ENTAH, Tulisan FB 7 Nov 2015

CINTA

tiba-tiba putih-abu
kita malu-malu
bicara cinta

___________
KETAKUTAN KITA

entah yang kaufikirkan, waktu aku bicara soal istilah-istilah dalam wayang yang biasa dipakai dalam puisi, cerpen, novel dan bahkan bahasa tutur dengan Ari Kpin Yj, dia menyebut, sayangnya hari ini siapa yang bisa mengenal istilah-istilah apapun dari wayang itu?

apapun dari tangan manusia memang bisa sirna, tetapi romantisme apa yang masih dimiliki pendahulu kita yang bisa kita kenang sebagai pepeling, ajen atikan, titen ciren, hiburan hati? Segalanya akan menjadi sia-sia, kering dan tandus. Apalagi manusia sekarang mengaku tidak suka hal-hal rumit, ingin bersenang-senang saja, yang penting happy. Mereka lupa bahwa kesejahteraan itu ada pada rasa dan fikir. Yang paling merasa menggenggam dunia bukan yang memegang sebanyak mungkin uang, tetapi yang membuka semua rahasia, termasuk kedok-kedok zaman yang menipu. Orang-orang zaman dahulu yang berhati-hati, sudah melihat ketakutan kita hari ini.

ketika senibudaya lama dibakar hangus, tinggal asap yang menyedihkan, generasi hari ini belum punya terobosan baru, senibudaya yang kuat ke masa depan. Yang ada justru, coba-coba mengenali pengaruh asing ke dalam negri. Menguatkannya di sini. Siapa tahu dengan jurus akulturasi dan spirit kelokalan, itu menjadi Indonesia masa depan. Ya, itu jurus raba-raba namanya.

generasi jilbab dan baju takwa itu pernah dengan kuat menawarkan nasyid dan marawis, tetapi juga dengan menganggap kuno qosidah. Artinya tetap saja ada yang dengan sangat mudah dibuang. Sementara nasyid, marawis dan pop reliji, juga tidak kunjung menunjukkan progresifitas kreatif masyarakat kita. Apalagi ditunjang oleh satu aksen yang dipahami semrntara orang, tidak mudah disepanggungkan dengan pertunjukan lain, tari-tarian misalnya.

Pengalamanku, bertahun-tahun menggelar acara hari besar Islam di berbagai event, acara minimal dibagi empat. Petama, qosidah/nasyid pembuka. Kedua, satu paket, pembacaan kalam illahi dilanjutkan dengan tausiah (tablig akbar). Ketiga, games/nasyid lanjutan atau kalau ada drama musikal. Dan keempat, hiburan. Pada bagian ini acara apapun bisa naik. Bahkan kalau momen halal bihalal, dangdutpun naik juga. Jadi, tidak benar juga kalau yang berjilbab dan berbaju takwa itu selalu kaku.

Saya pernah merasakan panggung gila beberapa tahun. Bayangkan, dari pukul 14 sampai 17, puluhan grup penari anak-anak dan remaja naik panggung Agustusan. Padahal cuma hajat satu RW. Dan fenomena ini terjadi di hampir semua RW. Tariannya, sebagian tari tradisional, sebagian lagi tari modern (kreasi baru). Spiritnya, refleksi kebudayaan rakyat. Gak ada di situ hantu kesenimanan atau niat menjadi penari profesional. Karena dari sinilah kemudian muncul keterwakilan itu. Penari-penari profesional yang langsung diterima masyarakat penonton. Tetapi sayang, tahun berganti tahun, ketika sebagian anak-anak dan remaja tumbuh menjadi penari dewasa yang profesional, dunia tari anak-anak dan remaja sepi, tari tradisional tidak bergairah. Masyarakat bergerak meninggalkan. Jaipong dan lain-lain dicap erotis. Oleh sudut pandang yang keliru, tari bukan ladang uang yang menjanjikan. Lengkaplah sudah. Wayang dan tari tradisi punah.

Kenapa panggung Agustusan menjadi sorotan utama? Ya, sederhana alasannya. Kegiatan mana yang dalam sebulan serentak diselenggarakan oleh lingkungan RT/RW/Kelurahan sampai ke Kabupaten, Propinsi dan Nasional? Berapa jumlah panggungnya? Berapa jenis seni yang naik panggung? Berapa banyak manusia (rakyat) yang terlibat? Gairah kesenian apa yang berkembang di situ? Baru kemudian maju ke panggung-panggung lain. Perlu diingat pula, kecuali Agustusan oleh pemerintah yang ada anggarannya, acara Agustusan di masyarakat semuanya swadaya-swadana. Gotong royong. Keseniannyapun berjudul kesenian gotong royong, nanggap seni bersama. Nah, kalau dari pesta rakyat seperti itu tak satupun panggung menaikkan satu saja penari jaipong (tradisi), misalnya, apa alasannya? Bahkan kalau di tiap kabupaten di Jawa Barat hanya tiga panggung Agustusan saja yang ada penari tradisinya, ini pun sudah pertanyaan besar. Apa ada kontrol budaya oleh bupati/walikota di sana? Logikanya sepele, Jawa Barat masih memakai ikon tari itu! Kecuali kalau ikonnya diganti oleh gambar danau. Tapi berarti menghapus kesenian.

Apa sedemikian sulit dinas pariwisata atau bupati/walikota memantau panggung-panggung rakyat, menemani, dan memberi saran-saran? Kalau aku bermimpi untuk tatar Pasundan, belum bisa disebut panggung hiburan Sunda kalau gak ada tari tradisi(jaipong)nya. Minimal seorang penari sebagai simbul gerak kasundaan. Karena simbul itu bisa berupa tulisan, suara, musik, gerak, gambar dst. Diikuti oleh kesemarakan program membuka (mendidik) kesadaran masyarakat tentang esensi etika-estetika-eksotika pangung.

aku baru saja menjadi MC menemani Rina Gunawan di Jakarta. Panggungnya diberi aksen 3 gunungan wayang. Tentu sangat indah. Mall itu jadi punya kesan luhur, padahal aksennya tradisional. Tetapi jujur aku curiga, siapa dan berapa banyak orang yang bisa memahami simbul itu? Kalau satu gunung mengisyaratkan dunia, negara, dan diri yang agung, bagaimana dengan tiga gunungan? Mungkinkah apresiasi pengunjung mall sampai kepada berbagai-bagai pribadi dengan corak spiritualitas agungnya, berbagai-bagai dunia kehidupan manusia, atau minimal berbagai-bagai suku yang berdampingan dan bersinerji? Atau, mampukah kita memahami tiga satuan waktu atau 5 satuan waktu dalam sehari semalam? Sehingga tidak gagap memahami, sholat itu 24 jam? Itulah gunanya pendidikan. Itulah ruang pembangunan karakter itu.

AKU TAHU
menjadi penari tradisi yang profesional itu tidak mudah. Ia harus berupaya mengangkat namanya. Tak dikenal tak akan ada uang mengundang (nanggap). Selain upaya sendiri, hajat pemerintah daerah bisa juga mengangkat citra seseorang. Padahal maksudnya mengangkat eksistensi citra tari daerah. Promosi serius dan terprogram. Lalu dari mulut ke mulut, ditambah pemberitaan media lokal seperti radio, koran dan tv, namanya akan dikenal. Kalaupun tidak dikenal sebagai pribadi, ia akan dikenal sebagai kelompok tari, sanggar tari, atau komunitas.

dalam rangka menaikkan namanya, supaya dikenal di daerahnya, biasanya penari profesional bersedia memulai karirnya dalam tiga katagori pementasan. Pertama, promosi tanpa bayaran. Kedua, pementasan dengan bayaran berembel-embel acara sosial. Dan ketiga, undangan profesional dengan tarif tertentu. Dari ketiganya itu, semua sama baiknya, sama-sama berguna. Karena hanya dengan cara itulah senibudaya tradisional bisa lestari. Mereka adalah duta dan pejuang budaya.

persoalannya, kalau dalam setahun seorang penari hanya bisa pentas 5-6 kali, apa penghasilannya memadai untuk proses kreatif dan kehidupannya? Mungkin kurang. Inilah yang harus dipecahkan, agar daya tahan mereka juga lestari. Maka sungguh bijak, jika ada beberapa (banyak) penari berprofesi sebagai instruktur senam, guru sekolah, karyawan swasta, membuka salon kecantikan, warung, toko dll. Di banyak daerah, menari menjadi kerja sampingan. Termasuk bagi ibu-ibu muda, ibu rumah tangga yang tidak bekerja. Tetapi nilai tingginya adalah, menari itu juga 'jihad' budaya.

Namun apalah artinya jihad budaya itu. Menghibur orang dengan bijak itu. Membangun kesepahaman melalui bahasa gerak yang ritmis itu. Kalau masyarakat apresien sudah meninggalkan seni tradisi. Padahal masyarakat gagap juga memasuki dunia baru. Hidup menjadi keras tanpa kelenturan. Darah bisa menggantikan irama gamelan. Apa yang akan dibanggakan penguasa yang mengasuhnya?

kalau pemerintah sudi mendatangi para pejuang budaya itu melalui pintu-pintunya, secara personal, alangkah indahnya. Dalam hal pintu kewirausahaan misalnya.

PESTA PANEN
saking pentingnya, di depan puluhan siswa-siswi MAN Purwakarta yang sedang menghayati bulan bahasa, aku masih membahas tulisanku soal Tari Pergaulan Nusantara dan Tari Pesta Panen. Kubilang, dulu pesta panen itu diadakan oleh tokoh-tokoh kampung, para tuan tanah. Atau oleh ketua kampung adat. Tetapi di era modern hari ini, pesta panen biasa diselenggarakan olek Pak Kades maupun Bupati, melalui apa yang disebut Pawai Pembangunan dan Pameran Pembangunan.

pesta panen di atas sawah, di halaman rumah tokoh kampung, atau di lapangan balai desa biasanya meriah. Ada tari tradisional (jaipongan), ada pencak silat, ada wayang golek dll. Anak-anak dan remaja menikmatinya sebagai sorga di kampungnya. Apalagi bapak-bapak mereka selama setahun telah menuai hasil panennya. Diberi lancar pangan minimal. Yang kuli-kuli tani pun ikut nimbrung, berbahagia menikmati hiburan yang diselenggarakan majikan langganannya.

soal tari pesta panen ini aku sampai harus menelusur google dan youtube, menengok juga tari-tarian di berbagai pedesaan negara-negara ASEAN, terutama Thailand yang sangat terkenal sebagai negara berpenduduk pemakan serangga itu. Tentu setelah menelusur Nusantara.

di era modern, apalagi di kabupaten-kabupaten yang area pertaniannya terus menyempit, konsep pesta panen tidak bisa diidentikan dengan masa panen sawah-ladang. Lebih tepat disesuaikan dengan kemajuan pembangunan, meningkatnya kesejahteraan msyarakat, dan pendapatan bulanan yang aman. Maka pawai pembangunan dan pameran pembangunan menjadi sangat rupa-rupa. Semua dinas/intansi sampai perusahaan swasta ikut pawai, ikut pameran. Perusahaan motor dan mobil pun banyak yang ambil bagian dalam pameran itu.

pertanyaannya, ketika pengangguran masih sangat banyak dan terus meningkat, ketika pendapatan di bawah UMR yang rendah serta tidak menentu, ketika PHK sepihak mudah terjadi, bagaimana mereka bisa ikut pesta panen? Ketika para seniman harus kerja keras membangkitkan kecintaan dan pentradisian seni tradisi, agar popularitas daerah serta pariwisatanya naik, tetapi senimannya tidak didukung maju, apalah artinya potensi-potensi itu bergerak mengamini pesta panen? Katika gerakan budaya harus membuat pencitraan kota/kabupaten maju, terdidik dan relijius, memahami pluralism-universal, tetapi potensi-potensinya dibiarkan mandeg apalah artinya?

Mungkin ada yang berfikir, hidup ini dramatik, ada yang hilang ada yang datang. Bahasa sansekerta pun mulai punah, anak-anak ABG itu tidak merasa ada yang merampok. Padahal bahasa itu sangat penting sebagai penyampai ilmu pengetahuan, adab hidup, budi pekerli luhur. Ada yang ekstrim lagi, semua yang ada sekarang ini pun akan punah. Apalagi kalau cuma soal tari tradisi, pakaian adat, gamelan, wayang, dll. Itu biasa hilang. Aku cuma mau bilang, di mana kau titipkan gamang, selama petikan gitar bisa mengantar istirah dari penat yang panjang? Bahkan dangdut dari speaker radio membuat petani selonjor ngaso di gubuknya. Apakah kita akan meminjam tarian Spanyol dan India untuk menghibur masyarakat dalam pesta Agustusan kita, dalam panggung kenaikan kelas, dalam hajatan, dalam pesta pembangunan, dalam event-even promosi dst? Atau musnahkan saja tari-tarian, sampah hidup itu. Kesia-siaan itu. Tapi anak-anak muda bilang, hidup membutuhkan seni. Membutuhkan keindahan. Orang tua butuh medium untuk menarik peristiwa hikmah dari masa lalu ke masa kini, melalui seni yang menapakinya.  Sejarah menulis, bahasa membutuhkan rasa, olah rasa akan menjadikan seseorang berbudibahasa dengan baik. Bahasa rasa dan gerak tari seperti rasa pada umumnya, ada ketenangan, kelembutan, kelenturan, ada dinamis dan progresif, ada bahagia dan riang gembira. Dan semua itu baru terasa kalau diikuti keihlasan dan totalitas, sebagai kerja sosial yang penuh manfaat.

HAL WAYANG
aku bersyukur melihat solusi pertunjukan wayang belakangan ini ketika setidaknya setahun sekali, pemda-pemda di Jawa Barat sudi menggelar pertunjukan wayang golek. Syukur-syukur para camat dan lurah pun bisa menyelenggarakan acara serupa untuk kebutuhan masyarakatnya.  Sebab dari dulu, pertunjukan wayang memang bukan pertunjukan murah bagi masyarakat awam. Personilnya saja terbilang cukup gemuk. Tetapi pengalamanku bertahun-tahun di radio, aula radio yang tidak terlalu luas bisa diefektifkan untuk pertunjukkan rutin wayang golek, soal jumlah personel dan alat gamelan ternyata bisa didiskusikan. Tepatnya, diminimais. Bahkan di acara TV, Sudjewo Tedjo bisa mendalang hanya ditemani sinden dan beberapa pemusik. Tetapi lagi-lagi, apakah wayang masih dianggap haram oleh sementara pihak seperti beberapa belas tahun silam? Dan apakah hari ini jumlah yang mengharamkannya semakin menebal? Alih-alih masyarakat makin dekat pada wayang, yang ada justru cari aman, toh wayang bukan pertunjukkan cair yang mudah dicerna dan dipakai senang-senang. Semua berkata,"Selamat tinggal".

(berlanjut)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG