DINDING PUISI 111 - 120

DINDING PUISI 111

Betul. Ini serius. Kalau anda menyanyikan lagu Begadang dari Rhoma Irama, ya begitu itu lagunya dari dulu sampai sekarang. Dari panggung ke panggung. Pun kalau anda menyanyikan lagu Berita Kepada Kawan atau lagu Ayah dari Ebiet GAD. Selalu begitulah menyanyikannya. Yang beda itu kan cara menjiwai, mengekspresikan dan mengeksplorasi khasnya masing-masing. Sebab khas Rhoma, Ebiet, Rosa, Tulus, dll kan gak bisa dipaksakan pada penyanyi lain.

Beda dengan musikalisasi puisi. Saya katakan, ketika puisi Aku dari Chairil Anwar digarap musikalisasinya oleh beberapa mahasiswa dari kampus A di pulau Jawa, hasilnya akan beda dengan hasil musikalisasi beberapa mahasiswa dari kampus B di Sumatra, misalnya. Termasuk dalam hal pilihan musiknya. Mungkin pada kelompok satu lebih cenderung ke pop balada sementara yang lain cenderung pop rock. Malah pada puisi-puisi lain yang sama, pada satu kelompok dibuat berirama keroncong, pada kelompok yang lain dibikin ngedangdut. Begitulah musikslusasi puisi.

Pun ketika musikalisasi puisi itu direkam, dikasetkan, lalu diperdengarkan di radio dan tv, lalu dipanggungkan. Sebagian masyarakat pendengar secara otomatis akan mengikuti itu selayaknya mengikuti lagu-lagu lain. Sampai hafal benar. Tetapi, sungguh tidak haram kalau masyarakat yang lain malah menyanyikan puisi yang sama dengan lagu yang benar-benar berbeda. Kalau disandingkan, ibarat menyandingkan dua lagu berbeda tetapi liriknya sama. Ini sahdi funia musikalisasi puisi.

Dunia musik Indonesia mesti paham ini. Musikalisasi puisi itu khas dan beda dengan lagu-lagu pada umumnya. Dan merupakan aset senibudaya Indonesia yang harus dijaga sungguh-sungguh. Catatan ini saya buat sebagai penegas saja.

Terakhir saya mau mengingatkan. Selain dinyanyikan, musikalisasi puisi bisa dilakukan dengan cara memberi backsound musik pada suatu pembacaan puisi. Sehingga ada pertemuan "rasa" antara alunan musik dan puisi yang diiringinya. Ini pun bernasib sama dengan melagukan puisi. Pada setiap kelompok musikalisasi akan memunculkan hasil yang berbeda-beda. Sebab mereka berhukum, sedang menghadapi garapan baru. Tentu tidak sama dengan lagu-lagu pada umumnya.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Musikalisasi puisi Zira.
Sumber gambar/Video: Youtube

-----

DINDING PUISI 112

Ada yang bilang, kita ini mayat-mayat hidup. Ngapain pusing-pusing? Yang penting hidup. Mau bau bangkai sana-sini masabodoh aja. Bisa bertahan hidup aja sudah untung. Setujukah anda? Itu sebabnya banyak orang 'eker-ekeran' (cakar-cakaran) seperti binatang buas. Sikut-sikutan tanpa rasa sosial samasekali. Jauh dari tatakrama. Giliran saling bela, hanya kepada yang menguntungkan secara materi atau uang saja, itupun tanpa kesepahaman apapun. Sebab satu-dua saat saja bisa berbalik bermusuhan. Benar-benar hukum rimba yang keji.

Anda pernah melihat pelacur yang menutup telinga rapat-rapat saat kumandang azan? Itulah kenyataan. Saya pernah menyaksikannya di suatu pinggir jalan. Yang lebih parah lagi, ada yang berjilbab, seperti sudi telinganya mendengar azan, mungkin biar tidak ketahuan rahasianya, tetapi sesungguhnya tidak sudi pada kemuliaan hidup. Sebab diam-diam dia gelap mata dan jahat.

Padahal ini yang lurus. Kita ini hidup membawa atau di dalam maqom (makam). Maksudnya, sampai ke titik mati dan dikubur, kita membawa derajat diri ke manapun. Siang malam. Bersimpuh di atas sajadah, berdiri, duduk, dan bergerak ke arah manapun. Makam bisa diartikan juga tingkatan ilmu. Jadi ke mana-mana, ilmu kitalah yang membawa kita mengelana terang. Maka jika kelak kita dikubur, banyak yang akan setia ziarah makam, baik dengan cara datang ke kuburan maupun melalui perantara ilmu dari jarak jauh, karena ada keramat yang bisa diambil dari Allahnya. Dan Allah maha sempurna jalan-jalan ilmunya.

Itu sebabnya, kalaupun kita ditakdirkan hidup biasa-biasa saja. Sedang-sedang saja, bahkan banyak kekurangan materi. Popularitas tidak punya. Mengapa harus stres dan menghamba karakter kebinatangan? Sebagai bentuk prustasi dan kematian, dan menjadi mayat-mayat hidup yang bergelimpangan di muka bumi hari ini? Mengapa?

Padahal yang penting itu keutamaan dari prinsip, "Yang penting saya selamat, dan anda juga selamat. Pun anda selamat karena saya, dan saya selamat karena anda. Kalaupun ada keingkaran atas keselamatan kita, Allah saja yang akan menjawabnya segera". Sehingga satu orang tidak perlu mengganggu orang lain dengan kejahatannya. Malah yang diperlukan saling menderma, saling berbagi kasih sayang.

Di acara Apresiasi Sastra di radio-radio, berkali-kali saya teriakkan, takutlah anak-cucu kita jadi korban kejahatan apapun di mana-mana, termasuk kejahatan narkoba itu. Maka mari berteriaklah bersama-sama dengan segala cara, segala bisa, agar kemuliaan menjadi panglima agung di mana-mana. Maka berpuisilah juga dengan segala cara supaya kata-katanya berjaya selamanya. Menghidupkan hidup. Menjaga makam (maqom) kita. Agar kita bisa menziarahi keramat diri sebelum diziarahi anak-cucu kita.

Selamat menuai berkah Jumat.

Kemayoran, Jumat, 20 09 2019
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Bahkan tubuh kita adalah mesjid yang menyelamatkan diri dan orang banyak.
Sumber gambar: internet.
------

DINDING PUISI 114

Diakui sebagai teman dari sebuah komunitas sastra Nusantara, atau berada di tengah-tengah mereka, adalah kebahagiaan tiada tara. Alhamdulillah. Apalagi kalau komunitas yang eksis itu membuka ruang kerja puisi, semisal bikin buku antologi puisi bersama. Lebih seru dan lebih jitu. Untuk itu saya sukacita terlibat sanasini, meskipun tidak selalu bisa mengikutkan puisi-puisi saya.

Seperti ketika beberapa bulan lalu saya dapat info dan undangan dari Redaksi Apajake dalam kerjasama dengan Malam Puisi Rantauprapat, untuk mengikutsertakan puisi dalam Antologi Negeri Kelapa Sawit. Sungguh suatu penghargaan yang tinggi. Dan saya pun antusias mengikutinya. Segera mengirim 3 puisi.  Dan saya pun menari melalui salahsatu puisi:

MENYANYI MENARI REBANA

Itu rebana bukan rebana belukar
itu nyanyian, nyanyian iman
itu rasa bukan rasa kering terbakar
itu jiwa, jiwa yang menentramkan

oh, daun-daun pada angin
oh, batang-batang pada tumbuh
oh, akar-akar bulat bumi
nyanyikanlah nyanyian rebana
tarikanlah tarian rebana

pada siang
nyanyiannya mengusir ular
pada malam
tariannya mengusir babi hutan
pada lapang
rebana menolak liar
pada mendung
iramanya menolak syetan

Kemayoran, 01 07 2019
------

Nyanyian saya nyanyian kalimat biasa, kalimat hidup. Tarian saya tarian jiwa. Tarian teaterikal juga sebagai keberangkatan penumpahan ide yang khas. Juga tarian-tarian seNusantara yang saya tonton dan saya banggakan. Juga tarian kemanusiaan sedunia.

Ya. Saya harus menari rebana. Sesekali sambil merasa-rasa berada di tengah perkebunan, atau mengenang kembali masa-masa kanak sedari kelahiran di tengah perkebunan kopi dan cengkeh. Oooh, alangkah sedap nian.

Bekerjalah kau makna-makna, dengan tubuhnya!  Bekerjalah semua puisi yang terkumpul di situ.

Ngomong-ngomong soal rebana saya tiba-tiba teringat berbagai musik dan tari Arabian. Dua minggu lalu saya bahkan kontak aktivis Samrah di Kalimantan, cuma mau bilang, "Perbanyak saja ekspose seni Samrah terutama di Media sosial sebagai salahsatu hiburan masyarakat Nusantara yang humanis". Dia mengaku siap grak maju jalan!

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Buku Negri Sawit.
Sumber: internet

#NegeriSawit
#AntologiPuisiNegeriSawit
-----

DINDING PUISI 115

Lagi saya seperti diingatkan. Pada saat saya membuat grup publik bertajuk Puisi Pendek Indonesia, saya dianggap seperti sedang berhadap-hadapan dengan berbagai grup Haiku, sastra Indonesia pengaruh sastra Jepang itu. Padahal tidak. Sebenar-benarnya berpuisi pendek Indonesia adalah proses kreatif saya dan banyak penyair Indonesia sejak waktu yang sudah lama lampau. Bukan khazanah sastra baru. Selain itu sebagai penegas bahwa puisi pendek Indonesia yang beragam itu juga sangat eksotik, mendalam, menyentuh pucuk daun, dan menggoda gairah sastra. Pada poin ini mau tak mau seperti jadi sangat kompetitif dengan Haiku. Bahkan pada bagian tertentu seperti berkalimat, "Sudah-sudah, nikmati saja menyelami puisi pendek Indonesia". Padahal Haiku berbahasa Indonesia yang bukan terjemahan, juga 100% sastra Indonesia yang wajib dinikmati juga. Apa anda ikut-ikutan blunder?

Lebih parah lagi saat itu, jangan-jangan saya dituding anti-Jepang? Anti segala yang punya citra dan citarasa Jepang? Padahal dalam peristiwa kemerdekaan, secara diplomatis Bung Karno sering saya sebut pasti punya kalimat pada Jepang. Harus kalah. Tapi sekaligus kemenangan kerjasama dengan Jepang Baru. Dalam piala dunia kemarin saya juga antusias, dunia persepakbolaan Indonesia mesti diwakili oleh kejayaan sepakbola Jepang dari kawasan Asia.

Itu sebabnya saya sukacita, ketika dapat kabar untuk ikut dalam buku antologi Bunga Sakura. Meskipun di situ beragam penulisnya, mulai dari ibu-ibu kelahiran tahun 1967 sampai ada Penulis yang masih kuliah, bahkan baru duduk di bangku SMA. Gak masalah. Enjoy dan selow saja. Lagi-lagi prinsipnya, MENEMANI dan DITEMANI. Tentu, buku ini menjadi ruang kerja puisi saya untuk sekaligus menunjukkan aksen suka-Jepangnya.

Maka inilah puisi saya di buku terbitan FAM Publishing itu

SAKURA KERTAS

sakura kertas yang kulihat
sebelum lagu selesai
pada pusat perbelanjaan
yang ramai
tetapi syahdu di hatiku
seperti email yang membuka
malam minggu dengan rahasia
saat kata-kata panjang seperti menatapku
tak berkedip
dan senyummu layar yang kukecup

ini kesendirianku yang jujur
merindukanmu adalah kebutuhan
gigil yang mengalahkan jaket tebal
angin malam dan
gerimis Mei Jakarta
mengharap pertemuan denganmu
adalah lagu cinta yang kuhafal
dan bagaimana mungkin melupakannya?

Kemayoran, 07 05 2019
-----

Begitulah saya harus telanjang bulat. Jatuh cinta dan nestapa. Mencintai dan memiliki. Padahal cuma pakai idiom bunga kertas, bukan plastik berkilau atau bunga sungguhan di taman indah. Sebab saya juga harus bilang, dalam beragam rupa ---termasuk pada lukisan dan spanduk, sakura juga sering seperti 'menjajah keindahan'.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Buku Bunga Sakura
Sumber: kiriman FAM Publishing.
------

DINDING PUISI 116
(catatan ulangan, Oktober, 2015)

Menghidupkan lagi perlambang wayang para wali?

Kalau di suatu lingkungan RT ada 4 atau 5 tomas yang merepresentasikan kelompok pemikiran yang berbeda, mereka adalah Yudistira, Bima, Arjuna, dan Nakula-Sadewa (Nakula Sadewa secara filosofis menggambarkan dua manusia satu tubuh satu Tuhan, dina kula-kami sahiji Dewa Agung). Maka bagaimana mereka akan saling tikam, sebab satu tubuh. Mereka PANDAWA. Supremasi kemuliaan anti Kurawa (kejahatan).

Tokoh masayarakat representatif itu tdak lepas dari Dewi Kunti (darah pancang  ibu), Pandu (tradisi hukum dan perang), Widura (penegak keadilan), Bisma (pawang penjaga ilmu), Kresna (penasehat Dewa/malaikat), Drupadi (kaum wanita), Gatotkaca (generasi yang kuat), dan Karna. Karna adalah sisi baik dari orang jahat, maka matinya di Kurawa. Bukankah Firaun pun pernah makan semeja dengan Musa, pernah bersedekah? Ketika Firaun mati, sedekahnya ikut mati. Maka Pandwa selalu berlawanan dengan Karna.

Pandawa Lima yang bisa juga mengisyaratkan lingkungan kehidupan satu RT dengan multi potensi yang kuat, sesungguhnya satu tubuh belaka, satu tubuh dengan segenap warna dan potensi yang saling melengkapi, termasuk potensi dari karakter-karakter yang bisa muncul atau dimunculkan. Adalah satu lingkungan dengan garis pengaruh dan manfaat di sekelilingnya. Daerah kumparan gelombang elektro magnetiknya.  Tidak ada pembunuhan samasekali seperti di Tanah Haram. Kecuali melalui sistem hukum, menerapkan hukum bunuh yang adil kepada manusia yang layak menerimanya, atau membunuh untuk membeladiri dalam perang.

Pandawa Lima itu satu tubuh. Satu orang. Maka diceritakan kelimanya menikahi Dewi Drupadi. Semisal 1 tetapi 5, atau 1 tetapi 7. Membelahdiri. Bukankah Kian Santang pun dikisahkan mampu membelahdiri?

Bahkan Pandawa Kurawa pun sesungguhnya satu tubuh, satu Hastina Pura. Pandawa adalah sisi baik dan Kurawa adalah sisi buruk. Siapa yang harus menang kalau bukan yang dilindungi Yang Maha Mulia? Maka masyarakat satu RT semestinya semisal 'jutaan gagasan baik'. Manusia-manusia adalah gagasan-gagasan baik itu. Sebab setiap bayi lahir ingin hidup baik-baik saja, bukan mau hidup serba semaunya. Maka kemanusiaan bertuhan itu membangun manusia dan kehidupannya.

Dan pertanyaannya, masih setiakah puisi-puisi kita yang katanya hidup bersemi di seluruh pelosok Negeri RT, menghidupkan perlambang-perlambang wayang wali?

Kemayoran, 11102019
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Pandawa Lima
Sumber: Internet
-----

DINDING PUISI 117

Tidak cuma sebatas mensyukuri. Saya memang biasa melihat sisi luasnya ruang pertemuan sastra. Meskipun cuma dihadiri tujuh sampai duapuluhan peserta. Bahkan saya bisa menemukan sisi dasyatnya. Terlebih-lebih jika yang hadir dalam pertemuan itu adalah pentolan-pentolan komunitas sastra atau aktivis literasi. Pasti langsung di belakang mereka adalah program kerja dan rencana-rencana. Sangar kan?

Bahkan 'rencana demonstrasi seni' pun bisa. Termasuk yang sudah sering saya bahas, ekspresi puisi teaterikal dan musikalisasi puisi bisa disiapkan dalam satu malam. Besok tinggal "jreng".

Minimal pertemuan sastra itu 'menggelegak' karena desir darah yang sama. Seperti tubuh yang membelah diri, berbagi energi positif. Energi sastra. Membuka pintu-pintu cakrawala saling mencerahkan.

Maka kadang saya merenung. Dilihat dari efektifitasnya, sesungguhya puisi-puisi mereka, baik yang sempat terbit ataupun yang baru keluar dari lipatan kertas di saku baju, semuanya sudah kerja sempurna. Tak perlu tuntutan lagi. Tak butuh pembanding ruang kerja yang katanya lebih luas. Se Indonesia atau bahkan sedunia. Sebab 7-20 orang itu pun bisa disebut luas. Sangat luas. Mereka adalah manusia-manusia yang hidup dan berpengaruh di lingkunganya. Jiwa-jiwa yang tidak kosong dari hakekat tatanilai. Inilah yang sering memberatkan saya untuk tidak bicara, karya puisi dan kehidupan sehari-hari penyairnya.

Penyair itu khas dan merdeka. Ihlas dan satria. Memang demikian semestinya.

Kemayoran, 14102019
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Keterangan gambar:
Air Situ
Sumber: koleksi pribadi.

------

DINDING PUISI 118

Mungkin sudah biasa mengapresiasi puisi-puisi populer tertentu dari orang-orang tertentu yang karyanya berkualitas. Akibatnya, terlalu Chairil, terlalu Rendra, terlalu Taufik Ismail, terlalu Tardji, Sapardi, dan lain-lain. Akibatnya tanpa sadar menjadi semacam ketentuan atau parameter baku. Padahal puisi dan kepenyairan punya kebebasan kreatif yang luarbiasa, untuk menyebut beda dengan kemerdekaan yang kebablasan atau kebebasan tanpa alasan.

Kadang kita suka bikin lucu dan rancu dirisendiri. Menolak yang begini, menolak yang begitu. Tertutup dari yang model ini dan model itu. Padahal para penyair yang formulasi puisi-puisinya jauh beda dari karya sejumlah nama sukses yang sudah kadung populer, juga membaca, paham, bahkan mengagumi karya-karya Chairil, Rendra, Taufik, Tardji, Sapardi, dll.

Lucunya di negri ini ---tentu dengan tidak mengesampingkan hal-hal normalnya, banyak penyair yang suka berpenampilan gondrong, tetapi menolak karya puisi metal. Disebutnya, terlalu mirip teriakan lagu pop rock. Banyak penyair senang baca puisi pake kaos oblong, bahkan sebagian ada yang membuat kesan oblong sobek, tetapi puisi yang menggunakan bahasa lugas disebut berkualitas rendah, sampah.

Tidak sedikit penyair yang suka baca puisi pakai baju batik dan kain kebaya, tetapi antologi puisi yang konon dianggap terlalu berbahasa formal, ditolak.

Banyak penyair yang sudah sangat diterima penampilan khasnya, misalnya berjenggot tebal dan panjang. Tetapi kepada puisi-puisi yang katanya terlalu 'kriting' dan berpanjang-panjang kalimat tidak disukai.

Mestinya 'bebasin aja' puisi-puisi itu seperti kita pakai blangkon, peci, model kerudung, batik, kebaya, kaos oblong, oblong sobek, celana cingkrang, dst. Apa susahnya? Kenapa mesti puisi jangan begini jangan begitu? Kecuali kalau jangan begini dan begitunya bagian dari prinsip menolak salah kaprah dan kuwalat.

Apa penyair-penyair harus belajar lagi tentang 'sukses literasi'? Bukankah selama ini sosok penyair yang kharismatik justru menjadi perintis dan motivator sukses lterasi itu?

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Gambar:
Antologi puisi Kita Dijajah Lagi
Sumber: Lumbung Puisi
-----

DINDING PUISI 119

Ya. Saya sendiri koordinator komuitas-komuitas dalam banyak even sejak 1991. Bahkan bikin yayasan seni yang dananya nyantel di atas pohon. Ntar kalo ada buah matang yang jatuh atau bisa dipetik, itu disebutya modal kegiatan. Sekali acara, besok modalnya abis, termasuk yang dibagi-bagi, atau minimal dapat "kopi, rokok, konsumsi dan uang bensin". Tapi gak mau disebut modal nol atau modal dengkul, soalnya untuk setiap kegiatan urusan modal bisa dibicarakan seksama. Itu sebabnya kita ini yang pentolan komunitas sesungguhnya direktur komunitas meskipun tidak berbentuk semacam UMKM permanen. Sebab apa? Kadang-kadang satu-dua tahun kita bikin komunitas tertentu dengan berbagai kegiatan, tahun berikutnya sudah dibubarin, lantas bikin komunitas baru lagi. Argumentasinya sederhana, "Kan kemarin lagi kerja itu, sekarang tinggal kerja ini". Mantap.

Lalu apa hebatnya jadi direktur komunitas atau kelompok seni? Sesungguhnya cakep. Kita selalu punya cara-cara untuk menguasai pengaruh iklim sosial yang berkembang. Modalnya cukup pake topeng putih senibudaya, topeng Kalijaga. Sesuai selera. Iya kan? Mangkanya saya bilang, gak perlu eker-ekeran. Kalau mau bikin komunitas dan bikin acara, ya tinggal bikin aja. Gitu aja kok repot. Kalau kita punya komunitas sastra, misalnya, terus ketakutan komunitas sastra lain tumbuh, itu artinya kita penakut, gak punya nyali, dan tidak punya daya hadir. Selain itu gak apal teori, bahwa dengan bermunculannya berbagai komunitas, itu artinya kita sedang gotongroyong dari titik kegiatan masing-masing. Iya kan?

Bahkan pernah saya bilang. Buat yang batal jadi bupati tetapi merasa terpanggil untuk suatu tanggugjawab se-Kabupaten, ya sudah, gampangin aja, bikin komunitas sosial atau komunitas seni yang anggotanya atau pengaruhnya tingkat kabupaten. Beres kan? Gak usah terlalu ribet mikirin anggaran segala, apalagi mewajibkan diri ngemis-ngemis ke Pemda, cukup pakai uang apa saja di atas pohon. Haha.

Untungnya, para aktivis seni ini kebanyakan punya pekerjaan tetap. Apapun itu.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
------

DINDING PUISI 120

Saya pernah baca puisi pakai kemeja dan celana super rapih. Tahun 1991 di TIM. Gak ada masalah. Waktu itu saya ikut Lomba Baca Puisi tingkat nasional. Bersamaan itu saya juga ikut pendidikan jurnalistik (media cetak dan pertelevisian) di Gedung Dakwah Muhammadiyah Pusat. Dalam lomba puisi itu saya kalah, tetapi di kegiatan lain saya jadi peserta terbaik nasional pendidikan jurnalistik, Forum Pembinaan Pribadi Muslim. KTP saya saat itu masih berketerangan asal Kota Sukabumi, meskipun ibu kandung saya sudah domisili di Jakarta sejak tahun 70-an.

Maka kalau ada segelintir orang, entah dari dalam gua atau planet mana datangnya, mengritik gaya bahasa puisi saya, itu sah. Karena puisi itu juga seperti lukisan di ruang terbuka, umum, dan seperti lukisan 'wanita setengah terbuka' pada sebuah galeri ---ruang publik terbatas, atau di ruang samping pada rumah orang tertentu, yang bebas dikomentari. Tetapi saya pun tanpa bermaksud 'asal ngotot', bisa menambahi keterangan ringkas, "Saya kan cuma seumpama baca puisi. Naik panggungnya cuma pakai kaos oblong yang sedikit disobek, biar eksotis, khas, dan punya unsur sensasi sedikit. Apa repotnya? Apa ngaruh untuk nilai rapot saya trus gak naik kelas, gitu?"

Bukankah yang penting pakem dasar perpuisiannya normal?  Sampai titik 'gila'-nya pun masih normal. Terjangkau teori sastra dan norma universal.

Itu sebabnya saya setiap hari memanggul daya pembebas kepada seluruh insan kreatif, terkhusus untuk para penyair jadi, supaya berani, lebih berani, tidak takut samasekali berkarya dengan pola yang khas, dan memiliki sensasi personal. Asalkan dasar-dasar perpuisiannya mesti kuat. Tidak mengingkari "tanda baca" dalam pengertian yang luas. Dan ini tidak ada urusan dengan strata pendidikan, profesi, maupun strata ekonomi. Sebab Presiden Jokowi pun untuk suatu hal atau urusan tertentu bisa saja memilih memanggil seorang penyair yang notabene cuma buruh perkebunan atau nelayan kecil. Padahal penyair itu, siapapun, dengan kredibilitasnya yang mumpuni bisa duduk sejajar dengan Panglima Perang, bahkan raja atau penasehat raja. Subhanallah.

Kemayoran, 27102019
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Gambar:
puisi demonstratif, Wisata Sastra
Koleksi pribadi

------

Copy Paste dari Status FB,
Kemayoran, 23112019


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG