DINDING PUISI 101 - 110

DINDING PUISI 101

Pernah menggelar atau terlibat dalam kepanitiaan seminar? Dari sini awalnya. Dalam acara ini sudah lazim dibagikan makalah dari para narasumber kepada segenap peserta. Kalau waktu memadai dan alokasi dananya ada, biasanya makalah dari beberapa narasumber itu disatukan lalu ditambahi berbagai tulisan pengantar dan penjelas dari panitia, lalu dicetak menjadi sebuah buku. Tentu lebih praktis dalam proses pembagiannya, dan lebih nyaman penyimpanannya di rak buku.

Sebagai orang yang beberapa kali terlibat kepanitiaan seminar, suatu hari saya bahkan pernah mengusulkan kepada teman panitia, sebaiknya makalah seminar kewirausahaan ---saat itu tentang usaha beternak jangkrik dan menanam jamur, sebaiknya dibukukan. Saya tim panitia sekaligus moderator saat itu. Tapi karena saran saya telat, tidak ada alokasi anggaran untuk itu. Padahal buku jangkrik dan jamur itu selalu menarik. Apalagi sejak taman kanak-kanak kita sudah biasa berfantasi hidup di rumah jamur atau di rumah pohon.

Perihal mencetak buku dalam jumlah terbatas juga terjadi di Komunitas Sastra. Saya sendiri beberapa kali membuatnya. Lalu beberapa teman dari komunitas lain yang datang kepada saya juga sempat memperlihatlan beberapa buku kepada saya. Cetakannya bagus. Sangat rapih. Tidak kalah dengan buku-buku di toko buku. "Nyetak berapa banyak?" Tanya saya suatu ketika. Dia jawab, "Gak banyak. Cuma beberapa saja". Itu yang sering saya sebut buku terbitan komunitas yang dicetak terbatas dan tidak sempat mengurus ISBN-nya. Bahkan rata-rata dicetak kurang dari 100 buku.

Yang mengagumkan, buku-buku itu suka dibawa oleh beberapa orang dalam kegiatan-kegiatan sastra. Mereka membacanya kalau ada panggung puisi atau arena puisi. Sehingga saya menyebutnya, isi buku itu masih terus bekerja dari panggung ke panggung. Mungkin sampai kelak kertas-kertas pada buku itu mulai rusak, sobek sana sobek sini, atau ada halamannya yang coplok dan terbang dibawa angin saat baca puisi. Bagus. Sempurna. Penyutradaraan alam yang membekas. Mengingatkan kita kepada nilai sejarah kertas sobek.

Kemayoran, 04092019
------

DINDING PUISI 102

Yuk ngaji buku bertema syiar Wali Songo. Kali ini kita mulai dengan penekanan pada kehadiran dan peredaran bukunya bukan pada isinya. Suatu waktu, saya merasa bangga bisa membaca buku Wali Songo yang bentuknya tipis dan ulasannya singkat-singkat. Lebarnya seukuran buku tulis. Bagi saya itu sangat menghibur dan memuaskan, sebab secara spiritual saya butuh kisah mereka. Bayangkan kalau saya tidak pernah membacanya. Pasti terasa ada yang kurang. Dan saya akan kehilangan pengalaman itu ketika berkumpul dengan sesama remaja.

Pada suatu ketika saya pergi ke rumah saudara. Di sana saya dapati buku Wali Songo berukuran kecil, seukuran novel Ko Ping Ho. Saya baca lagi sampai tamat. Lalu beberapa waktu kemudian saya pergi ke rumah teman, di sana ada buku Wali Songo versi tebal dengan kualitas kertas yang bagus. Waduh, senang sekali melihatnya. Sayapun membacanya lagi. Meskipun di TV pun sudah sering nonton filmnya. Selalu penasaran, apalagi pada bagian-bagian tertentu selalu ada yang diceritakan pada satu buku tetapi tidak pada buku yang lain. Maklum, penulisnya beda-beda.

Dari pengalaman itu saya menguji rasa syukur saya. Kalau dalam seumur hidup saya cuma ketemu dengan satu buku saja tentang Wali Songo, alangkah bersyukurnya saya. Apalagi kalau bisa baca buku Wali Songo dari 10 penulis, dari 10 penerbit yang berbeda. Sebab dengan satu buku saja, berarti rahmat yang besar untuk saya. Ibarat mau naik kereta, saya tidak ketinggalan kereta.

Lalu kita bayangkan buku-buku antologi puisi. Ketika suatu hari saya dkk menerbitkan buku antologi puisi remaja bertema anti-narkoba, saya berharap selain para penulisnya, orang lain pun bisa baca buku itu. Atau setidaknya dengar saat isi buku itu dibaca di berbagai pangggung. Sehingga saya bisa berkata, "Bersyukurlah anda, sebab kebutuhan anda akan buku anti-narkoba telah terpenuhi". Tentu lebih bersyukur lagi kalau di waktu-waktu lain mereka bisa membaca buku-buku antologi puisi anti-narkoba yang ditulis oleh komunitas-komunitas lain. Sebab yang rugi itu kalau seumur hidup kita tidak pernah baca buku tentang anti-narkoba.

Saya merenung. Rejeki itu memang sudah dibagi-bagi.

Bersyukurlah kalau anda yang di Aceh bisa membaca buku antologi puisi anti-korupsi yang diterbitkan oleh penerbit di kawasan Sumatra. Sementara yang di Kalimantan bersyukurlah kalau bisa membaca buku anti-korupsi yang terbit di wilayah Kalimantan. Pun yang di manapun. Meskipun kita syukuri juga buku-buku anti-korupsi yang bersliweran dari penerbit manapun. Lintas batas. Sebab intinya, kita butuh itu. Minimal satu buku mesti kita baca.

Saya benar-benar merenung. Orang yang dapat satu buku yang diakuinya memang layak dia baca, bersyukurlah ia. Sebab rejeki itu sudah dibagi-bagi. Syiar kebaikan apapun lewat buku itu memang sesungguhnya sudah diciptakan Allah SWT membentuk suatu jaringan yang sistematis. Tinggal kita bina supaya tidak punah, supaya terus menguat jaringannya.

Kemayoran, 04092019
------

DINDING PUISI 103

Ini jelas pertanyaan menarik. Bagaimana kalau sebagian guru bahasa dan sastra, dari semua jenjang pendidikan, bahkan guru PAUD-TK yang senang nulis sastra merasa penyair? Tentu kita bebas menjawab, jangankan cuma itu, bahkan kalau seluruh guru mata pelajaran apapun merasa penyair semua, itupun boleh. Kenapa dipermasalahkan? Tetapi setidaknya, meskipun kita mulai dengan berandai-andai dari guru bahasa dan sastra, kita akan melihat ruang yang sangat besar. Badan yang gemuk dan subur. Artinya, mustahil di satu Kabupaten hanya ada 20-30 guru yang mengajarkan bahasa dan sastra Indonesia, sebab selain jumlah SMP-SMA dan yang sederajat itu banyak, guru-guru SD dan sederajat pun merasa mengajar bahasa dan sastra. Nah, kalau mereka merasa penyair, berapa jumlahnya dari Sabang sampai Merauke? Hebat benar.

Kita tidak dulu bicara popularitasnya. Itu nomor ke sekian. Bolehlah nomor ke tujuh. Sebab penyair itu adalah mereka yang bersyair secara konsisten dan memberikan karyanya untuk diapresiasi publik. Bisa melalui panggung puisi, surat kabar dan majalah, buku puisi, pertemuan komunitas, atau media-media lain. Ini akan menjadi sudut pandang yang fair dan tidak ribet.

Justru yang disayangkan, mustahil untuk demikian. Sebab tidak bisa disalahkan, rata-rata guru bahasa dan sastra lebih fokus kepada prinsip-prinsip yang tertera pada kurikulum. Di situlah tanggungjawab besarnya. Mengajar dan mendidik siswa. Adapun yang betkaitan dengan sepak terjang kepenyairan, mereka mempersilahkan hal itu kepada yang merasa para penyair saja. Tetapi justru di sinilah letak kelapangannya. Letak berbagi tugasnya. Meskipun dunia kepenyairan tidak pernah menolak, apalagi mengusir siapapun yang merasa penyair, bahkan sluruh umat manusia sekalipun. Negara tidak rugi dengan itu. Bulat bola bumi tidak akan penyok karena itu.

Jadi sejak kapan sastra yang beradab itu mencipta kondisi yang tidak kondusif? Alih-alih menyemai persaingan sehat, malah bikin perseteruan sesat setiap hari? Kalau itu sampai terjadi, di negri apa namanya?

Terakhir saya mau buka rahasia khusus dari kampus. Ini bab cara ketawa ala dosen sastra. Kalau ada dosen sastra yang juga penyair, bahkan penyair terkenal, rumah, mobil dan sepeda motornya belum tentu didapat dari honor puisi. Tapi nabung dari uang gaji. Mungkin sebagian cipratan warisan. Sama seperti tukang sayur di pasar yang juga nabung setiap hari sambil nulis puisi. Haha.

Kemayoran, 05092019
------

DINDING PUISI 104

Pernah ada khutbah Jumat yang diselipi puisi, atau setidaknya sekalimat saja dari sebuah puisi? Saya pernah mendengarnya, meskipun bukan dari syair penyair Indonesia. Lebih tepatnya penyair Arab. Tetapi saya lupa kalimatnya. Cuma ingat kuranglebihnya dikatakan begini, "Seperti terdapat pada sebuah syair ...".

Saya curiga atas empat hal mengapa di khutbah-khutbah sangat jarang ada 'cukilan' syair? Pertama, para khotib tidak terlalu hafal potongan-potongan syair penyair nasional Indonesia. Kedua, setidaknya sebagian dari para khotib itu tidak terlalu suka membaca buku-buku puisi Indonesia, meskipun sempat mempelajarinya di sekolah-sekolah. Ketiga, para khotib itu mungkin kurang percaya pada ke-Islaman penyair muslim Indonesia. Keempat, para khotib itu cuma jaga-jaga, sebab masyarakat banyak yang menganggap penyair bukan orang soleh seperti para ustad. Tentu saja keempat kecurigaan ini baru pintu awal untuk mulai mencermatinya lebih lanjut. Dan semoga ini dikatagorikan kecurigaan yang husnuzon. Haha.

Tapi menarik kan kalau diangkat jadi materi diskusi di komunitas sastra dan di tempat pengajian?

Terlepas dari kenyataan itu, sesungguhnya saya ---mungkin juga anda--- yang sama-sama peduli sastra Indonesia, bisa merasa lumayan terobati ---walaupun nampak belum terpuaskan benar--- ketika para khotib itu bisa mengambil saripati dari syair-syair Indonesia. Misalnya dengan mengatakan, "Seperti pada syair atau pantun: semakin tinggi pohon menjulang, semakin terasa tiupan angin kencang". Meskipun kita garuk-garuk kepala gak tahu, itu syair dari puisi apa, buku mana, penyairnya siapa, atau mungkin bikinan dia secara mendadak? Tetapi yang jelas itu bisa membuka aura sastra, sehingga Jamaah Sidang Jumat atau masyarakat pengajian berada tidak jauh dari syair. Tidak anti syair. Lumayan lah.

Kemayoran, 06092019
-----

DINDING PUISI 105

Puisi dan Sabtu? Puisi dan Malam Minggu? Tanpa ada yang menggurui sudah menjalin persetubuhan hidup abadi. Bahkan tak mengenal usia. Dulu cuma di kertas yang dikirimkan cinta, setelah mulut bosan menceracau kepada bintang, bulan, dan pintu kamar. Kini bisa lewat apa saja, termasuk yang serba cepat. Sebab Sabtu dan Malam Minggu sudah semakin banyak jalan-jalannya, meskipun sana-sini penat dan banyak gangguannya.

Bahkan pemerintah tidak bisa secara resmi apalagi semena-mena menutup jalur puisi pada Sabtu dan malam Minggu. Bahkan, grup Dinding Puisi di media sosial facebook ini diluncurkan kepada semesta pada Sabtu Malam Minggu, 22 Juni 2019 pukul 18:33. Maka di Sabtu September ini, saya menulis 12 puisi ini:

1
MENJUAL CINTA

aku menjual cinta pagi
kepada langit senja
yang sama-sama hujan
airmata

2
GERSANG DI PUNCAK PILU

jangan tanya gersang di puncak pilu
sebab ia rindu randu sepanjang waktu
sepanjang jalan menantimu

3
KEMBANG

aku datang, Cinta
aku bawa kembang
bukan bawa layu

4
SYAIR CINTA

tujuh kuburan keramat
kubaca nama-namanya
kuharap ada kenangan keramat
lengkap dengan syair cintanya

5
MENGEMIS CINTA

aku laki-laki
dan aku menangis
sejati mengemis cinta

6
AIRMATA WASIAT

seluruh waktu luruh
tubuhku sudah cair
Adam dimahkotai alamat-alamat cinta
menderai airmata wasiatnya

7
DENYUT JANTUNG DAN CINTA

siapa mau balik lagi padaku
hatimu yang tercecer luka-luka
yang berabad-abad bangkit
mempertahankan
denyut jantung dan cinta

8
SEHANGAT APA HATI

sewangi apa semilir
selembut apa larut
sehangat apa hati
kalau bukan rindu yang hadir
mengurai gigil kabut
menyetubuhi cahaya matahari

9
AKU TELAH SAMPAI

aku telah sampai di airmatamu
dermaga yang sepi dari dulu

10
SEPTEMBER

apa kau diamkan saja
September bercerai
depan pintu?

11
HATIKU JUGA WANITA

anak gadisku sakit dan datang
kupeluk erat, kuciumi rambutnya
lalu kuajak bersimpuh di kaki neneknya
sambil kubisikkan, "Setidaknya,
hatiku juga wanita"

12
SARU

sudah!
sudah!
Sabtu malam Minggumu mengganggu!
Saru! Gak seru!

Kemayoran, Sabtu, 07 09 2019

Kemayoran, 07092019
------

DINDING PUISI 106

Aneh kan? Sebagian orang jaman now takut menjual airmata. Dibilangnya, "Ngapain jual kesedihan, semestinya yang dijual itu optimisme?" Sementara sebagian yang lain malah terjebak ke dalam lembah kesedihan yang tak terkira, sebagai korban jualan airmata yang salah. Sebut saja, tema sinetron yang airmatanya malah menggiring pada prinsip hidup yang salah kaprah. Juga tema puisi dan lirik lagu, yang alih-alih menemani hati yang sedang sengsara malah semakin menemani yang sengsara itu terpuruk. Temperamental. Dan selalu salah bersikap. Ya, prustasi. Itu namanya prustasi yang benar-benar ditemani, tetapi bukan dalam pengertian dihantarkan ke bukit lapang. Selain itu, ada juga yang sepintas membawanya membubung naik, pakai sayap malaikat segala gayanya, tetapi sesungguhnya sedang memenjarakannya pada airmata prustasi yang baru. Kasihan kan?

Saya pernah dengar waktu musim naik bis PPD tahun 90-an di terminal Cililitan Jakarta ataupun di termial Bekasi. Beberapa pengamen dan penjual dagangan asongan di situ suka menyindir Iwan Fals dan Rhoma Irama. Mereka bilang, "Berita hangat hari ini masih seputar Rhoma Irama, si tukang kawin yang banyak ngomong agama, dan Iwan Fals yang sok jual-jual kemiskinan biar lagunya laku". Silahkan anda cermati peristiwa silam itu. Tetapi saya mau katakan dengan jujur, menjual airmata, termasuk airmata kemiskinan, ketika itu adalah sikap baik yang mencerahkan, kenapa tidak? Kecuali sebaliknya.

Bahkan ketika layar TV Indosiar berkali-kali menayangkan penyanyi campursari, Didi Kempot yang disebut-sebut sebagai sosok penyanyi dan pencipta lagu fenomenal broken heart, saya malah terinspirasi untuk menayangkan satu video lagunya di akun media sosial FB, yang saya ambil dari youtube, berjudul Minggat, yang kadang disangka orang berjudul Sri. Lalu saya kasih komentar spektakuler, "#DICARI! Kepada seluruh penyair, seniman, dan bangsa Indonesia. Tolong bantu saya. Di mana Sri? Tuku trasi ra bali bali (Beli terasi kok gak pulang-pulang)".

Dari uraian singkat ini nampaknya kita bisa membedakan dua hal. Pertama, mana tema-tema airmata yang menyayat hati tetapi mencerahkan? Atau bisa kita sebut juga, tema airmata optimis. Kedua, mana tema-tema air mata yang semakin memenjarakan manusia pada keterpurukan, bahkan menyesatkannya menjadi prustasi.

Terakhir saya ingin tegaskan, bahkan seluruh Nabi Allah, termasuk nabi akhir jaman, Rasulullah SAW, sepanjang hayat hingga menjelang mangkatnya berurai air mata, sebab banyak hamba Allah yang ia titipkan dengan segala cinta, terutama yatim-piatu, fakir-miskin dan kaum duafa. Tentu, itu airmata yang sangat mencerahkan hidup manusia seluruhnya. Subhanallah.

Kemayoran, 09092019
------

DINDING PUISI 107

Menghibur itu tanggungjawab, begitulah kata seniman panggung hiburan. Sehingga ia akan semaksimal dan seoptimal mungkin membuat para penonton terhibur. Pertanyaannya yang menggelitik, di mana letak menghiburnya lagu-lagu sedih dan kritik sosial? Di sinilah letak kedewasaan dan kearifan masyarakat seni membaca tanggungjawab menghibur itu. Bahwa pada lagu sedih dan lagu bertema kritik sosial ada jiwa-jiwa yang dilapangkan, dicerahkan. Tidak digelap-sesatkan.

Analoginya pada argumentasi seni itu indah. Bayangkan, suatu waktu kita menyaksikan adegan teater, seseorang korban kekerasan sedang ditembak atau dipukul. Atau di waktu lain kita di pameran lukisan, menyaksikan sebuah lukisan tentang sesosok manusia kurus kering diikat tambang lehernya sebagai perlambang keterkungkungan dan ketersiksaan. Maka, di manakah letak indahnya? Lagi-lagi, indahnya terletak pada ruang pencerahannya. Pembelaannya pada nilai-nilai universal kemanusiaan.

Pun demikian pada puisi, pada syair. Sebagai puisi yang berupa tulisan untuk dibaca, atau berupa pembacaan sebuah puisi yang kita dengar, apapun temanya, bagaimanapun cara mengekspresikannya di panggung, harus padat berisi pencerahan yang lahir dari kekuatan tanggungjawab hidup. Sehingga ini sekaligus penjelas, di mana posisi tanggungjawab penyair dan seniman pembaca puisi? Sebagai pembeda antara seniman yang bertanggungjawab dan yang sebaliknya. Atau pembeda, mana seniman mana bukan?

Kemayoran, 13092019
-------

.DINDING PUISI 108

Benar, sebuah puisi yang bermaksud menyindir atau yang semisal membuka kedok keangkuhan bisa dibuat dalam pernyataan 'aku'. Kalimat semisal, "karena hidup ini permainan, kumain-mainkan kamu, sebab salahmu kalah dalam permainan. Menipu adalah keahlian, sebab yang tertipu tercekik kebodohannya sendiri", menunjukkan bahwa aku lirik adalah figur 'penguasa keras kepala' yang tak mau tahu, sebab manusia-manusia di hadapannya adalah kekalahan di depan ketidak beradabannya.

Pada grup Dinding Puisi di media sosial FB, dalam seri motivasi Orang Radio Indonesia saya telah memasukkan puisi pendek tahun 2017, sbb.:

CERITA DALAM PUISI PENDEK DI RADIO

Ketenangan yang bodoh itu seperti anak punai dicium elang. Ciuman pertama serupa cinta induknya. Sukacita di dalam maut. Sangat menyakitkan. Bahkan srigala pecundang teriak-teriak mengingatkan. Tapi apa daya anak punai.

Kemayoran, 12 09 2017
-----

Dapat diperhatikan, jika sosok Elang pada puisi tersebut yang sedang 'meng-aku' dalam redaksi puisi yang lain, maka akan muncul keangkuhan aku, kesombongan dan kekejian Elang yang punya ciuman kesumat yang mesra pada ujung paruhnya, dan punya sentuhan rindu yang memilukan di ujung cakarnya.

Tetapi model puisi demikian akan sangat terasa garis tegas sindirannya, atau gerak pusaran kritiknya. Meskipun seperti samar. Pada dua lagu Iwan Fals yang berjudul Bento dan Bongkar, yang lebetulan berada pada satu album kaset yang sama, terdapat perbedaan yang mencolok. Pada lagu Bento terdapat aku lirik kesombongan itu, sedangkan pada lagu Bongkar terdapat sosok aku lirik yang harus membongkar keserakahan dan kesewenang-wenangan.

Yang justru sering kita persoalkan adalah, para penulis baru yang alih-alih melalukan sikap anti terhadap kecerobohan dan kejahatan, malah dia sendiri terjebak selalu menjadi aku lirik yang sedang ceroboh dan sesat, dan itu dirasakan sebagai ketetapan hati penulisnya. Bahkan ketika menulis kalimat, "aku tak berdaya", bukan wujud kecilnya kita dalam kuasa agung Allah, atau sedang mengilustrasikan suatu sosok tertentu belaka, melainkan dia sedang jadi pecundang, manusia kalah yang tak berguna sama sekali di muka bumi ini. Yang ujung-ujungnya mengantarkan pembaca menuju ruang yang bertuliskan, hidup ini gelap tak berguna.

Kemayoran, 14092019
------

DINDING PUISI 109

Eka Deli di TvOne menyanyikan Cinta Sejati ost. Habibie & Ainun, ciptaan Melly Goeslaw. Di halaman-halaman seluruh Indonesia bendera merahputih masih setengah tiang. Bahkan sebagai orang yang berharap penuh cinta sehaluan Habibie, meskipun fakir kasih di hadapan Allah, beberapa menit lalu sebelum menulis catatan ini saya telah menelpon seorang musisi, Ari KPIN membicarakan musikalsasi sebuah puisi cinta berjudul, Senandung Kasih Zira.

Inilah suasana malam minggu hari ini. Suasana hati saya masih diwarnai juga oleh catatan beberapa hari lalu, saat BJ Habibie wafat. Saat itu saya menulis puisi pendek 3-2-5-2 #nalikan dan ungkapan dukacita di akun media sosial facebook begini:

"PULANG

langitnya
hening
airmatanya
lapang

Kemayoran, 11 09 2019
-----
Innalillahi wainailaihi rojiun. Telah perpulang membawa duka mendalam dan cinta kita yang besar, Bapak BJ Habibie, Presiden ketiga RI, hari ini, Rabu, 11-09-2019, pukul 18:05.

Saya (kita) setuju dengan sebutan, kepergian seorang ilmuwan, negarawan, dan Pahlawan Demokrasi Indonesia. Sebab NKRI memang selama ini membutuhkan tokoh seperti dia. Sang pencerah. Bapak bangsa. Seorang nasionalis religius yang turut membangun proses dan iklim demokrasi di negri tercinta ini.

Selamat jalan, Pak Habibie".
-----

Di dalam buku Mendaki Langit (J-Maestro, Bandung), saya membahas beberapa puisi duka. Ada puisi duka perang, puisi duka bencana, puisi duka kehilangan kasih ibu, dan ada juga puisi duka kematian, kehilangan sosok kharismatik. Maka puisi semisal Pulang tersebut termasuk puisi kehilangan itu. Dan selama beberapa hari terakhir ini di media sosial memang sedang banjir puisi duka untuk Habibie. Sungguh suatu fenomena yang ajaib. Termasuk ada gelar acara khusus di tempat kelahiran Habibie, pembacaan puisi-puisi untuk mengenang baktinya.

Tiba-tiba kita disadarkan akan tiga hal yang harus dicermati benar.  Pertama, merasa kehilangan sosok istimewa dan inspiratif adalah bagian dari adab mulia, sekaligus menunjukkan tingkat kedewasaan sebuah bangsa. Kedua, tentang tema puisi duka itu. Dan ketiga adalah gerakan masyarakat yang masih setia mempercayai puisi untuk menumpahkan suara hatinya. Subhanallah.

Kemayoran, 14092019
------

DINDING PUISI 110

Ini spesial. Seperti kita mafhum grup Dinding Puisi Indonesia di akun media sosial FB boleh disebut juga Komunitas Malam Minggu Indonesia, maklum dulu mengorbit pertama kali pada suatu malam Minggu. Dan bertepatan dengan malam Minggu, 14 September 2019 ini Dinding Puisi kita mendapat persembahan spesial. Betapa tidak, tidak sampai seperempat malam, lebih tepatnya 1 jaman saja, seorang musisi Ari KPIN bersama rekan-rekannya yang sudah sejak lama sukses menggeluti dunia musikalsasi puisi bisa menuntaskan tantangan kita. Tantangan dari grup Dinding Puisi Indonesia. Yaitu tidak cuma memusikalisasi puisi saya yang berjudul Zira (Senandung Kasih Zira), tetapi sampai selesai membuat rekaman videonya. Luarbiasa! Berarti proses musikalisasinya sendiri di tangan Ari KPIN jauh lebih cepat dari itu. Sangat singkat. Ini tentu sebuah prestasi sekaligus kemampuan kerja yang baik. Meskipun fasilitas rekamannya hanya menggunakan kamera HP dan prosesnya dilakukan di lokasi yang serba spontan. Tanpa rekayasa apapun. Langsung jreng! Tentu untuk urusan interpretasi dan ekspresi  puisi beda dengan sekadar nyanyi-nyanyi yang umum itu.

Harus dibedakan juga antara dua hal. Proses musikalisasi puisi, dalam hal ini merubah teks puisi menjadi 'lagu', dan proses produksi musikalisasi puisi.

Inilah puisi yang telah dimusikslisasi itu. Sebuah puisi yang juga dibuat spontan sebelum proses musikslsasi dilakukan. Teksnya dikirim via WA karena saya di Kemayoran-Jakarta sementara Ari KPIN dkk sedang ada acara di Garut-Jawa Barat:

ZIRA

siang menulis namamu, Zira
dengan sepoi angin
dalam puisi sepanjang jalan kota
yang membawa kelebat jilbabmu
secepat di atas motor berlalu

kenangan kota milikmu, Zira
lagu cinta terang
saat lampu menyala dalam sajak
yang menjaga setia pulangmu
jilbab malam sepanjang jalan

rindu di sini tahun-tahun permata
disempurnakan taman-taman kota
yang tumbuh dari dalam jiwa
bunga-bunga rimba yang harum surga

pagi mengecup namamu, Zira
senandung kasih
dalam sentuhan mesra matahari
masih puisi kelebat jilbabmu
secepat di atas motor berlalu

Kemayoran, Malam Minggu, 14092019
-----

Dengan kenangan Malam Minggu September 2019 ini, dunia puisi kita bisa menyelami banyak catatan segar sebenarnya. Beberapa di antaranya, musikalisasi puisi adalah proses kreatif yang khas dengan kemampuan garapan yang istimewa. Tujuan musikalisasi puisi adalah apresiasi puisi dengan pendekatan musik. Proses produksi musikalisasi puisi lebih rumit daripada produksi dapur rekaman, karena lebih merapat kepada kegiatan teater dan sastra, karena pada saatnya bisa sebentuk spontanitas aksi panggung puisi. Semisal, malamnya dipersiapkan, paginya sudah harus 'demonstrasi'. Atau setidaknya cukup dengan persiapan aksi dalam 1-2 hari. Dll. Untuk selengkapnya tentang catatan musikalisasi puisi yang khas ini kita sambung pada catatan lain.

Tetapi satu hal yang perlu saya tekankan, di luar pakem penciptaan lagu, pada musikalisasi tidak ada standar baku untuk musikalisasi terhadap satu puisi yang sama, meskipun sudah diproduksi secara komersil sekalipun. Sehingga sudah bisa dipastikan, ketika kelompok A di satu kota telah memusikalisasi puisi X, kelompk B di kota lain tidak wajib membawakannya sama seperti tim A. ia bebas sebebas-bebasnya memusikslisasi dengan caranya sendiri. Ini sangat unik, atraktif, dan komunikatif membaca panggung. Dan cara baca panggungnya jauh beda dengan lagu-lagu populer yang selalu sama antara penyanyi satu dengan yang lainnya. Hanya beda pembawaannya saja.

Kemayoran, 15092019
--------

Disalin dari Grup FB, Dinding Puisi Indonesia, Senin, 23092019


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG