. Dipakai dengan ilmunya.

Selain itu, sikap berbaik sangka bisa mengarahkan kita bahwa warna hijau dan biru di pantai adalah warna yang menyerupai air laut, menyulitkan pendeteksiannya jika mengapung dan tenggelam. Coba kita tanyakan juga kepada para pelukis, mengapa gunung hijau dari jauh terlihat biru?

Lalu saya pasti tertarik bicara banyak tentang tari-tarian dengan gaun hijau cerah berkilau. Sungguh seumpama 'badan' puisi yang sensual dan erotik. Maka saya sangat bersyukur karena di awal 2019 ini, telah menerbitkan sebuah buku antologi puisi berjudul, TAGAR (Tarian Gapura, JM-Bandung). Khusus pada alinea ini saya meminta, terjemahkan juga gapura adalah negara, bangsa dan kekuasaan adilnya.

Kita juga sering terganggu dengan pemberitaan yang sampai masuk koran. Bahwa beberapa wisatawan telah dikorbankan oleh Nyi Roro di Pantai Kidul karena dia memang selalu meminta tumbal nyawa. Padahal yang dimaksud, kehidupan manusia di pantai dengan segala aktivitasnya, termasuk dalam usahanya membangun dunia pariwisata di situ yang juga dilindungi undang-undang, telah berhadapan dengan hukum alamnya. Hukum alam itulah yang bisa melahirkan korban. Yang artinya, singgasana dan kekuasaan Nyi Roro ada di hukum normal. 

Kemayoran, 09 06 2019
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG