SAYA SEDANG DISIDANG

MENGGEMA GEMURUH

dari dalam kerumunan manusia, seperti sedunia
aku melompat seperti dari lingkaran
menuju halal pasir yang lain
sebab ada yang keblinger mengutuki rumah Allah
mulutku melantunkan huruf terakhir dari Muhammad 
"Dal! Dal! Dal!" Tubuhku mental-mental 
ombak-ombak kewarasan, selalu kewajaran
ubun-ubun kontruksi pembangunan 
keselamatan, keadilan dan kesejahteraan 
----- politik, ekonomi, hukum, sosial, pendidikan, 
pariwisata, pertahanan keamanan, pancasila, tata kota, 
lingkungan hidup, pertanian, kesehatan, dan semuanya ------
kau bilang rambutku dijambak angin
kubilang rambutku membelai langit
"Nun! Nun! Nun!" Aku teringat puisi pendek Indonesia:
'dalam bahasa
nun mati
artinya hidup!'
kurengkuh pasir, kueja, plastik-plastik telah merenggut indahnya
ada juga kondom sisa penyelundub semalam
yang masih hangat dan kejam
pecahan botol minuman keras 
juga uang recehan wangi nelayan, jelas tidak bau korupsi 
gerombolan teater itu mengejarku, laron jinak mengerubungi 
"Nang ning! Nang ning!"  Dari mulutnya gemerincing
wajah-wajahnya penuh tanya, apa gerangan yang aku dapat?
padahal jawabannya ada pada suaranya
"Kemenangan adalah hening. Ketenangan adalah bening.
Keberadaannya seihlas cinta"
tiba-tiba menjadi gerombolan tawon, pantai menggema gemuruh
'Nang ning gung! Nang ning gung!"
semua meremas-remas pasir,
memisahkan sampah-sampah, dimasukkan karung
"Nang ning nung! Nang ning nung"
ombak di sana menggulung, kecamuk di sini menggunung
berulang-ulang meneriakkan Sajak Akhir Zaman,
"akulah Muhammad
dan akulah Isa
yang membenarkan".

Kemayoran, 2018
Puisi pertama dari 8 puisi saya yang Tidak Ada Di Pesisiran
------
------

Lapor! Saya sedang disidang. Bukan sidang isbat tapi. Ini disidang di media sosial, baik di dinding terbuka maupun inbox, massanger, WA, dll. Ada yang bertanya dan berkomentar baik-baik. Ada juga yang sangat menekan. Terutama berkaitan dengan ketidakmengertian saya tidak lolos di antologi Pesisiran-DNP berikut 'keresahan sastranya yang lebih besar, dan pengaruh falsafah Kasundaan, budaya Sunda (sastra Sunda) di negara-negara jauh (yang saya sebut, Jerman).

Menurut saya, sesuai dengan pengumuman kegiatan DNP yang terbuka itu, pesertanya terdiri dari penyair dan non penyair ---mungkin maksudnya semacam aktivis sastra/literasi. Terlepas dari pro-kontra pada penggunaan dua kriteria itu, pada satu sisi sudah kabar gembira buat saya.  Sedangkan soal Nusantara sampai ke Jerman, termasuk khas yang kuat dari Kasundaan, itu selalu hal hebat.

Berikut ini beberapa saja dari sekian banyak hiruk pikuk perdidangan itu.

Bisa saya ilustrasikan, pada saat proses persidangan berlangsung di MK (Medsos Kita), saya sedang di sela-srla menikmati kopi hitam pada cangkir ping.

DI PENGADILAN 1

Agus Dinar:
Bener tuh, sastra indonesia bukan daerah kekuasaan satu komunitas sastra saja. Personalpun bisa berkuasa atas karya satranya, meski perlu pengakuan dari komunitas.

Saya:
... dari masyarakat manusia.
------

DI PENGADILAN 2

Budi Hatees:
Gilang Teguh Pambudi. Untuk apa penyair bicara tentang puisinya.

Saya:
Budi Hatees, pada waktunya. Bahkan seperti kenapa seseorang bicara tentang upilnya? Saya tidak menemukan haramnya.

Khusus 8 puisi yang ditolak antologi Pesisiran, DNP. Biar disidang ummat manusia sekalian puisi dan keresahan penyairnya di balik penolakan yang tidak dimengerti itu.
-----

DI PENGADILAN 3

Yusran Arifin:
Gilang Teguh Pambudi Seseorang yang berujar tanpa referensi, mungkin orang menganggap serupa igauan, jika ia tidak meletakkan ujarannya di atas argumen logis.

Saya:
Yusran Arifin, anda membaca 'buku saya' dan anda tidak suka karena dianggap kurang data. Sementara saya bilang, bagian datanya tidak dibaca. Bahwa pergaulan manusia sedunia sejak masa silam, termasuk yang dicontohkan semisal pergumulan Timur dan Barat, sangat memungkinkan, dan itu memang sudah terjadi, falsafah Kasundaan dan budaya Sunda (termasuk sastra Sunda di dalamya) telah sampai ke Jerman (baca: negara-negara) di masa silam, setelah disampaikan atau diajarkan oleh Ki Sunda.

Gak apa-apa dianggap ngigau juga.

-----

DI PENGADILAN 4

Iberamsyah Barbary:
Kalau kita berani mengikut sertakan tulisan kesebuah penerbitan bergengsi, sdh harus paham akan masuk saringan dan harus percaya dg "kurator." Bersyukur ada lembaga penerbitan yg bisa kita jadikan ajang seleksi kualitas diri dalam berkarya. Seandainya puisi kita yg gagal terjaring, coba kirim lagi ke media cetak yg juga bergengsi, seperti, Kompas, Tempo, Horison, Majas.
Kalau dimuat berarti  karya kita sdh berkualitas, menurut ukuran media tsb. Banyak cara memotivasi diri untuk menjadi lebih baik.

Saya:
Iberamsyah Barbary, di koran atau majalah? Tentu sudah ada yang diterima dan ada yang tidak dimuat. Selain bagian dari kebijakan redaksi, halamannya terbatas. Sangat terbatas. Beda dengan ruang antologi untuk ratusan penyair yang sangat meyakinkan jumlah halamannya. Kecuali, betapa buruknya karya saya menurut kurator, atau 'nama saya tidak diperlukan'.

------

DI PENGADILAN 5

Heru Mugiarso:
Gilang Teguh Pambudi, mindset tuan perlu diubah.. maaf saya menggurui.

Saya:
Heru Mugiarso, kenyataan dan keresahan adalah juga kekuatan puisi. Maaf juga, ini puisi sedang bekerja.

------

DI PENGADILAN 6

Yusran Arifin:
Konsekuensi dari apa yang kita sampaikan. Orang menarik kesimpulan dari apa yang kita ucapkan.

Saya:
Yusran Arifin, ya itu kenyataan. Sejarah namanya. Tidak selalu karena yang dilakukan oleh si penyair itu salah.

Dalam hukum hidup, penyair yang disalah-salahkan kadangkala malah yang benar.

------

DI PENGADILAN 7

Lala Lulu:
Memang harus di cari pencerahan yg benar, agar tak salah sejarah. Ketika generasi penerus ingin membacanya kelak.

Soni Farid Maulana:
Ya benar, jangan asal ngomong bila tanpa akta dan data.

Saya:
Lala Lulu, hebat ya. Ki Sunda dari jaman dulu ngajar sastra Sunda ke orang Jerman?

-----

DI PENGADILAN 8

AMachyoedin Hamamsoeri:
Sabar aja pak Gilang,  puisinya dah saya baca, bagus kok tapi mgkn kita kurang beruntung, saya juga ngga masuk. Yang penting kita sudah memberikan kontribusi buat sastra Indonesia. Mdh2an tahun depan kita bisa lolos msk dlm antoligi Negeri Poci. Salam tulus dari Tangerang. Mohon maaf Lahir dan Batin.

Saya:
AMachyoedin Hamamsoeri, jadi cemoohan sepuluh jari itu bisa dijawab oleh pemuatan puisi saya di DNP yang akan datang? Haha. Alangkah kasihan sekali. Salam santun dan cinta, Pak.
------

DI PENGADILAN 9

RgBagus Warsono:
Sekali lagi aku tegaskan bahwa sahabatku Gilang Teguh Pambudi tdk kecewa akan penolakan itu tetapi ia RESAH !

Saya:
Mantap.  Kalau kecewa berarti cuma karena ditolak. Kalau resah, pasti ada persoalan.
------

DI PENGADILAN 10

RgBagus Warsono:
Biasanya yg ditolak naskah itu menyembunyikan kegagalannya, krn itu aku tertarik Mas Gilang Teguh Pambudi.

Saya:
Biar disidang ummat sekalian keresahannya.
-----

DI PENGADILAN 11

Jose Rizal Manua:
Selamat dan sukses...

Saya:
Trimakasih, Bang. Salam sukses juga.
-----

DI PENGADILAN 12

Gilang Teguh Pambudi, hehehe... kalau saya akhirnya memilih tempat yang mudah, nyaman, santai, tidak berbelit... yang penting bisa untuk ekspresikan diri saja. Berteman banyak, tidak harus unjuk karya yang berat2...

Saya:
Muhammad Zarqoni, saya sedang bekerja dengan puisi saya, karena Allah kasih identitas penyair kepada saya, karena daya puisinya. Tidak sedang ngaku-ngaku penyair. Saya bisa terkesan, di luar bentuk puisi berat atau ringan itu.

Soal kesesuaian dengan tema dan persyaratan lain dari panitia (kurator) sudah terpenuhi. Semakin selektif kuratornya, semakin ketemu. Sebab kurator yang selektif akan menghidupkan nyawa sastra yang sesungguhnya.
------

DI PENGADILAN 13

Muhammad Zarqoni:
Gilang Teguh Pambudi dulu saya kira yang terseleksi (tersingkir) seperti saya yang masih coba-coba. Ternyata njenengan juga terkena pisau tajam kurator... hehehe... monggo, Mas... ngopi2 aja dulu... rehat sejenak...

Saya:
Muhammad Zarqoni , saya pengennya introspeksi sambil ngopi, kok saya sombong amat ya? Ah, gak juga, cara-cara ini juga kerja puisi, kerja sastra untuk kemanusiaan. Yang katanya jangan cuma mandeg di olah sastra doang. Apalagi cuma main-main kata. Nyruput dulu ah. Monggo.

Saya di bukit, karena di lembah dianggap bikin tidak nyaman.
------

DI PENGADILAN 14

Cunong Nunuk Suraja:
Gilang Teguh Pambudi dari penawaran topik tulisan alias tema sudah muncul rambu-rambu kuasa  interpretasi tunggal dan membatasi ruang lingkup kreativitas. Kebebasan mencipta karya telah dibatasi dan disesuaikan dengan  interpretasi kurator atau pun penyelenggara.

Saya:
Dan saya telah mengamininya. Bahkan saya sebut, puisi dalam satu antologi dengan tema yang telah ditentukan, mestinya menguatkan kedasyatan antologinya. Karena itu saya menawarkan juga, khas, ketajaman, dan daya tarik. Bagian dari kepercayaan diri yang tidak gagap dan remeh. Tidak cuma sesuai tema.
------

DI PENGADILAN 15

Soni Farid Maulana:
Gilang Teguh Pambudi Rendra tidak marah ketika ia tak masuk dalam antologi puisi Indoneia-Emas yang digagas oleh Taufiq Ismail, demikian juga pelukis Popis Iskandar ketika lukisannya tak ada di antologi itu? bahkan Saini KM tidak juga mencak-mencak ketika puisinya tak ada dalam antologi puisi Langit Biru Laut Biru yang dipilih dan disunting oleh Ajip Rosidi. Sekarah telah menujukkan kearifan mereka kepada kita.  Kalau tidak percaya silahknan cek dan silahkan tanya ke Saini KM yang masih hidup. kalau Rendra sudah wafat.

Saya:
Soni Farid Maulana, Karena tidak ada yang menunjuk-nunjuk ke arah Rendra dan Saini KM dari para pihak yang mengaku membela kurator (panitia) dan "kaum pemenang", dengan kalimat semodel begini: "Rendra, Saini, belajar nulis puisi terus ya, nanti suatu saat pasti dimuat". Sampai-sampai saya bercuriga, kurator (panitia) seperti bersengaja.

Soni Farid Maulana:
Baca lagi komentar paling atas Anda menyebut nama Rendra

Saya:
Soni Farid Maulana, ya Rendra tidak diusir, seperti sedang dipermalukan.

Atau mungkin, saat itu dia diusir dan dipermalukan. Lalu dia memilih diam. Siapa punya data bagian ini?

Soni Farid Maulana:
Yang jelas Rendra tidak seperti Anda yang minta dibelaskasihani agar puisi yang Anda tulis masuk Pesisiran. kalau puisi Anda bagus pasti pada bela. Nyatanya tak ada seorang pun yang membela Anda. Ini jawaban saya terakhir, setelah itu saya tak akan melayani Anda, yang irasional.

Saya:
Waduh!

-----

DI PENGADILAN 16

Retno M. Sari:
Seru juga ya. Kalau karyaku misalnya ditolak justru aku bangga.

Saya:
Retno M Sari, ada beberapa persyaratan supaya bangga pada puisi yang ditolak:

1. Bangga. Bagi mereka yg berada pada tatatran masih latihan berpuisi. Bisa introspeksi. Dan kelak jauh lebih berkualitas.

2. Bangga. Ketika karyanya berkualitas tapi kalah bersaing. Misalnya dalam lomba cipta puisi atau pemuatan koran yang terbatas. Biasanya karya ini masih bisa muncul di koran lain atau dimuat antologi.

3. Bangga. Ketika karyanya baik, tapi ditolak karena tidak sesuai misi koran atau tema yang ditentukan panitia. Artinya, cuma masalah teknis belaka. Tidak mengganggu kualutas puisinya yang sudah bagus untuk muncul di koran atau even lain.

4. Bangga. Ketika puisinya ditolak sambil mendapat sambutan, dianggap puisi yamg sangat buruk. Padahal kriteria puisi yang buruk tidak ditemukan dalam puisi yang dimaksud.

5. Bangga. Ketika penyair terusir bersama puisinya karena dari ratusan yang lolos, tidak ditemukan titik pencerahan yang menjelaskan, kenapa karyanya bukan bagian dari ratusan yang lolos itu.

6. Bangga. Ketika puisinya ditolak komunitas tertentu karena penyairnya tidak disukai komunitas itu.

7. Bangga. Ketika puisi yang ditolak malah menemukan jalan sukses dan popularitasnya. Sehingga puisinya itu mendapat pengakuan-pengakuan di belakang hari.

8. Dll.

Ayo terbukalah indonesia.
Berani melek mata.
Berani blak-blakan.
Berani kritis.
Berani apa saja asal tidak melanggar hukum dan etika moral.

Jangan terkungkung pandangan sempit. Sebab terbukanya rahasia sebuah keresahan besar, akan melahirkan solusi-solusi.

Tapi, sikap keterbukaan itu bisa 'dibantai'.
-----

DI PENGADILAN 17

Cunong Nunuk Suraja:
Gilang Teguh Pambudi Dalam perhelatan pertemuan penyair Nusantara juga terjadi penyaringkan kurator tetapi tidak ada atau tidak pernah karya yang tertolak diberi catatan yang merangsang kreativitas untuk putaran berikutnya

Saya:
Pak Cunong Nunuk Suraja, karena yang semodel itu masuk ke komentar medsos, WA, dan massanger saya. Terutama dari yang mengaku kaum yang sudah lolos. Yang bilang, masih ada peluang berikutnya. Ada juga dari kaum yang belum lolos tapi terus semangat untuk lolos pada episode berikutnya. Di depan mereka, saya seperti bukan penyair atau masih jauh dari penyair. Harus rerus belahar menulis. Biar saja.
------

DI PENGADILAN 18

Yusran Arifin:
Gilang Teguh Pambudi

" Penulis yang baik adalah pembaca yang baik, " kata Maestro Sapardi Djoko Damono. Walaupun itu bisa saja terbalik, belum tentu pembaca yang baik penulis yang baik, bahkan tak sedikit pembaca yang baik tak pernah menulis.

Salah satu pentingnya membaca, ya untuk mencegah fitnah, suatu kesimpulan yang diklaim penulis sebagai kebenaran yang bisa dipercaya. Apalagi jika kita bicara sejarah yang merentangkan waktu terlalu panjang, kita tentu butuh sumber penutur, atau perawinya.

Nah, klaim Pangersa ini, tidak memperlihatkan itu. Om Soni Farid Maulana, sudah puluhan kali minta yang menjadi sumber Pangersa tentang pengaruh Sunda ke Jerman. Sampai detik ini Pangersa tak mampu menunaikannya.

Semua penyair yang saya kenal, sahabat saya, bahkan yang baru belajar, mereka berjalan dengan buku.

Saya:
Yusran Arifin, saya merasa 100% yakin, sudah memperlihatkan itu. Saya bertanggungjawab sepenuhnya. Karena itu saya bangga pada retorika mencerahkan wacana budaya dunia dengan cara saya.

Soni Farid Maulana:
Capek melayaninya hanya buang  waktu saja.
------

DI PENGADILAN 19

Yusran Arifin:
Gilang Teguh Pambudi hahaha bertanggung jawab seperti apa, ketika seseorang tak mampu menjawab permintaan adudiensnya? Pertanggung jawaban ilmu  bukan sekedar keyakinan, tapi bagai mana orang memepercainya.

Saya:
Yusran Arifin, saya sudah meletakkan 'buku saya', berupa jawaban-jawaban saya. Tinggal dibaca seksama. Saya malah meragukan ketajaman anda dalam menganalisa kalimat-kalimat saya. Sanfat emosional.
------

DI PENGADILAN 20

Elly Zarrah:
Ngebet banget ya lolos kurasi DNP  😁😁

Yusran Arifin:
Elly Dzarrah hikhikhik

Elly Zarrah:
Tenaaang..  Tenaaaang saudara saudaraku sekaliannya.
Dunia belum berakhir,  dan puisi tidak harus berakhir karena tidak lulus dan lolos kurasi.

Perlu belajar
"belajar menulis dengan sabar dan menghilangkan syndrom selebrits dalam diri"

Saya:
Elly Dzarrah, justru ngebet komen setelah tidak dimuat. Karena sejak awal 100% gak ada beban, yakin lolos, bukan minta dilolosin. Tapi kalau sekarang ditawari masuk karena pertimbangan setelah heboh, tentu saya menolak.

Ya, sempat ngebet harus masuk, karena saya suka judulnya, Antologi Pesisiran. Pas! Mantap! Cocok buat dimanfaatin oleh puisi saya. Sekali lagi, cocok dimanfaatin oleh puisi saya. Biar puisi itu kerja sesuai isinya. Di situ.

Silahkan tertawa. Sekencang-kencangnya kalau perlu.

Elly Dzarrah:
Kang Gilang Teguh Pambudi mah tidak biasa ditolak dan tidak bisa menerima penolakan barangkali yah ?

Saya:
Elly Dzarrah, pernah ada yang tidak dimuat koran. Saya diam saja. Biasa. Mungkin ruangannya tidak cukup atau karena kebijakan redaksi yang entah. Karena kualitasnya sudah terjamin 100%.

Tapi antologi ini halamannya tebal banget. Mantap, terusir dengan sukses!

Elly Zarrah:
Jangan pikirkan rasa percaya diri dulu,  tapi cermati berapa puisi dan Penyairnya yang masuk  ?
Bagaimana tim Kurator harus bekerja keras untuk mulai menerima,  membaca,  menyeleksi beberapa kali.

Tim Kurator itu bukan anak bawang lho yaaa atau anak kemarin sore di Sastra.

Saya:
Elly Dzarrah saya juga bukan anak bawang.

Berarti perkelahian sesama BUKAN ANAK BAWANG.

-----

DI PENGADILAN 21 

Lala Lulu:
Masih bnyk jalan menuju roma

Tetap semangat

Saya:
Lala Lulu, kenapa nyebut Roma, apa data dan faktanya oang Sunda juga telah menemukan banyak jalan menuju Roma sejak masa lampau? Kenapa gak nyebut Meksiko, Banglades, atau Ciamis?
-----

DI PENGADILAN 22 

ma Kewaman:
Dengan demikian maka kritik sastra menjadi tak penting kah, pak?

Saya:
Ama Kewaman, kritik sastra berposisi strategis dan terdepan, independen dan seimbang dengan apresiasi sastra, haha ya, seperti KPU dan Bawaslu.

Kecuali kalau paradigma umumnya kritik sastra selalu berada di dalam apresiasi sastra, itu satu lembaga belaka. Bisa mengangkat nilai-nilai, juga bisa menebas segenap kekeliruan.

------

DI PENGADILAN 23

Soni Farid Maulana:
satra Indonesia, memang bukan milik satu komunitas, tapi tersingkir dari komunitas itu kok malah meraung-raung?

Saya:
Berarti ada persoalan serius. Belum tentu karena dipecat dari komunitas. Biasanya disebut, KERESAHAN BESAR.

Bukan meraung-raung, tapi Jalak Teriak.
-----

DI PENGADILAN 24

Chie Setiawati:
Sebegitunya sih Kang Gilang Teguh Pambudi. Sudah sangat bagus sekali kah? Sampai meradang gitu! 😲😲😲😲😲
Semakin PD malah semakin lucu.

Saya:
Chie Setiawati, memang lucu. Karena ini kesaksian serius yang juga cerita. Pasti ada sisi lucunya.
------

DI PENGADILAN 25

Elly Dzarrah:
Kalau merasa bukan anak bawang,  kenapa tidak melakukan hal serupa ..
Misal mendirikan suatu komunitas dari mulai lahir,  menangis,  merangkak,  belajar berdiri,  belajar jatuh dan belajar bangun kembali.

Artinya bisa membuat atau melakukan hal yang sama sebagai bentuk kompetisi sehat dengan keyakinan saya juga 'Mampu' kok dibanding ini dan itu..  Atau 'saya ini hebat lhoo ' dari mereka..  Atau (lagi)  sebagai yang merasa lebih paham Sastra berikut sejarah dan perjalanannya seharusnya..  Seharusnya nih yaaa,  Ilmu padi dipakai (tawadhu)  dan Zuhud.

Saya:
Elly Dzarrah, Keluar dari kontek. Dalam versi lain, yang model begitu itu sudah pekerjaan saya. Dari melek sastra, berkomunitas umur SMP bahkan. Sampai detik ini. Gak mesti persis sis sis sis kan?

Yang dipersoalkan 8 puisi saya dan antologi Pesisiran yang akan saya manfaatkan untuk suatu kerja puisi. Paham Cinta?
-----

DI PENGADILAN 26:

Kurniawan Junaedhie:
“Silakan menulis puisi. Hanya baik buruknya yang menentukan orang lain, kritikus, atau pengamat. Penyair tidak punya hak menyelamatkan puisinya.” 

― Suminto A. Sayuti #AyatAyatSastra

Saya:
(Setelah Kurniawan Junaedhie ngasih jempol ke salahsatu status saya, saya mengira catatan #AyatAyatSastra itu bisa 'berkaitan', maka bekomentarlah saya).

Dibela atau tidak oleh penyairnya secara terbuka, tetap saja puisi yg bagus tidak berubah kebagusannya. Seumur-umur puisi Chairi ya begitu itu. Kalau dia dulu mau ngebelain, bagi saya masabodo amat. Hak dia. Gak dibelain juga gak apa-apa. Emang untuk dibaca orang-orang kok. Puisinya gak berubah-ubah tuh. Maju sendiri. Chairil lagi makan siang (enak-enak). Beberapa lama kemudian meninggal. Puisinya terus naik turun bukit, masuk kota-kota, bahkan titik pertempuran.

Jangan terus nanya data dan faktanya. Pertanyaan itu bisa membosankan.

Wardjito Suharso:
Tetapi boleh nggak mempertanyakan selera pembacanya?

Saya:
Wardjito Soeharso, wajib! Ini ilmu. Serius. Blum profesor hebat sebelum sampai sini.
------

DI PENGADILAN 27

Johan Kusuma:
Masih kurang hati-hati, Bapak, tahunnya masih ditulis 2018. Hehehe.... Tetap semangat, Pak!

Saya:
Johan Kusuma, itu memang puisi 2018. Saat DNP mulai mengumpulkan karya puisi-puisi dari penyair dan non-penyair. 2019 kan seleksi akhir dan rencana penetbitan buku antologinya.

Untung saya sudah mulai kebal dianggap salah berkaitan keikutsertaan dalam seleksi untuk antologi DNP.

Tapi banyak juga kata-kata yang sangat menyalahkan saya yang dihapus lagi setelah beberapa lama.

Dan tidak sedikit yang berkomentar tetapi tidak memahami atau mencermati tulisan saya.

Johan Kusuma:
Mohon maaf, Pak, berarti saya yang kurang hati-hati, kurang cermat. Sekali lagi, saya minta maaf & saya tak pernah bermaksud menyalah2kan Bapak.
---

DI PENGADILAN 28

Heru Mugiarso:
Penyair hebat tidak gampang baperan dan lebay; Tuan

Saya:
Heru Mugiarso, yang tepat, mungkin nampak baperan dan seperti lebay. Tapi ini perjuangan atas suatu keresahan besar. Kelak akan terungkap model-modelnya lewat penelusuran banyak pihak keresahan-keresahan itu. Hari ini banyak yang seperti kecanduan 'pragmatisme politik'. "Asal begini asal begitu. Oke bisa diatur".
-----

DI PENGADILAN 29

Cunong Nunuk Suraja:
Saya juga mengalami dan membuat saya merasa tua bangka. Sejak itu saya bermain-main saja dengan irama Facebook yang tidak banyak memihak. Jiks sudah mulai memihak saya akan meloncat-loncat dan bermain petak umpet semaunya.

Saya:
Dan satu hal soal antologi DNP. Sayang sekali. Seperti rilibuan catatan cinta saya yang sudah dipersiapkan, terbakar.
-----

Demikianlah sebagian kecil perdebatan yang ada di ruang sidang itu. Tetapi di sidang MK (Medsos Kita) ini sebagian komentar gak nyambung sudah dihapus sendiri oleh komentatornya, sehingga tidak bisa dimuat.

Kemayoran, 15 06 2019
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG