DINDING PUISI 11 - 20

DINDING PUISI 11

Meskipun jangan takut juga, setiap pejuang tangguh, selalu ada yang tidak menyukainya. Sebab misi penyair adalah membawa nilai-nilai universal, kesadaran dan kesaksian akan keselamatan, kesejahteraan dan keadilan hidup manusia. Sekaligus menjaga keseimbangan alam (lingkungan) dan melestarikannya. Dan itu bisa sangat mengganggu bagi sementara pihak. Sehingga disebutlah itu penentangan, yang setidaknya mengusik nama baik.

Puisi penyair, seperti puisi yang membentuk manusia-manusia yang dimulai dari diri penyairnya, dari tujuh penjuru kunci. Mata langit dan bumi. Katarsis. Tetapi selalu tidak demikian hukum-hukumnya, kata yang mengaku paling merdeka dengan caranya sambil mencuri kembang tujuh rupa. Sampai-sampai kita seperti membuka kamus, "Puisi adalah perlawanan". Bahkan, "Adalah permusuhan". Padahal ia kesetiakawanan sosial.

Tetapi puisi bukanlah peluru yang asal ditembakkan, atau kekerasan yang disebut diplomasi tingkat Dewa. Apalagi semacam pusaka memikat yang disarungkan dalam ukiran, dibalur wewangian, tetapi mengerikan. Sebab nyawa-nyawa telah mati tanpa keadilan. Dan siapapun cuma bisa terpaksa bilang, "sakti!"

Puisi yang mengawal perang, mengawal jihad di jalan Allah, tentu mata panah kedamaian sejati. Taji ilmu yang sampai, bukan forrmalitas disebut tinggi atau dipusti-pusti sangat tinggi. Puisi yang mengawal rindu dan cinta, kemanusiaan sejati yang adil dan beradab, adalah kedasyatan dendam kesumat yang dialamatkan sempurna.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Indahnya matahari membuka hari. Sesungguhnya cahaya subuh yang menerangi siang.
Sumber gambar: internet.
------

DINDING PUISI 12

Seseorang itu gak bisa disalahkan. Dia memang benar-benar sudah menganggap semacam sampah atau rongsokan ketika menjual buku-buku pelajaran anaknya yang sudah tidak dipakai, koran-koran dan majalah bekas kepada tukang loak. Meskipun di dalam buku pelajaran itu banyak puisinya. Di antara tumpukan koran itu banyak halaman puisinya juga. Termasuk tidak mustahil ada beberapa majalah sastra Horizon di antara majalah-majalah lain itu. Semua sudah dijual kiloan sebagai kertas 'tanpa isi'. Bahkan tidak bisa disalahkan juga kalau ternyata yang menjualnya adalah seorang penyair. Tidak selalu karena dia butuh duit ---yang lumayan buat beli pakan burung, tapi semua barang itu sudah dianggap terlalu memenuhi ruangannya yang terbatas.

Tapi apakah hanya karena peristiwa normal semodel itu, maka kita bisa menerima kalau puisi dicibiri sebagai karya sampah yang tidak berguna sama sekali? Sastra pada kertas buku dan koran hanya akan menyempurnakan kekejaman tong sampah, manakala tak ada tukang loak untuk menjualnya dengan sangat murah?

Di sinilah melek literasi itu sesungguhnya. Bahwa bacaan apapun, termasuk puisi-puisi, ketika terus berpengaruh positif pada seseorang atau banyak orang, minimal mendatangkan kedamaian, maka secara otomatis dan sistematis akan bekerja di tengah masyarakat manusia. Bisa berdampak lahirnya sikap untuk melestarikan puisi-puisi itu, meskipun tidak semua bukunya. Karena benar, pada waktunya kertas-kertas adalah sampah. Bisa melahirkan semangat menulis dalam bentuk sejenis atau beda karena terinspirasi yang telah dibaca sebelumnya. Bisa menjadi pesan lisan, semacam langkah lanjut dari seseorang yang telah mendapat banyak hikmah dari yang dibacanya. Dan bisa menjadi sikap dan perbuatan hidup apa saja. Sebab sukses literasi pada petani diantaranya adalah mampu bercocok tanam dan panennya sukses. Tidak harus petani itu mampu menulis buku.

Ini analogi yang arif. Ketika petani itu selesai membaca bukunya di masa lalu, dan kini sukses panennya, apakah bukunya itu sampah? Bisa jadi sebagai bendelan kertas ia akan MENJADI SAMPAH PADA WAKTUNYA, tetapi teori-teori yang telah mengubah hidupnya bukanlah sampah. Pun puisi. Meskipun ada buku puisi yang diloakkan kiloan untuk dijadikan bungkus kacang rebus, tetapi puisi tetaplah puisi. Bukan sampah. Ia selalu teriak sampai terngiang-ngiang, "Jangan tawuran!"

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Panen sayur. Sukses literasi itu ketika seseorang panen sayur, seseorang benci tawuran, dll.
Sumber gambar: internet.
------

DINDING PUISI 13

Bung, sebenarnya tidak pernah ada penerbitan buku gratis itu, termasuk untuk buku-buku puisi. Bahkan kalau satu buku komunitas biaya produksinya 15.000, untuk memenuhi pemesanan 100 anggota komunitasnya, dibutuhkan penyandang dana yang siap dengan sedekah atau dana talangan sebesar 1.500.000. Iya kan?

Tahun 1997. Di era telpon koin pinggir jalan di Bandung, saya pernah bicara dengan penerbit. Mereka bilang, "Sediain aja dananya 5 juta, Bang. Semua beres. Segalanya diurus penerbit". Dan nyatanya waktu itu saya belum maju. Apalagi pada saat itu angka itu terdengar cukup besar. Seingat saya ongkos angkot Stasiun-Cimahi masih 200 rupiah.

Tetapi beberapa tahun lalu, belum lama, waktu dapat hadiah HP Lenovo karena menang lomba nulis cepat dan spontan, saya ketemu dengan seseorang dari penerbit di Jakarta yang ngasih alternatif. Dia berbisik, "Dengan 10 juta bisa. Tetapi gak sampai 2 juta juga masih bisa. Bisa diatur. Buku beres". Intinya, dari semua penawaran dan model penerbitan buku komunitas itu, semua gak ada yang gratis. Justru kita berkesimpulan, "wajar demikian". Mungkin yang ngaku ada gratisan, ketika ada yang nalangin penerbitan buku antologinya. Padahal itu artinya pakai uang produksi juga. Gak gratis. Kalau biaya produksi ditanggung penerbit, biasanya dengan hitungan matang sisi komersilnya, sebab jika tidak demikian penerbit itu akan mundur. Sebab hasil penjualan akan menutup itu, bahkan bisa memberi royalti kepada penulisnya.

Tapi oke. Yang ini kita sebut saja gratis juga. Setidaknya serupa permainan manis nan cantik. "Kirimkan naskahnya. Kami urus semuanya. Setelah terbit kami kabari. Tapi minimal harus kita sepakati sekarang, mau ambil berapa buku? Pesan satu buku pun tetap kami layani". Benar-benar 'gaya marketing' yang mendesak dan cerdas. Tetapi dengan cara ini, setidaknya simpul-simpul penerbitan bisa dilalui. Yang penting puisi-puisi bisa terbang sentausa, sukaduka, ke ufuk-ufuk kepastian, memberi damai dan 'bekerja' di seluruh penjuru tugas.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Di perpustakaan. Para pembaca membeli buku tanpa uang, tapi dengan minat baca.
Sumber gambar: internet.
-----

DINDING PUISI 14

Ya. Kalau puisi gak kerja di kelas, di komunitas, di panggung, di multi-media, juga di kertas-kertas, gak akan ada guru sastra lagi yang setia mengajarkan puisi.

Kalau puisi gak kerja di kelas, di komunitas, di panggung, di multi-media, juga di kertas-kertas, gak akan ada pembina komunitas puisi di setiap belokan jalan, gang-gang, dan pinggir kali yang konsisten di tengah masyarakat.

Kalau puisi gak kerja di kelas, di komunitas, di panggung, di multi-media, juga di kertas-kertas, gak akan ada aktivis seni yang siap menyemarakkan demonstrasi, panggung, dan lomba puisi di mana-mana.

Kalau puisi gak kerja di kelas, di komunitas, di panggung, di multi-media juga di kertas-kertas, gak akan ada 'motivator' yang lihai memasukkan baca puisi dan sisipan virus nilai puisi ke dalam berbagai kegiatan formal maupun non-formal.

Kalau puisi gak kerja di kelas, di komunitas, di panggung di multi-media, juga di kertas-kertas, gak akan ada manusia-manusia yang jago dan sensitif menafsir kata dan kalimat bernas seperti yang dilakukannya kepada puisi.

Kalau puisi gak kerja di kelas, di komunitas, di panggung, di multi-media, juga di kertas-kertas, gak akan ada pencerahan dan kehalusan budi-pekerti manusia gara-gara syair dan lirik lagu bagus yang dihembus angin kehidupan.

Kalau puisi gak kerja di kelas, di komunitas, di panggung, di multi-media, juga di kertas-kertas, gak akan ada lagi penyair. Punah! Kecuali sempat langka dan dilindungi di suaka marga-penyair, lalu selamat.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Peta angin. Apa yang harus berhembus kemana?
Sumber gambar: internet.
------

DINDING PUISI 15

Itu maksudnya. Harus hati-hati menempatkan isu puisi dan kepenyairan di tengah sliwar-sliwir pemberitaan senibudaya secara umum. Kalau gak, puisi dan kepenyairan justru terus dipinggirkan oleh "kaum keras kepala" yang sok muisi padahal sedang konsisten merugikan dunia besarnya sendiri.

Di Indonesia saja, ada berapa banyak pencipta lagu? Dari lagu dangdut dan pop sampai keroncong. Terus dari jumlah yang entah itu, berapa orang yang pantas disebut paling pencipta lagu? Ada berapa banyak penyanyi? Dari penyanyi lagu Panturaan sampai pencipra lagu jazz. Lalu siapa yang pantas dimahkotai paling penyanyi?

Tentu jawabnya sederhana, kalau mau nyipta ya nyipta sajalah. Yang sebaik dan sebagus mungkin. Kalau mau nyanyi ya nyanyi sajalah, sebaik dan sedasyat mungkin. Begitupun di dunia puisi dan kepenyairan. Cukup lahirkan puisi, jadilah penyair terbaik yang bermanfaat bagi hidup. Itu saja.

Perdebatan ini puisi dan itu belum atau bukan, sudah ada tempatnya. Ada cara dan adabnya. Jalan terus saja. Perdebatan, ini penyair yang sangat populer dan yang itu tidak terlalu populer, yang ini berpengaruh dan yang itu sepi-sepi saja, sudah ada jalan-jalannya. Maju sajalah terus untuk keselamatan, kesejahteraan dan keadilan hidup manusia yang dirahmati Allah. Hiburlah hati-hati yang mesti dihibur. Hati-hati dalam kata ulang dan hati-hati sebagai istilah.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Bengkel las di sana-sini. Hakekat kerja pencaharian dan kerja sosial akan bermuara pada titik tumpu yang sama.
Sumber gambar: internet
------

DINDING PUISI 16

Bagus. Tetap semangat menemani pembaca dan pencinta puisi Indonesia, setidaknya di sekeliling kita, dan di sejangkau pengaruh kita.

Bukankah kita seringkali sangat menikmati beras paling enak ketika dimasak, tanpa kita tahu petani mana yang menghidangkan nasi di meja kita, pagi, siang dan malam, setiap hari? Kadang kita baru tahu kalau ada yang bilang, "Itu beras panen dari kabupaten kita". Atau ada yang bilang, "Itu beras unggul dari kabupaten sana".

Masa bodoh puisi dan penyairnya akan dinikmati pengaruh positifnya oleh suatu daerah tertentu saja. Toh siapa yang serba tahu kalau pengaruhnya ternyata sampai ke seluruh penjuru Nusantara. Hanya Allah saja yang catatannya paling tepat dan lengkap. Bukankah begitu?

Bahkan saya pernah bilang tentang sesuatu yang sempat jadi polemik, bukankah sastra Sunda sejak masa silam sudah berpengaruh ke Jerman (maksudnya ke berrbagai belahan dunia, termasuk Jerman), sejak 'diajarkan' oleh Ki Sunda? Nah, selamat menemui Ki Sunda juga.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Jualan beras. Kita syukuri dan nikmati manfaatnya.
Sumber gambar: internet.
------

DINDING PUISI 17

Kan seperti saya bilang kepada Pak RgBagus Warsono, kalau Buto Rotadenawa yang kisahnya memikat hatinya itu dibikin antologi puisi, pasti dikomentari oleh Si Buto, "Aku gak nulis!" Sebab yang nulisnya para penyair dan penggiat sastra yang anti buto jahat. Pasti isinya bakal mirip-mirip mantra atau doa pengusir syetan juga. Setidaknya pada kata, baris atau bait tertentu.

Maka ketika penyair RgBagus dari Lumbung Puisi berniat bikin antologi Buto Rotadenawa, saya bilang, "Itu bagus. Spirit ngusir syetan, jin jahat, gedruwo itu hebat dan mulia. Apalagi ini bernilai penradisian senibudaya luhur. Aset nasional. Tetapi karena penulisnya nasional, harus cukup sosialisasinya. Dan kelak, teks sastranya, baik dalam bentuk antologi puisi, cerpen, novel, bahkan buah reportse sastra lisan dari masyarakat, pasti akan jadi data sejarah yang penting selain berfungsi membina ketangguhan mental, gak mau jadi syetan masyarakat. Suatu kearifan dan kecerdasan lokal yang tinggi.

Itu sebabnya pada puisi saya yang tertolak dari antologi Pesisiran, DNP, saya sudah nulis Nyi Roro. Karena ada yang dimaksudkan dan ada bagian yang dibela. Pake pakem. Itu mitos tradisi yang selalu ingin diketahui banyak orang. Baik secara nasional maupun internasional. Sudah seharusnya bernilai manfaat besar. Demikian pun kisah Buto Ijo 'sing raijo-ijo' (yang gak hijau-hijau). Menurut saya, bahkan pantas dibuat iklan kuliner. Dia baru hilang jahatnya kalau sudah minum sirup, suplemen, obat, makan roti, ngemil kue, atau makan daging ayam merk tertentu. Haha. Padahal di dalam minuman dan makanan itu bisa disisipi doa penolak bala. Penolak laku jahat. Kebalikan dari itu adalah tradisi ngarak Buroq. Itu malah mengarak jati diri kemuliaan. Manfaat-manfaat.

Akhirnya kita selalu melihat, menemui, bahkan membuat peristiwa. Puisi yang bekerja itu. Salam satra.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Tradisi ngarak (ngusir) Buto Rotadenawa yang dilakukan oleh Ulama dan santrinya.
Sumber gambar: akun FB RgBagus Warsono
------

DINDING PUISI 18

Pengalam puitik seseorang dengan orang lain dalam menulis puisi, bahkan jauh sebelum itu, ketika mendapat sir atas rangsangan kenangan atau peristiwa tertentu yang bisa mengristal menginspirasi lahirnya sebuah puisi secara kuat, tentu bisa sangat berbeda. Jika satu orang tertentu lebih tertarik pada ros yang lain lebih enak menyebut anggrek. Tapi keduanya pada tataran nilai dan universalitas sastra bisa saling memaklumi. Saling mengerti.

Pengalaman puitik itu juga dialami oleh  pembaca atau penikmat puisi. Baik ketika menginterpretasikan hal-hal menarik dari puisi yang ia baca, atau ketika tergiring pada sesuatu yang tiba-tiba terfikirkan olehnya. Sebab di sini letak bedanya. Pada pembaca pengalaman puitik itu tidak untuk menjadi penyair, orang yang bikin puisi, tetapi semata-mata untuk menikmati dan menyampaikan pengalamannya di depan puisi-puisi. Terutama untuk menjadi hikmah-hikmah yang disyiarkan. Dari sinilah banyak lahir pembaca puisi handal (artis) dan aktivis literasi.

Itu sebabnya bagaimana mungkin pengalaman puitik yang melahirkan sikap saling memaklumi itu memasuki wilayah pertikaian bumi langit? Misalnya ketika satu penyair anti perusakan hutan, sementara yang lain, meskipun berlindung pada istilah pemanfaatan hutan, sesungguhnya justru setuju hutan itu makin rusak.

Maka ada adab yang menarik. Sebagai satu contoh soal pembukaan perkebunan kelapa sawit. Di satu sisi penyair pro-aktivis lingkungan yang anti deforestasi. Itu tema besar. Di sisi lain ada penyair pro pemanfaatan lahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang berparadigma kesejahteraan rakyat. Kedua hal ini harus berada di satu titik temu, sebab tidak mungkin kesejahteraan dalam hal kebutuhan pokok masyarakat membunuh kesejahteraan dalam hal kebutuhan keseimbangan alam untuk kehidupan? Rasa yang melingkupi titik temu inilah yang mendatangkan pengalaman puitik yang normal. Apakah anda jadi tertarik untuk menengok ke soal politik?

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Dunia kelapa sawit. Ada puisi tentang bentangan indah hijaunya, ada puisi teriakan hutan yang mengingatkan.
Sumber gambar: internet.
------

DINDING PUISI 19

Untungnya bisa membelahdiri pakai topeng KalIjaga. Jadi presiden menulis puisi lewat penyair-penyair di tangan kanannya. Dan tidak perlu ribut soal tangan kiri. Tangan kirinya sidang pembaca. Apalagi buat saya, gak suka nulis kelompok kanan dan kelompok kiri. Karena sering dibuat gak ngerti oleh para komentatornya. Yang saya tahu cuma satu, penguasa hidup ini Yang Maha Mulia, Allah. Gitu saja. Bahkan yang ngaku atheis, entah gimana ceritanya, aneh dan lucu juga, dia percaya bahwa kemuliaan hidup ----tangan Yang Maha Mulia---- itu berkuasa. Bahkan ada yang sadar, kegelapan bukanlah musuh Tuhan, karena gak sebanding. Sebab yang disebut terang sempurna itu tidak gelap. Kegelapan adalah hukuman Tuhan bagi yang menginginkannya. Tapi awas, presiden tidak boleh pake topeng perampok yang dulu-dulu disebut topeng Kalijaga juga. Itu fitnah. Hoak jadul.

Maka saya berulang kali menulis di media sosial biar dibaca orang, bahwa pembiaran oleh penguasa atas segala apapun berarti kebijakan prmerintah. Kelakuan presiden. Sehingga alangkah dosanya kalau penguasa membiarkan kelakuan maksiat warganya. Tetapi pada saat yang sama pemerintah dituntut super cerdas, sidik dan amanah, jangan sampai dalam debat kusir antara maksiat atau bukan malah melakukan keberpihakan yang berbahaya. Sebab pada tataran tafsir, dua kelompok bisa berbeda pendapat tentang halal haramnya sesuatu. Sebut saja satu contohnya, soal tari tradisi yang eksotik itu dan kebaya tanpa kerudung itu.

Puisi-puisi yang dibiarkan --termasuk yang sarat kritik--- adalah juga kalimat pemerintah. Bahkan berfungsi sebagai cambuk diri bagi penguasa. Ini pakem politik kebudayaan. Kecuali ketika pemerintah melalui aparatnya sedang menunggu sampai waktunya tepat untuk menindak yang bukan puisinya. Asal tidak bertindak otoriter yang salah, karena ini juga sering terjadi di muka bumi ini.

Kelakuan anak-anak nakal yang sangat meresahkan, yang sedang diuber-uber aparat itu, jelas bukan kalimat pemerintah, sebab diksi dan narasi pemerintah ada di pihak yang sedang nguber-nguber. Memang begitu. Lalu bagaimana mungkin puisi presiden pada topeng penyair berisi syair-syair jahat?

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Jualan topeng. Pertanyaannya, mengapa topeng dijual? Apakah bagian dari politik kebudayaan?
Sumber gambar: internet.
------

DINDING PUISI 20

Apa salahnya? Puisi-puisi cinta, persahabatan dan tema-tema keluarga memang sarat perasaan yang dalam. Betul itu. Dulu waktu kelas 1 SMA cerpen saya pertama kali dimuat koran Jakarta. Ada yang melatari proses kreatifnya. Yaitu sebuah prinsip, nulis bagi orang yang sudah dipilih Tuhan itu gampang. Saking gampangnya saya bikin eksperimen bikin novel seminggu selesai memakai mesin tik pinjaman. Sayang bobot temanya 'kurang gila'. Jadi saya lupakan. Tumpukan kertasnya hilang meskipun bikin puas. Saking gampangnya lagi saya sempat punya kesalahan sejenak, yang harus saya istigfari. Saya bilang, kalau mau bikin berbagi senyum atau bertatapan mata penuh kasih, tulis aja. Mau bikin tokohnya sakit atau kecelakaan, tulis aja. Mau bikin delapan lembar atau 12 lembar atur aja. Kalau perlu 'panjang-panjangin' biar muter-muter jadi 100 halaman. Mau bikin puisi model apapun tentang apapun, tumpahkan saja. Akhirnya saya tarik nafas dan bilang, pake perasaan dan mata batin yang tajam adalah keutamaan.

Tapi jujur, prinsip 'nulis itu gampang', tidak pernah berbanding lurus dengan jumlah tulisannya. Sebab penyair atau penulis yang baik tentu tidak sedang obral tulisan. Tetapi membaca ketepatannya. Meskipun akhirnya ada juga penulis yang sangat produktif. Bahkan seperti selalu siap nerima pesanan nulis untuk beberapa koran atau majalah tiap minggu. Dan saya tidak di situ. Saya sibuk nulis naskah berita setiap hari untuk kepentingan siaran. Untuk puisi saya menulis, membacakannya di panggung dan di radio di sela-sela membaca puisi-puisi kiriman, lalu didokumentasikan, lalu sebagian besar hilang. Sebagian masuk berbagai antologi bersama dan ada yang jadi antologi puisi sendiri.

Soal cinta dan perasaan itu mengingatkan suatu hal. Saat nyiapin buku, 100 Permainan Puisi Pramuka, di halaman ke 30 saya menulis, perlunya Pramuka diajari nulis puisi cinta yang sarat perasaan itu. Oke kan? Bahkan berpuisi yang indah dan merayu itu bagian dari Tarekat 30, maksudnya percaya diri. Sehingga kelak buku ini perlu dibaca para guru, pembina Pramuka, dan anggota Pramuka. Tidak cuma Penggalang dan Penegak di sekolah-sekolah, tetapi juga aktivis Satuan Karya dll.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Pesiden Jokowi dan Gerakan Pramuka. Mengapa sejak remaja kita suka baca cerita cinta?
Sumber gambar: internet.
-----

Kemayoran, Sabtu, 06072019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG