DINDING PUISI 121 - 130

DINDING PUISI 121

Kenal panggung puisi sisipan? Dari sejak lama sering saya tonton bahkan saya adakan. Misalnya pada suatu acara hari ulang tahun radio. Di tengah berbagai seni yang naik panggung, saya sediakan space waktu untuk penyair atau seniman pembaca sajak, minimal untuk membacakan 2-3 puisi. Syukur-syukur bisa dijatah dengan waktu, misalnya 30-60 menit.

Itu model panggung puisi sisipan pertama. Kedua ketika kita punya acara gelar seni dalam waktu seminggu, lebih, atau cuma beberapa hari saja. Dalam paket acaranya ternyata ada satu hari untuk panggung puisi.

Peristiwanya mirip dengan panggung teater sisipan. Ketika sebuah pertunjukan teater bisa mentas 1-2 jam diantara berbagai acara seni atau acara sosial dan keagamaan. Termasuk di panggung Agustusan. Atau dalam satu paket kegiatan dalam sepekan ada jatah satu hari untuk pementasan teater.

Dalam panggung puisi sisipan bisa serba praktis pada momen tertentu. Ketika panitia panggung tiba-tiba mengambil inisiatif bikin pangggung puisi sehari sebelumnya atau beberapa jam sebelum acara dimulai. Ini adalah gambaran khas yang tidak tertolak dari sejarah pangggung puisi sisipan di Indonesia.

Kemayoran, 2019
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
-----

DINDING PUISI 122

Sumenep atau nama daerah manapun adalah kepemilikan pribadi warganya, sesuai dengan KK dan KTP ---bahkan penggiat baru yang dari luar daerah pun bisa tiba-tiba merasa sangat memiliki tempat tinggal barunya, sekaligus itu merupakan kepemilikan bersama masyarakatnya. Jadi, kalau sebuah even sastra memiliki ruang kepesertaan yang bersifat terbuka, tidak tertutup bagi masyarakat, meskipun oleh sebab keterpaksaan dan kondisi hanya sedikit yang terkoordinasi, maka itu sudah Even Sumenep. Tetapi biasanya dimasukkan juga nama komunitasnya jika sudah dibuat, misalnya Malam Puisi PENA Sumenep.

Alinea tersebut merupakan komentar saya untuk saudara kita, Hasani Hamzah yang di akun sosial facebook-nya bicara zonasi kegiatan kesenian. Tentu terlepas dari maksud zonasi di daerahnya, kita menangkapnya sebagai hal yang universal.

Sudah lama mendesing di telinga kita, jauh sebelum memasuki tahun 2000-an. Siapa, panitia mana, atau komunitas apa yang paling pantas menyandang nama suatu daerah se-Kabupaten/Kota untuk even-even tertentu.

Biasanya dimulai dengan pertanyaan sederhana, kegiatan mana yang bisa dibilang skup-nya Kabupaten/Kota? Lalu saya pada tulisan sebelumnya, di catatan DINDING PUISI pernah menulis, setidaknya ada tiga koordinasi even yang menonjol di situ. Pertama menyasar keterwakilan seluruh daerah se-Kabupaten/Kota. Minimal melibatkan perwakilan seluruh kecamatan. Syukur-syukur bisa mendetil, seluruh kelurahan. Jika bersifat institusional, merepresentasikan institusi-institusi terkecil di bawahnya.  Kedua, even yang menyasar sebagian dari wilayah Kabupaten/Kota karena disebabkan keterbatasan anggaran, lokasi acara, mepetnya persiapan, dan sangat tergantung terjangkaunya promosi terbuka di radio, TV, koran atau media sosial, dll. Dan ketiga, kegiatan yang bertahap. Tahun ini sekian wilayah, tahun berikutya sekian wilayah yang lain. Dst.

Untuk tiga even yang sudah saya uraikan itu, tentu dengan sangat mudah mereka menggunakan zonasi Kabupaten/Kota sebagai sebutan. Sebab peserta yang terlibat langsung dalam satu even menunjukkan itu. Pertanyaannya, bagaimana dengan kegiatan yang sifatnya tidak sertamerta mengkoordinir keikutsertaan peserta/aktivis kabupaten/kota, baik sebagian atau seluruhnya? Itu sesungguhnya sama seperti keberadaan kantor DPC Partai Politik. Seringkali, apapun kegiatannya selalu berlabelkan Kabupaten/Kota, sebab DPC adalah kantor tingkat Kabupaten/Kota. Lalu apa bedanya dengan suatu Komunitas Seni yang sejak awal dibentuknya tidak membatasi anggota, atau setidaknya tidak membatasi pengaruh sosial-budayanya se-Kabupaten/Kota? Sebab berdasarkan pengalaman saya, komunitas seni juga seperti sebuah kesekretariatan untuk suatu Kabupaten/Kota itu. Apalagi kalau komunitas itu disahkan dengan adanya Akta Notaris. Akan lebih kelihatan lagi pengaruh terbukanya bagi suatu Kabupaten/Kota, apapun kegiatanya, baik even besar maupun kecil. Terkecuali untuk suatu komunitas yang menyebut dengan tegas zonasi pulau, Kecamatan, Kelurahan atau wilayah RW-nya. Ia akan istimewa dengan sendirinya sebagai ruang kegiatan masyarakat setempat. Masyarakat di pulau, kecamatan, kelurahan dan RW-RW lain akan memakluminya.

Kemayoran, 07112019
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Gambar peta Indonesia
Sumber internet
-----

DINDING PUISI 123

Jendral Soedirman adalah panutan buat saya dan keluarga. Sejak kecil kami selalu membicarakannya, nyaris setiap saat. Maklum saya punya bapak, Soetoyo Madyo Saputro yang anak polisi, dan keluarga pejuang. Familinya banyak yang jadi tentara. Jadi kalau bicara Panglima Besar itu selalu berapi-api.

Buat kami, Jendral Soedirman jadi seperti terasa keluarga sendiri. Seperti 'paman' atau apapun bagi bapak saya. Saking dekatnya kalau membicarakannya. Selain membicarakan sosok lain semisal Jendral Gatot Subroto, bahkan Pak Harto.

Soedirman kecil lahir di Purbalingga sementara Gatot Subroto lahir di Banyumas, masih satu daerah dengan kakek saya yang orang Tembelang Wetan, Banyumas. Meskipun selanjutnya kakek saya, Marto Miredjo domisili di Purwokerto hingga meninggalnya. Tentu kedekatan famili kami lebih kepada Gatot Subroto. 

Dari sisi usia, Sudirman lahir 1916, sedangkan bapak saya lahir 1932. Jadi ketika Sang Jendral berusia 16 tahun, bapak saya baru lahir. Ketika Sang Panglima kharismatik umur 26 tahun, 1942, bapak saya umur 10 tahun. Lalu saat kumandang proklamasi 1945, bapak saya umur 13 tahun. Sehingga dari jarak usia inilah maka wajar kalau bapak saya punya banyak cerita soal jejak Sang Panglima dan perang kemerdekaan, yang bikin kami, anak-anaknya sukacita. Sampai saya pernah bercita-cita harus jadi tentara. Meskipun setelah dewasa saya terjemahkan, spirit bela negara tidak harus selalu diterjemahkan, tentara berseragam.

Pengalaman kanak-kanak saya juga tentang Sang Jendral. Beberapa kali saya ditandu di jalan perkebunan, di suatu acara main-main di malam berbulan terang. Saya sangat menikmati menjadi Sudirman di atas sarung dan bambu. Maklum saat itu badan saya masih kecil dibandingkan para remaja penandu, meskipun pipi saya tembem sehingga sempat dipanggil, Upam Gombloh.

Maka ketika ada satu penerbitan berencana menerbitkan antologi puisi tema pahlawan, saya pun segera tertantang untuk menulis puisi Jendral Soedirman dari suatu sudut kesaksian, kesadaran dan pencerahan yang khusus. Inilah puisi saya yang segera terbit itu:

Puisi: PANGLIMA BESAR
Karya: Gilang Teguh Pambudi

akulah Dirman
pemuda Muhammadiyah
yang tidak cuma karena Muhammadiyah
angkat senjata, maju perang
memimpin para pejuang
tapi satu kata dengan Bung Karno
demi kemerdekaan Indonesia

akulah Dirman
selamanya guru ngaji
yang tidak cuma karena penduduk muslim
pasang badan, pasang nyawa
dalam pertempuran terdepan
tapi satu kata dengan para pendiri bangsa
demi menjaga keutuhan Republik Indonesia

akulah Dirman, hanya hidup dalam kalian
yang menjunjung kemuliaan hargadiri dan kedaulatan bangsa

Kemayoran, 25 10 2019
-----

Demikianlah Panglima Besar Jendral Soedirman. Sosok yang juga membuat kakek saya dan saya sangat menyukai keris. Eksotika dan perlambang yang indah dan megah. Meskipun kakek saya ngoleksi, sementara saya tidak. Mungkin, belum.

Selamat hari pahlawan.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Gambar: Panglima Besar Jendral Soedirman
Sumber:

-----

DINDING PUISI 124

Ada yang bertanya, mengapa diberi judul , Zira? Ya, seperti yang sudah sering saya jelaskan, penyair, cerpenis, Novelis dll sering terinspirasi oleh nama-nama terdekat dari dirinya. Sebagai contoh, waktu saya SMA dulu, saya pernah bikin cerpen untuk dimuat koran. Tetapi tahukah anda, bahwa di dalam cerpen itu saya telah memasukkan nama-nama teman satu kelas sebagai nama-nama tokoh? Dua nama yang masih saya ingat adalah Barnas dan Baskara.

Nama-nama lain yang sering menginspirasi penulis, selain nama teman-teman dekat adalah nama kekasih, nama istri, nama anak, dll.

Ada juga yang terinspirasi oleh nama Dewa-Dewi Khayangan, nama tokoh kharismatik, nama yang sohor dalam mitos dan legenda tertentu, dll.

Ya. Waktu saya mulai menulis antologi puisi Zira (Planetarium Cinta), memang sengaja dimulai dengan puisi pertama yang berjudul Zira. Puisi ini sempat di musikalisasi oleh musisi dan penyanyi Ari KPIN. Saat itu saya jelaskan kepadanya, puisi ini selayaknya puisi pada umumnya bersifat ambigu dan humanis-universal. Tetapi benar, Zira saya ambil dari singkatan Puji Rahayu, istri saya. Lengkapnya, Yayu Puji Rahayu.

Bagi yang nungguin buku puisi Zira terbit, sabar ya. Inilah puisinya:

Judul: ZIRA
Karya: Gilang Teguh Pambudi

siang menulis namamu, Zira
dengan sepoi angin
dalam puisi sepanjang jalan kota
yang membawa kelebat jilbabmu
secepat di atas motor berlalu

kenangan kota milikmu, Zira
lagu cinta terang
saat lampu menyala dalam sajak
yang menjaga setia pulangmu
jilbab malam sepanjang jalan

rindu di sini tahun-tahun permata
disempurnakan taman-taman kota
yang tumbuh dari dalam jiwa
bunga rimba yang harum surga

pagi mengecup namamu, Zira
senandung kasih
dalam sentuhan mesra matahari
masih puisi kelebat jilbabmu
secepat di atas motor berlalu

Kemayoran, Malam Minggu, 14 07 2019
: Puisi ini telah dimusikalisasi oleh musisi Ari KPIN dkk.
-----

Supaya poin Dinding Puisi yang ini jadi lebih seru, saya sertakan juga satu puisi saya yang lain di buku Zira, yang pasti menantang untuk diapresiasi:

Judul: JILBAB II
Karya: Gilang Teguh Pambudi

jika seorang suami beristri dua
seumpama bulan kembar
telah dipinangnya
maka jika yang satu berjilbab
dan yang lain tidak
mereka pasti saling bertanya

jika aku harus berandai-andai
meminang bulan kembar
di tahun yang saling melengkapi
dan harus menjawab
maka kataku,
kunikahi wanita berjilbab
karena kedasyatan syiar
dan nilai keagungannya
dan telah kunikahi yang tidak berjilbab
karena kedasyatan keibuan
dan keagungan hidupnya
bersemayam kuat dalam hatinya

Kemayoran, 2019
------

Kemayoran, 12112019
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com b
Cannadrama@gmail.com

Gambar: video Zira
-----

DINDING PUISI 125

Ini model diskusi yang biasa sesungguhnya dalam sastra. Bisa untuk berlama-lama dan berpanjang lebar, bisa juga bersifat selintas. Tergantung momen, suasana atau media diskusinya. Bisa juga disebut diskusi yang menarik.

Saya telah menulis puisi pendek berjudul, aku padamu 073, lalu medapat tanggapan.

Berikut ini selengkapnya:

Puisi saya:
aku padamu 073

bagaimana suatu ketika
Allah datang
membawa kekasih
turun dari bis
antar kota antar propinsi?

#makrifatullah
#JamanWisAkhir
-----

EM Shafwy:
Widihhh..
Multi tafsir banget pak.
Ini akan dikonsumsi publik, khawatir terjadi kontroversial.
Usul: apa tak sebaiknya kata Allah diganti saja.

EM Shafwy:
Kalau boleh,  intinya usul saya @ pilihlah diksi diksi yang aman.

Saya:
(Setelah memberi tanda jempol/like kepada dua tanggapan tersebut)
... memang sudah demikian, Bang. Puisi cinta Allah pastilah memilih bentuknya sendiri. Trimakasih apresiasinya.

Insa Allah, ini juga untuk proses penerbitan buku berikutnya kelak.

EM Shafwy:
Sastra adalah kelembutan, utamakan keteduhan untuk semesta...

Saya:
(kembali setelah memberi tanda jempol)
... benar. Kelembutan sungguh utama. Dan itu interpretatif.

Ditambah lagi dalam proses kreatif, kesetiaan pada puisi bisa karena pegalaman yang panjang, bisa juga karena sensitivitas yang segera.

Saya:
Saya juga baru menyelesaikan satu puisi untuk sebuah penerbitan buku puisi di akhir bulan ini:

MUAZIN

muazin tidak selalu orang
tetapi dayamu pada buku-buku
yang huruf-huruf dan ketebalannya
memanggilmu pulang
ke dalam cinta Allah
juga pada kendaraanmu
yang setia melaju di jalan lurus
menembus cahaya-cahaya

muazin adalah juga musikmu
yang setiap nada dan bunyinya
seperti deret waktu sholat
wajib dan sunah
siang malam
sepanjang hayatmu

muazin itu kisah bunga tasbih
saat wangi tercium wanginya
saat hilang wanginya
tetap saja wangi hakekatnya
sehingga kata-katanya bisa molek
bisa percakapan yang bersahaja

muazin adalah dirimu
yang membawa lahirbatin
ke tempat-tempat selamat
ke jantung-jantung bahagia
ke pusaran jihad yang agung
meyelamatkan hamba Allah yang setia

Demikianlah diskusi singkat yang sangat inspiratif tersebut. Saya kemukakan sebagai bentuk keterbukaan proses kreatif. Itu saja.

Kemayoran, 18112019

Gambar: Lingkaran dan Kotak
Sumber gambar: internet
-----

DINDING PUISI 126

Apa yang ada dalam benak anda? Tiba-tiba saya dapat pesan WA dari siswi SMK Sidikalang yang sedang mempersiapkan acara Kolaborasi Budaya Nusantara. Setelah bicara-bicara sastra, ia minta satu puisi untuk dibawa naik acara. Rupanya itu tujuan utamanya. Subhanallah. Setengah hari kemarin hingga malam saya meraba-raba peta Indonesia di hati dan kepala. Lalu hari ini selesailah satu puisi. Untuk dia dan Nusantara kita.

AKU BACA KEMILAU
Karya: Gilang Teguh Pambudi
Untuk: Kioko Sidikalang

gemerlap bintang katulistiwa
bukan sekadar peristiwa
ia bara semangat, kesatuan jiwa
ketika putra-putri negri
dinamis, kreatif, dan terdepan
menghadapi tantangan zaman

lihatlah lautan karya
meliuk selendang sepanjang garis pantai
dalam debur kedamaian yang indah
melangit membentang kain asa
yang menjaga kesentausaan

tarian-tarian dari seluruh pelosok negri
dari segenap titik peta
tidak sekadar tarian
ia bahasa persatuan kesatuan
gerak pembangunan
gambar bhineka tunggal ika
satu nusa satu bangsa

seni tradisi dan adat-istiadat Nusantara
dalam geliat maju ribuan pulau
seperti pawai harian
mengarak makna-makna
karnaval tanpa selesai
membawa pesan cinta damai

musik yang saling menimpali
seumpama harmoni hati
nyanyian segala perasaan
sehimpun dalam persembahan

aku membaca kemilau
satupadu bersama waktu
dari fajar menyingsing
hari-hari yang tegak dan bergerak
hingga malam-malam cahaya
karena rahmat Tuhan
menaungi nusa bangsa

inilah Indonesia
persemaian budaya leluhur
bukit, gunung dan lembah peradaban
yang kasih bahagia sejahtera
keselamatan sepanjang masa

Kemayoran, 20112019
-----

DINDING PUISI 127

Jelas. Harus menerbitkan puisi, kalau yang kita maksud adalah pengaruh dari penerbitan puisi. Baik melalui media cetak koran dan majalah maupun buku. Bisa juga melalui media audio, audio visual, bahkan multimedia. Kecuali kalau yang kita bicarakan, suatu cara kerja yang khas berupa penulisan puisi oleh penyair lalu dibacakan di atas panggung, baik oleh penyairnya sendiri maupun pembaca lain.

Pada tulisan ini kita khusus bicara selintas mengenai ruang kerja buku puisi. Termasuk di dalamnya buku-buku komunitas yang diterbitkan terbatas oleh suatu komunitas tertentu untuk beredar di lingkungan komunitasnya.

Pertama. Buku-buku puisi yang telah terbit pasti akan bekerja dari tangan penulisnya. Selain bertengger di rak bukunya, tentu puisi-puisi di situ akan terkomunikasikan dengan beragam cara kepada masyarakat sastra. Masyarakat sastra yang kita maksud terdiri dari para pencinta sastra dan para pencipta karya sastra. Terlebih-lebih jika penyair yang bersangkutan sangat aktif pada suatu komunitas tertentu, atau punya jaringan komunitas yang efektif.

Kedua. Buku puisi akan bekerja di ruang pembaca. Yaitu masyarakat yang membeli buku, baik di toko buku maupun pesan on line, atau masyarakat sastra yang mendapat jatah pembagian buku. Fenomena kedua ini nyaris mirip dengan buku-buku karya pejabat atau tokoh-tokoh tertentu yang sengaja diterbitkan untuk dibagi-bagikan. Tidak diperjualbelikan. Pendeknya, dibeli atau diberi, buku-buku itu bisa bekerja di ruang masyarakat pembaca secara terbuka.

Ketiga. Buku-buku puisi sudah sangat lazim dipekerjakan dengan cara mendiami rak-rak perpustakaan. Baik perpustakaan sekolah/kampus, perpustakaan daerah, perpustakaan mesjid, perpustakaan keliling, maupun taman-taman bacaan masyarakat yang tersebar di banyak titik RT-RW.

Keempat. Buku-buku puisi bisa bekerja dari ruang pengarsipan tertentu, meskipun jumlah buku yang dicetaknya tidak banyak, dan tidak beredar di banyak daerah pula. Misalnya pengarsipan di perpustakaan nasional, perpustakaan daerah, maupun di sekretariat komunitas. Bahkan di kediaman pribadi penyair-penyair tertentu. Meskipun kadang waktu penerbitannya sudah lampau dan cuma dicetak sedikit, tetapi di kemudian hari ada pihak-pihak yang merasa perlu memunculkan buku puisi itu di tengah publik luas dengan berbagai cara. Sekedar contoh, aktivis sastra Purwakarta dan Tasik pasti bangga kepada nama-nama penyair asal Purwakarta  dan Tasik, atau yang mengharumkan nama Purwakarta dan Tasik, sehingga akan mencari-cari karya mereka di manapun bisa ditemukannya. Termasuk yang pernah terbit terbatas sekian tahun yang lampau.

Kelima. Ini super spesial. Di sekolah-sekolah tetapi tidak melulu persoalan perpustakaan. Yaitu ketika buku sastra bekerja melalui proses sosialisasi di buku-buku pelajaran, khususnya buku mata pelajaran sastra. Tentu peran kementrian pendidikan sangat tinggi di sini, selain pengurus-pengurus yayasan pendidikan yang independen.

Keenam. Memunculkan, setidaknya sebagian atau selintas-selintas isi dari suatu buku antologi puisi yang telah terbit, melalui media sosial adalah satu pilihan di era milenial untuk membuat buku puisi kita bekerja. Asumsinya, seberapa banyak pun buku kita terjual atau terbagikan di tengah masyarakat, tidak semua orang bisa memilikinya. Sehingga mereka ini bisa menyerap energi positif dari suatu penerbitan buku tertentu dengan cara mendapatinya di media sosial. Tentu melalui akun-akun yang terpercaya.

Ketujuh. Ruang kerja buku puisi, pada awal mula adalah saat launching suatu buku baru, atau pada saat bedah buku baru. Selanjutnya pada saat membaca ulang isi buku itu di berbagai panggung atau arena sastra. Baik oleh penyairnya maupun aktivis sastra siapapun. Tetapi bedah buku pun tak terbatas waktunya. Bukankah di era kini pun masih banyak diskusi-diskusi, membedah buku-buku sastra lawas?

Ketujuh catatan saya mengenai ruang kerja buku puisi ini setidaknya memberi optimisme kepada para pekerja seni, khususnya penyair, untuk terus bekerja secara konsisten melalui upaya penerbitan buku-buku puisinya. Agar dengan cara-caranya yang khas, yang tidak bisa terlalu didikte, pesan-pesan puisi itu akan menyelusup, merembes, ke jantung manusia dan zaman yang membutuhkannya.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Catatan:
Alhamdulillah. Insha Allah, buku DINDING PUISI INDONESIA (#DindingPuisiIndonesia /  #SerbaSerbiDuniaPuisi),  yang berisi catatan-catatan puisi Gilang Teguh Pambudi, sedang dalam proses penerbitan. Trimakasih.
-----

DINDING PUISI 128

Istilah LIKE atau JEMPOL adalah istilah yang sangat populer di media sosial. Ia menjadi kode penting pada setiap postingan, baik tulisan, gambar, gif maupun video. Sampai-sampai yang gila jempol menjadikan jumlah jempol sebagai ukuran popularitas sekaligus kepercayaan pengikutnya. Meskipun tetap banyak yang 'nyantai', tidak mau ambil pusing pada jumlah LIKE atau JEMPOL. Sebab ia sudah punya argumentasi sendiri. Komunikasi 'medsos'-nya memang cuma ditujukan untuk sekelompok orang yang diinginkannya. Terutama yang dekat di hati. Meskipun ada juga yang dapat sedikit jempol karena kontennya samasekali tidak menarik perhatian. Toh demikian, ia tetap 'pede', merasa cuma numpahin unek-unek.

Ada juga konten yang tiba-tiba meledak punya jempol banyak. Ternyata kontennya sensualitas yang cenderung porno. Dan ini menjadi semacam sugesti yang meng-kurangajari publik. Atau berisi umpatan-umpatan politis yang berani, yang tiba-tiba disukai secara pragmatis oleh tidak sedikit orang.

Persoalannya, bagaimana posisi dan harga LIKE atau JEMPOL itu di hadapan postingan puisi-puisi? Berikut ini beberapa fakta seseorang kasih jempol pada postingan puisi:
1. Penulisnya terkenal dan ia sukai
2. Penulisnya ia kenal dan ia sukai
3. Puisinya bagus dari berbagai aspek sastra
4. Puisinya disukai menurut seleranya
5. Temanya sesuai kondisi terakhir
6. Temanya sesuai dengan hal atau persoalan yang menarik hatinya
7. Dikemas dalam tataletak teks puisi dan ilustrasi yang memikat
8. Karena suka puisi, meskipun puisi yang bersangkutan tidak dibaca atau cuma dibaca sebagian
9. Karena memberi jempol bisa berarti menambah teman atau dalam rangka mempertahankan pertemanan
10. Dll.

Itu sebabnya saya pun pernah memberi tanda LIKE atau JEMPOL karena beberapa puisi bertema wayang dan tari tradisional. Sementara cuma karena itu. Saat itu saya belum sempat kasih pertimbangan lain. Dan itu sah menurut hukum LIKE dan JEMPOL.

Anda pernah secepat kilat kasih LIKE untuk puisi bertema obyek wisata di daerah anda? Meskipun anda sendiri belum baca seksama puisinya? Apalagi puisi itu dilengkapi fotografi yang indah.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
-----

DINDING PUISI 129

Hidup mengalir memang seperti air. Tetapi dengan Yang Maha Mulia di situ ia mengalir mesra dalam pesan cahaya. Dalam kelembutan kasih abadi. Karena itu kadang ditambahi seremoni tradisi, gadis-gadis menabur bunga lembut, halus dan wangi di air kali. Suatu budaya dengan pesan tinggi.

Hidup seperti membuka ruang kerja darah pada tubuh manusia. Tetapi darah merah tidak harus pertanda marah-marah dan dendam kesumat, sebab ia kalimat kedamaian. Tetapi kedamaian mana yang tidak angkat badik pada kejahatan jahanam? Maka hakekat aliran darah adalah kemarahan agung tolak bala selamanya.

Sudah banyak yang pesan puisi kepada saya. Ada guru yang sedang mengajar sastra, ada pembina yang mau nongkrongin komunitasnya, ada panitia yang ingin disemarakkan acaranya, ada yayasan yang ingin dihibur anak-anak yatimnya, ada pemuda yang lagi kasmaran, ada pembaca puisi yang mau naik panggung even, ada yang ingin lihat suatu gagasan menjelma puisi, bahkan ada SATPAM yang ingin merasakan keindahan sekaligus kerja puisi. Seperti puisi berikut ini, adalah puisi yang dipesan oleh seorang SATPAM (Scurity) itu:

KOPI HITAM, HITAM KOPINYA
untuk Arjuna Ireng

kopi hitam
hitam kopinya
tidak detak
jantung putihnya

kucing hitam mengeong
meninggalkan pagi
pagi sedari subuh bersijingkat
membawa ngeong pergi
kepada cahaya mana
lara hati mesti ditambatkan?

kopi hitam
hitam kopinya
tidak detak
jantung putihnya

ayam jantan berkokok lantang
mengurai sepi
memanggil hari
sampai embun bersimpuh
mempersembahkan, "Pagi untukmu"
lalu berapa kedukaan
telah terselesaikan?

kopi hitam
hitam kopinya
tidak detak
jantung putihnya

anjing penjaga menyalak
galak untuk bijak
setelah satu-satu ilmu Tuannya
melumuri taring dan kukunya
dengan doa-doa kerja
doa-doa sajadah apa saja

Kemayoran, 06122019

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
-----

DINDING PUISI 130

Lagi, buku ZIRA? Buku ZIRA, PlanetariumCinta, adalah antologi puisi cinta dan kemanusiaan. Humanis-universal. Tetapi sebagai keihlasan yang inspiratif, pada puisi-puisi di buku ini saya selaku penyair, memang tidak jarang mengangkat beberapa pengalaman saya dan istri, Puji Rahayu. Sesuatu yang bermula atau memutari pengalaman puitik-empiris di situ. Seperti sebuah analogi, saya jengah pada posisi duduk kami di tengah Taman Suropati yang menjelma menjadi taman kata-kata, kata-kata yang berat dan kata-kata yang ringan. Atau saya mendapati jemari tangannya di Monas, saya genggam depan panggung qasidah. Sesuatu yang tidak mengada-ada. Pun saat makan sate Padang, sehingga menikmati pembacaan puisi di Taman Ismail Marzuki selaksa mendengar lagu dangdut saja, kadang dengar kadang tidak. Tetap nikmat di lidah.

-----

BEKASI - KOTA TUA

matahari dalam bis dikendalikan AC
pemandangan sepanjang jalan
wajah dan kibar jilbabmu
tunggu aku di Bekasi
kita bertemu
lalu ke rumah ibu

tapi waktu itu
siang yang tepat dicuri malaikat

dari Bekasi
kita lepas ke Kota Tua
meski tak lama

"Maafkan kami, Ibu.
Pacaran dulu".

------ (puisi dari Buku ZIRA)

Lalu di kata pengantar buku ini pun saya menulis, "... sebagaimana anda pun ingin melakukannya, secara manusiawi ijinkan saya mengucapkan kalimat cinta kepada istri saya, Yayu Puji Rahayu, "Tetaplah sebagai cinta terindah untuk Allah".

Bahkan di halaman terakhir foto suami istri juga kami sertakan sebagai bagian dari kebijakan editorial penerbit. Semua itu hanya sebuah keberangkatan yang ihlas belaka. Lain tidak. Pada suatu ketika tema puisi-puisi itu menguat lalu di belakang hari ditulis.

Saya juga terinspirasi, seringkali setiap terbit buku-buku yang beraroma cinta, keharmonisan pasangan suami istri, dan kemanusiaan, sering memunculkan foto penulis bersama pasangan hidupnya. Bukankah begitu?

-----

KOPI HITAM KALIJODO

bukan sembarang kopi hitam
aku menikmatinya
seperti di antara Sunan Kali Jaga
dan Raden Kian Santang
rasanya pas!
mantap!

di depanku ratusan anak-anak
dengan berbagai permainannya
ibu-ibu sibuk mengatur diri
bapak-bapak pasang aksi
lalu ada skateboard lompat ke langit
wow!

subhanallah,
untung tadi pagi kubilang,
"Bu, kita ke Kalijodo
katanya Gubernur Ahok bikin cerita
tempat mesum itu sudah diubah
jadi tempat ngumpul keluarga"

ah, rasanya ini kopi paling istimewa
yang kupesan kepada Allah
lalu dihantarkan Malaikat

----- (puisi dari Buku ZIRA)

Kalau anda juga penulis, tentu anda tidak perlu mengingat hal jauh tentang seorang istri depan anak-anaknya, kalau istri anda adalah sentrum persemaian cinta anak dan bundanya. Menariknya, lagi-lagi pengalaman puitik-empiris saya pada buku ini memang memutari punggung cinta kami itu. Sebuah ihtiar meraih cinta agung Allah SWT.  Yang hakekatnya, punggung cinta kita. Para manusia.

Maafkan. Dan nikmatilah.

ZIRA II

Jakapurba menggelipak kendang
di gerbang lapang
senandung nasyid membubung langit
masih melesat motor cantikmu, Zira
rasa satu wajah tiga kota

Jakarta memungut romantisme gerimis
Purwakarta menyemai embun cinta
Bandung membubung rindu daun-daun

Jakapurba menggelipak tangan
di kuda-kuda kotamu
lagu-lagu dirindui waktu
kelebat harum bunga jilbabmu, Zira
restu bumi restu langit

*) Jakapurba = Jakarta Purwakarta Bandung
-----

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

#BukuZIRA
#PlanetariumCinta
#BukuGilangTeguhPambudi

Dikumpulkan, Jumat, 20122019
-----


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG