DINDING PUISI 141-150

DINDING PUISI 141

Seburuk-buruknya sampah puisi bagi penyair adalah puisi-puisi yang pernah ditulisnya tetapi disadarinya tidak perlu dipublikasikan. Bahkan kelak hilang pun tak mengapa. Bahkan beberapa penyair pun pernah meremas kertas puisinya sendiri lalu membuangnya ke tong sampah. Bukan. Bukan karena alasan salah bikin atau puisinya buruk rupa. Sering juga karena, puisi itu dianggap tidak perlu hadir ke ruang publik. Sebab kalau soal garis-garis kuat atau lembut yang 'dibuang sayang', masih bisa diselamatkan melalui puisi-puisinya yang baru. Seperti saya tentu akan sangat rugi kalau gak punya kata-kata, langit kotak, peresegi ka'bah, lengkung mesjid, jaring laba-laba, mata cadar, wajah diri dan telapak perbuatan, kelebat jilbab, lagu pinggul, rindu randu, malam dibagi tiga, kuda-kuda kotamu, kasih untuk semesta, hidup ini yatim, dll. Tetapi kalau suatu saat pernah menulis salahsatunya dan membuang sajaknya, pasti akan lahir sajak selanjutnya.

Lalu apa yang terlalu menyesakkan? Ketika kliping-kliping puisi kita dari majalah dan koran hilang, sementara belum pernah dibukukan dan tidak ada teks kertasnya. Saya mengalaminya, meskipun puisi koran saya cuma beberapa biji. Dan itu sangat menyesakkan. Tetapi dalam keadaan lupa kalau harus menuljs ulang, saya selalu berfikir, "Salahsatu ujian penyair adalah menunjukkan konsistensinya pada seluruh puisi-puisinya, sehingga garis kuatnya akan menutup lubang yang ditinggalkan oleh puisi-puisi hilang". Sehingga saya yakin, puisi itu sesungguhnya tidak hilang, ia hidup lestari pada jiwa penyairnya.

Bahkan saya yang sedang dalam perjalanan pindah tugas pernah ditelpon teman kerja, "Ini puisimu sudah dimuat". Ia menyebut nama koran yang tidak terlalu populer pada masa itu. Dan sayang sekali, saya tidak sempat melihat pemuatanya. Sampai hari ini. Sampai koran itu sudah tidak terbit lagi. Sungguh, saya tidak ingat apa-apa tentang isi puisi itu. Subhanallah. Tapi saya yakin, ia adalah energi kepenyairan saya hari ini.

Ya ya ya. Tiba-tiba kita berfikir sejenak tentang tulisan yang lahir yang hadir, tulisan yang dibuang ke keranjang sampah padahal dibuang sayang, tulisan yang diklipingkan dan dibukukan, serta tulisan-tulisan hilang. Hmmmm. Perjalanan sukacita yang hening dan berhikmah pada kesedihan. Benar-benar petualangan tulisan.

Baik. Kita pun menempuh perjalanan suka duka seperti tulisan itu. Kita berpetualang juga. Jelang pergantian tahun, kita masuki lagi antologi puisi saya, TAGAR, Tarian Gapura (JM-Bandung). Kali ini berjudul TARIAN ISTANA DAUN:

TARIAN ISTANA DAUN

"Anak-anak, ayo berangkat.
Kita ke bukit memburu kalimat langit.
Kita harus cepat sampai jangan terlambat. Bawa bekal dan ransel masing-masing"

"Di bukit tinggi di pucuk daun
kita akan menengadah.
Pasrah pada segenap keagungan.
Sebab kita bukan Fir'aun
yang membangun tangga dan istana tinggi
untuk melihat segala yang direndahkannya
lalu suka-suka menyebut dirinya Tuhan"

"Lekas. Kita menuju gerbang daun.
Setelah melewati nama dan panggilan
kita akan menemui
tujuh pintu sempurna.
Lalu pada luasnya ruang-ruang istana
Kita akan menikmati keindahan
nyanyian
tarian
puisi
lukisan-lukisan seluas dinding
dan dongeng-dongengnya. Ayolah.
Perhatikan ikat sepatumu.
Jangan bikin repot nanti.
Rapihkan penampilanmu.
Perempuan-perempuan petualang suka
sama lelaki yang sopan dan menawan.
Jangan meludah sembarangan".

"Garis-garis pada daun itu
adalah peta perjalanan
tempat kita mengurut tempat-tempat
yang paling disuka sekeliling istana
dari museum, taman kota dengan danau yang jernih,
sampai stasiun kota
dari pusat permainan sampai ke pantai"

"Ini hari yang cerah.
Sedangkan pada hujan dan badaipun
kita sanggup melewatinya.
Tapi ingat, kita lagi syukur bahagia
tidak sedang bercanda".

"Jangan selalu bermimpi pesawat atau perahu.
Lupa kita terbang dan berlayar dengan telapak kaki. Allah memberkati".
------

Lalu saya teringat sesuatu. Jika seorang istri penyair terpaksa bercerai dari suaminya, atau penyair ditinggal kekasihnya, ia seperti puisi yang hilang. Sebab tidak mengertipun ia tentang puisi, ia sudah pasti inspirasi. Ia masuk sebagai jiwa penyair, persis memusari kisah, pada tubuh Adam ada Hawa di tulang rusuknya. Sehingga hilangpun ia, persemaian kisah cintanya tetap hidup sebagai jiwa kepenyairannya. Artinya, penyair sejati setia pada kekasih, pada istrinya. Pada janji Allahnya.

-----

DINDING PUISI 142

Paling gak enak ketika kita ngomong puisi tema jilbab, apalagi sampai berminggu berbulan, karena sedang fokus, kita dicap fanatik. Seolah sudah sempurna tobatnya trus dianggap gak mau noleh lagi pada sanggul dan kebaya. Apalagi pada penari-penari tradisi semisal tari jaipong, janger, lengger, dll.

Bahkan di era media sosial, seperti muncul upaya menyaingi. Akun sebelah langsung mem-posting gambar gadis kebaya seksi bertuliskan, "cintai bumi pertiwi".

Ketika saya menulis buku Zira yang terinspirasi oleh wanita berjilbab, kebetulan ada akun teman berjilbab yang sengaja mem-posting fotonya yang sedang tidak berjilbab di rumah. Dia memang biasa begitu kalau gak sedang bepergian. Tetapi karena dia orang baik, saya langsung kasih tanda LOVE. Tetapi setidaknya hal demikian bisa berupa kesengajaan pada orang-orang tertentu.

Tetapi lucunya kalau kita sedang mem-posting foto, video, atau ulasan puisi tentang tari-tari tradisi. Ada juga yang dari akunnya menyindir, "maklum sudah mabuk tari-tarian".

Atau, kalau kita lagi banyak menyoroti problematika hidup yang pasti selesai oleh keberadaan agama. Karena sifatnya tulisan terbatas, maka kita hanya bisa mengedepankan satu-dua contoh kasus. Tetapi mungkin karena merasa yang ia fikirkan tidak masuk ke dalam satu-dua contoh itu, maka ia pun segera menuduh kita memaksakan kehendak, memaksakan pemikiran.

Yang mencolok dan serba bikin gak enak, kalau kita lagi menyoroti kehidupan masyarakat beragama lain, kita dituding tidak Islami. Tetapi anehnya, saat tulisan kita kental dalil Islamnya, masih juga ada yang menyebut tidak pluralis. Sok agamis. Saya yakin yang begini ini ulah sedikit orang yang vokal dan gak ngerti apa-apa, pola fikirnya tidak mendasar dan tidak terstruktur atau tidak terkontruksi dengan baik, atau bersengaja bikin masalah.

Terlepas dari proses ini akan menuju tingkat kecerdasan dan kedewasaannya, tetapi berlama-lama membiarkan kondisi medsos yang buruk rupa ini tidak bagus juga. Kita harus terbuka, punya kritik konstruktif. Sebab ini bagian dari sukses literasi dalam ber-medsos.

Itu sebabnya ketika saya menulis buku TAGAR, Tarian Gapura, karena tersadarkan ada beberapa puisi berjudul Tarian Gapura, saya tergoda untuk menulis puisi, Tak Ada Gapura. Tetapi karena ujung-ujungnya bakal menguatkan posisi gapura, akhirnya lahirlah puisi berjudul, TAK ADA GAPURA KEDUA. Tetapi ini judul 'atawa', alias judul dalam kurung dari sebuah puisi berjudul, Tarian Pengembara. Untuk sekadar 'merusak' imajinasi. Apakah seorang pengembara yang liar masih butuh gapura?

Selamat membaca dan selamat menjelang pergantian tahun.

TARIAN PENGEMBARA
(Tak Ada Gapura Kedua) 

pengembara yang menemui titik perjumpaannya
akan mengecup daun dan sujud sedalam tanah

diucapkannya kalimat-kalimat suci
yang telah mengantarkannya
disenandungkannya harapan-harapan
yang selama ini dipuja-puji
ditarikannya liuk gelombang api
yang memanasi semangatnya

sampai tubuhnya berkilau
antara embun dan keringat yang terbakar

tanda cinta dan gairah asmara
ditelanjanginya
sebagai persembahan
yang disaksikan langit tinggi

karena bagi pengembara sejati
yang selalu menemui tempat kembali
tak pernah ada gapura kedua
seperti ia lahir
hanya dari satu ibu

-----

DINDING PUISI 143

Pada awalnya saya merasa aneh, bahkan gak enak hati, depan peristiwa yang melatari tulisan saya di media sosial facebook (FB) kali ini. Tapi lama-lama saya mulai merasa ngerti juga.

Saya menulis begini di FB: "Ada ukuran berat, panjang, keliling, panas-dingin dll. Tapi katanya ada juga ukuran Upam. Mau pilih yang di atas Upam atau yang di bawah Upam? Ada-ada saja". Upam adalah panggilan kecil saya pemberian bapak tercinta, Soetoyo Madyo Saputro, seorang Kepala Kantor Perkebunan yang selalu menjuluki dirinya Wong Alas atau Wong Kebon. Suami dari (Ustj. Hj. Dra.) Siti Djalaliyah.

Konon menurut ukuran itu. Kalau memilih yang ukurannya di atas saya (Upam/Pambudi), mereka adalah manusia-manusia dewasa dan cerdas. Aset bangsa, tulang punggung negara. Bahkan bisa sampai ketemu manusia tingkat paling super yang serba segala-galanya. Sebab paradigma, orientasi dan pola hidupnya pasti kesejahteraan. Sedangkan kalau memilih yang ukurannya di bawah saya, pasti berbanding terbalik dari itu.

Lalu dengan cara ukur seperti itu saya seperti digiring untuk memikirkan bangsa ini. Yang artinya saya harus terpaksa berkesimpulan, bahwa sesungguhnya semua yang menikah atau berkeluarga, cenderung berada di atas saya. Saya harus benar-benar bersyukur. Sebab semua pasti berparadigma, berorientasi, dan berpola kesejahteraan. Bahkan kalimat minimalnya, "Masih bisa disyukuri". Itu pola fikir berkesejahteraan.

Lalu kalau saya harus menjawab pertanyaan, "Lantas bagaimana dengan orang yang berani memilih Upam menjadi pasangan hidupnya?" Karena gak enak nyebut, "Dia nekad", akhirnya saya harus menjawab jujur, "Dia istimewa dan pemberani".

Melalui tulisan ini kita masih melewati pintu buku antologi puisi saya TAGAR, Tarian Gapura (JM-Bandung), dalam rangka menjelang pucak pergantian tahun. Untuk itu, kali ini saya pilihkan puisi berjudul, TARIAN DITINGGAL PERGI. Pada buku TAGAR, puisi ini adalah puisi ke 98.

TARIAN DITINGGAL PERGI

sebuah desa yang penuh cinta
selalu meminta maaf atas sukacitamu
karena takut kurang memberi
meskipun kau pergi
untuk menjemput kemenangan lain
yang sudah lama diamanahkan

sebuah kota dengan musik pagi
di rumah dan terminal
memang bicara dunia yang luas
seperti isi diskusi para pendekar tujuh kota
yang ototnya dawai gitar
tidak pernah mengusirmu
pindah hidup ke tempat lain

sebab ngilu rasanya ditinggalkan
sebab ke mana rindu bisa ditumpahkan
bahkan sepertimu selalu menyebut
kapan bisa pulang
hati rasa meradang
meskipun pada sebuah buku
sudah menulisi halaman baru

pada sebuah rumah kampung
dengan satu anak tekukur
sedih bahagiamu mendengar suara pertamanya
terpatah-patah dan lemah
ya, seperti perkutut yang juga mengeja
sebelum kelak manggung gunung
cerita mana yang boleh ditinggalkan?

bahkan
kepada yang tercinta sebuah rumah
sukaduka telah menegak tiang-tiang
membangun kamar dan halaman
susah payah di dapur dan ruang tamu
siapa berani berkata, segera tinggalkan?
sebab kehangatan sudah menjadi
novel-novel di ruang baca
menjadi teropong jendela ke arah langit
dan pintu menuju surga

bahkan
pada sebuah negara tempat Allah setia
siapa tidak pernah berkata,
"Apa aku dan Allah harus menggempurmu?"

-------

DINDING PUISI 144

Saya singkong, saya kembang ganyong (canna/ bunga tasbih). Dengan sebutan itu saya (kita) tidak prustasi. Meskipun anak singkong itu identik dengan kampung, dengan kebun, sedangkan kembang ganyong identik dengan bunga tanpa wangi. Bahkan sering disebut bunga pagar, bunga dadah, atau bunga trotoar. Biar enak dipandang, jarak dekat maupun jauh, di sepanjang aspal jalan yang berkilau terik, tanpa perlu pasang hidung untuk menghirup wanginya.

Bukti kita tidak termasuk generasi prustasi adalah rekaman pada puisi saya dalam buku TAGAR, Tarian Gapura (JM-Bandung) berikut ini:

TARIAN KEMBANGGANYONG

tak ada melarikan diri ke sepi
sebab ini bukan tarian prustasi
atau teriakan minta dihargai
oleh waktu yang sudah habis
atau seperti suara camar
pada palung laut
kembangganyong telanjang matahari
di seluruh hari yang terbuka
seperti marka-marka kesaksian
dihargai atau tidak oleh suatu ketika

meskipun lahir dan kelak mati
dari kembang tujuh rupa
ia juga membahasakannya dalam
kalimat yang lain, ciumlah
kembangganyong wangi dari eloknya
bukan dari ujung hidung yang tertipu

semerbak warna-warna
adalah hijau-hijau saja
nikmat segala-gala
cuma syukur belaka

ia mudah tumbuh di mana saja
sejak Allah berfirman, tumbuhlah!
maka ia olah tanah
olah tempat kerja
memajukan seluruh potensi
kehadiran dan prestasi
sehingga di meja sidang para malaikat
telah ditinggalkan kalimat
di ujung pulpen yang basah dan hangat,
"Telah kau terbangkan sayapku
ke mana kau suka
tak ada satupun alamat terlewat"
------

Puisi Tarian Kembangganyong dari buku TAGAR ini saya pilihkan sebagai persembahan jelang puncak tahun baru. Sebab optimisme itu utama. Ia kebutuhan pokok.

Sebagai muslim, sesungguhmya kalau bicara api optimisme, kita tidak bisa melepaskan diri dari tradisi OBOR MUHAROM atau DAMAR HIJRAH. Sukacita tahun baru Islam yang tak lekang oleh waktu itu. Tetapi karena tahun baru Masehi di Indonesia selalu dirayakan oleh bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, maka spirit Muharom itu pasti tidak bisa lepas. Melingkari hati baik yang sedang melakukan tasyakur bi nikmah (syukur nikmat).

Maka saya bilang, kalau anggaran pemerintah atau anggaran daerah bisa turun untuk berbagai seremoni atau even tahun baru Masehi, maka seyogyanya demikian pula untuk semarak tahun baru Hijriah. Meskipun ada sedikit khas yang berbeda, kesemarakan tahun baru Masehi selalu terjadi pada beberapa hari sebelum dan pada malam pergantian tahun, sedangkan pada tahun baru Hijriah mulai dari momen malam pergantian tahun hingga selama satu bulan Muharom. Terbukti dengan terselenggaranya berbagai even vestifal Muharom.

Catatan khusus mengenai tahun baru Masehi bisa dibaca dalam tulisan saya di blog Cannadrama, tentang pemberlakuan kalender nasional dan nasionalisme tahun baru.

Salam bhineka tunggal ika.

-----

DINDING PUISI 145

Buku adalah kubu, judul postingan Jose pagi ini. Berisi selain foto diri pakai blangkon, ada hasil scan kliping koran berjudul 'berburu harta karun di pasar loak'.

Melihat judul begitu, saya langsung teringat puisi. Sebab dalam persajakan di Indonesia, temuan kata semisal kata buku yang dipadukan dengan kubu memang selalu menarik. Enak di kuping, enak di mulut. Apalagi terasa pas untuk mengangkat makna kubu di situ sebagai sentrum keberpihakan atau kecenderungan manusia beradab. Berhikmah pada isi buku. Apalagi pada iklim gencar-gencarnya gerakan literasi belakangan ini. Meskipun jangan salah ---ini juga rahasia menafsir, ada yang bisa mengungkapkan maksud yang sama tetapi justru degan kalimat, buku bukanlah kubu.

Persoalannya, puisi tidak cuma urusan itu. Tidak cuma terinspirasi pemadanan, pemaduan, dan permainan kata belaka. Sebab selain sebagai sebuah wujud kehadiran yang orisinil pada kali pertama, dalam bahasa apa, bahkan di tanah mana, puisi hadir untuk mengusung persoalan universal. Yang artinya, ia pun bebas diterjemahkan ke dalam bahasa apapun di muka bumi ini. Yang kadang-kadang dari sisi rasa ucap dan dengar, bisa didapati aura yang sama dengan puisi aslinya meskipun tidak mudah, tetapi seringkali sangat sulit. Untungnya hal demikian bisa sangat-sangat dilupakan, sebagai hal tidak penting. Kecuali ketika suatu huruf atau tanda sudah menjadi kode khusus pada satu puisi tertentu.

Berikut ini ada satu puisi untuk persembahan jelang puncak tahun baru. Dari buku antologi saya TAGAR, Tarian Gapura (JM-Bandung) berjudul Tarian Desember. Puisi ini termasuk salahsatu puisi yang lebih mengedepankan maksud kalimat, sehingga jauh lebih mudah kalau diterjemahkan ke dalam bahasa lain, karena tidak memberatkan sisi rima persajakannya. Jelas, sebuah pilihan.

TARIAN DESEMBER

kau tahukah?
bahwa akhirnya semua surat-surat resmi
dan surat-surat negara
menulis Desember sebagai akhir tahun?

dulu kita membayangkan
kalau saja semua surat itu bernyawa
dan bisa terbang bebas di udara
dari pengirim ke alamat tujuan
maka dapat dipastikan, setiap hari
langit kita selalu penuh surat-surat
salahsatunya, pasti dari seorang mahasiswa
yang minta kiriman uang
dan pada setiap Desembernya
banyak bercerita ahir tahun
sebagian berisi ucapan Natal
dan menanyakan atau mengabarkan
liburan tahun baru

lebih lampau dari itu
waktu kanak-kanak kita membayangkan
dulu burung-burung merpati bisa dipekerjakan
untuk mengantar surat
termasuk yang berupa gulungan daun lontar itu
maka dapat  dipastikan
jutaan mata di permukaan bumi ini
bersukacita menatap merpati-merpati terbang
dan kalau mereka kerja di hari kemarin
sebelum ada email dan marak handphone
untuk mengantar segala surat
--- termasuk surat cinta antara desa dan kota
mungkin langit kita penuh merpati
dan awan yang bertugas mengantar hujan pun
bisa cemburu
sampai merpati harus menghibur,
"Tidak cuma di semua surat-suratku,
bahkan seluruh mendung, gerimis
dan hujanmu mengabarkan Desember"

ketika media on line, media sosial
dan surat elektronik marak jadi pilihan berkabar
selain surat-surat yang masih terus terkirim
di situ pula sukacita dan harubiru
terkabarkan
dan jika mesti menjadi gambar
langit Desembernya akan padat garis-garis kontak telpon
dan kontak on line antar pribadi
yang kita doakan, semoga tidak hitam kelam

lalu kita akan termangu di ujung tahun
mungkin sambil menyentuh rambut kekasih
dalam percintaan yang baru dimulai
di puncak membara
bahwa ternyata kita sudah demikian ihlas
menjadi bagian dari cerita Desember
sehingga tak ada peristiwa bulan
dan tahunnya yang diingkari
-------

Meskipun puisi tersebut menunjukkan kelonggaran dalam hal rima sajak, tetap saja secara prinsip rima sajak adalah sisi intrinsik puisi yang tidak bisa ditolak. Bahkan dalam puisi Indonesia baris-baris bernuansa pantun pun masih kental, meskipun tidak berarti kuat. Pada puisi Tarian Desember kita bisa mengambil beberapa contoh kalimat: //terbang (A) bebas (A) di udara (A)//, //lalu (U) kita akan termangu (U) di ujung (U) tahun (U)//, //puncak (A) asmara (A)//, //lebih lampau dari itu (U) waktu kanak-kanak kita membayangkan (A/AN) dulu burung-burung  (U) merpati bisa dipekerjakan (A/AN)//, dll.

Sengaja sambil menyelisik selintas soal rima, sebenarnya Tarian Desember saya angkat setidaknya karena dua hal. Pertama, Desember sebagai representasi tahun Masehi adalah bagian dari penanggalan resmi surat-menyurat di Indonesia sejak masa penjajahan dulu. Sehingga mesti dibedakan antara semangat perjuangan melawan penjajah dengan penguatan penggunaan tahun Masehi sebagai kalender administrasi nasional. Yang mengakibatkan momen pergantian tahunnya juga menjadi pergantian tahun nasional.

Kedua, puisi itu selain bertema "Desember" sebagai bulan terakhir menjelang pergantian tahun, juga secara prinsip dalam kebangsaan kita, menunjukkan pertanda tak ada gerakan mengingkari Desember.

-----

DINDING PUISI 146

Menjelang pergantian tahun, hal mendasar dari proses kontemplasi manusia adalah menemui keyakinan pada titian pijakan ke arah langkah masa depan yang didorong oleh kesaksian dan kesadaran atas peristiwa-peristiwa yang telah lewat.

Masa lalu kadang diperlakukan bukan peristiwa apa-apa. Karena yang terpenting keselamatan dan kesejahteraan hari ini dan masa depan. Tetapi segenap kabar baik dari Nabi SAW adalah kabar dari masa lalu sekaligus cahaya agung dari masa depan. Karenanya kita dibuat hidup dalam keyakinan penuh. Selain itu, pengalaman dan prestasi berharga di masa lalu adalah kebanggaan yang akan terus memotivasi diri. Sebab semakin banyak catatan kelamnya, semakin kita tidak mungkin membanggakannya. Bahkan rasa marah kita yang mengakibatkan berhijrah, sesungguhnya sedang membangun masa lalu bagi masa di depannya yang membenarkan teori, membangun masa depan sesungguhnya dalam rangka menciptakan kebanggaan pada masa lalu. Sebab di situ letaknya motivasi bagi segenap genarasi.

Tadi pagi saya komentar di akun Facebook teman Zaid, gara-gara dia memposting gambar cara minum kopi ala paratua di masa lalu. Yaitu menuagkan air kopi ke atas pisin atau lepek, lalu menyucrupnya. Tidak dari gelas atau cangkir langsung. Saya bilang, saya cuma mengikuti mBah Slamet. Suatu tradisi baik. Almarhum mBah Slamet adalah ayah dari ibu tiri saya di sekitar Gunung Slamet sana. Seorang guru ngaji di Langgar yang pernah datang pada suatu mimpi dengan cara yang unik. Beliau turun dari langit dalam jubah putih lalu masuk ke tubuh saya. Membuat saya merenung panjang setelah bangun. Bahkan sampai hari ini.

Mengapa minum pakai pisin? Pertama, dalam permukaan yang lebar, air kopi yang lagi panas tinggi akan cepat dingin dan bisa segera dicucrup. Kedua, sebagai proses menikmati sensasi nyucrup rasa kopi, tidak perlu buru-buru. Ketiga, di jaman lampau itu bagian dari persiapan tatakrama. Sebab jika tiba-tiba ada teman datang dan dirasa terlalu lama bikin kopi baru, apalagi di masa-masa penjajahan adalah masa yang serba sulit, maka tamunya cukup diberi pisin baru untuk menuangkan air dari gelasnya. Itu sebabnya kita tidak perlu nyucrup dari gelas langsung. Dan masih banyak alasan lain tentu saja.

Tidak saja peristiwa masa lalu yang kita alami sendiri, bahkan kebaikan masa lalu dari siapapun adalah guru hidup bagi kita. Termasuk adab pada cara-cara minum kopi itu meskipun hari ini sudah tidak populer.

Termasuk saya akan terus membanggakan profesi guru ngaji di kampung pada sosok mBah Slamet. Sebab itu bisa 'merasuk' ke dalam diri saya dalam versi yang lain, dalam profesi apapun, termasuk sebagai seniman.

Karena sosok mBah Slamet juga mengingatkan saya pada ibu tiri saya di Sukorejo sana yang sangat saya cintai, maka dalam suasana hari ibu ini saya mengucapkan, "Selamat hari ibu". Seraya berdoa, semoga ibu kandung saya di Jakarta yang kian sepuh, Ustj.Hj.Dra. Siti Djalaliyah selalu sehat dalam lindunganNya. Amin.

Kini kita akan selami lagi satu puisi dari buku antologi puisi saya TAGAR, Tarian Gapura (JM-Bandung) yang berjudul TARIAN ERA:

TARIAN ERA

tahun 90-an karyawan pabrik
masih diangkut truk
menuju lokasi kerja

tahun 2000-an karyawan merasa dapat kemajuan
diantar jemput pakai bis
merasa lebih dimanusiakan

menjelang 2020
jalan-jalan padat motor karyawan
dan Allah bilang,
kenikmatan jangan diingkari
tetapi jangan diingkari juga
kesempatan masa depan yang lebih baik

maka jalan raya dan dunia kerja
adalah hiruk-pikuk harian
ketika keringat-keringat
dibaca dari dekat
oleh malaikat sepanjang jalan

tidakkah kau tahu?
truk itu cuma melaju ke tempat yang di tuju
bis karyawan itu melesat bukan ke arah sesat
dan motor-motormu menderu
memburu waktu yang telah tentu
lalu siapa berani ngebut ke arah tanpa alamat
dan tak pernah kembali?

----

DINDING PUISI 147

Hari ini ada yang menarik, setelah kemarin menikmati suasana penuh empatik, Hari Ibu, 22 Desember. Saya menulis status di media sosial FB, "Sungguh berat menjadi seorang ibu. Saya ---meskipun laki-laki--- telah membuktikannya. 11 tahun saya hidup bertiga dengan dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Menjadi ayah yang sibuk kerja sekaligus menjadi seorang ibu. Sejak si Bungsu blum sekolah".

Satu kesulitan terbesarnya adalah, ketika sebagai seorang ayah, saya mau mencoba tantangan kerja di tempat jauh yang bisa lebih menjanjikan, kepada siapa saya mesti menitipkan kedua anak saya? Sementara ketika itu kami hidup di suatu kota yang tidak ada saudara kandung atau famili dekat. Semuanya tetangga biasa, teman kerja dan kenalan-kenalan. Payah juga.

Setelah mendapat beberapa komentar dan banyak LIKE, saya pun berkomentar, "Maklum, bukan karena sulit mendapatkan pasangan baru. Sebab itu bisa mudah buat laki-laki. Tetapi prinsip merasa cukup memiliki satu istri dan beberapa anak buat seumur hidup, kadang berbuntut seseorang menjemput takdir, tidak terfikirkan untuk menikah lagi setelah hidup menyendiri. Samasekali. Tetapi setelah dapat banyak masukan baru mulai direnungkan".

Lalu ketika ada yang mengagungkan figuritas para ibu sekaligus memuji pengalaman saya, saya malah terbakar untuk meletupkan penyebab utama saya bisa merasa bangga menjadi seorang ayah sekaligus seorang ibu. Saya katakan, "Karena sejak kecil saya punya dua orang ibu yang yang sangat saya cintai. Ibu kandung yang hebat dan ibu tiri yang juga tak kalah hebatnya".

Begitupun kepada ibu mertua. Saya selalu merasa, ibu mertua adalah sosok yang sangat utama dan mulia. Sehingga menemui keluarga besarnya, saya tidak merasa sedang menyatukan dua kubu keluarga, melainkan sedang memasuki keluarga pribadi yang sangat besar. Sampai saya merasa telah memiliki Indonesia Barat dan Timur. Bahkan selingkar bumi.

Pada suasana peringatan Hari Ibu sekaligus menjelang puncak pergantian tahun, kita masih menyelami antologi puisi saya TAGAR, Tarian Gapura (JM-Bandung). Satu dari sedikit puisi yang bisa dihidangkan di catatan Dinding Puisi ini adalah puisi, TARIAN IBU-IBU:

TARIAN IBU-IBU

puluhan ibu-ibu pawai di jalanan
lewat asar tapi hari belum habis

jangan kau bayangkan
mengacung-acungkan penggorengan
atau panci, atau peralatan dapur lainnya
atau mengacung-acungkan sayur kangkung
atau sayur-sayur lainnya
jangan harap juga mengacungkan kepalan tangan
apalagi arit dan golok

kali ini mereka memakai pakaian tradisi masing-masing
suasana menjelang senja yang teduh
mereka sulam ke dalam warna-warna yang indah

cukup mengagetkan
sebab cuma perwakilan dari satu kabupaten
tetapi bisa mewakili seluruh propinsi se Indonesia
mereka seakan ingin meneriakkan,
"Indonesia di sini!"

diiringi musik tradisi setempat
sebagai perlambang hidup
di sebuah daerah yang khas
menari-nari sepanjang jalan
diselingi yel-yel, "Indonesia! Indonesia!"

ternyata ada hoak viral di media sosial
kemarin hingga tadi pagi:
suatu daerah telah kehilangan Indonesia
ibu-ibulah penyebabnya
karena mereka dianggap serba tak tahu apa-apa
cuma bisa menuntut kebutuhan dapur melulu

mereka menuju ke lapangan luas
berkumpul semua di sana
terus saja menari-nari
senyumnya lebih mekar dari matahari

sampai sebuah pernyataan diteriakkan
oleh seorang utusan di mimbar terbuka,
"Ibu-ibu telah mendidik dan mengumpulkan anak-anaknya!
Laki-laki dan perempuan semuanya!
Anak-anak Indoesia!
Di atas tanah merdeka!
Untuk tugas besar membangun negara!"

lalu pergumulan senja itu pun pulang
menyemut di seluruh jalan
setelah membubuhkan tandatangan
di punggung matahari
untuk kabar dunia

-----

DINDING PUISI 148

Saya menikah dan punya dua orang anak dengan seorang wanita Manado. Sampai anak-anak saya sebut, anak JAMAN, Jawa Manado. Dalam syariat pernikahan yang Islami.

Tentu, pergumulan saya dengan keluarga besarnya adalah berkeluarga dengan orang-orang Kristen. Bahkan secara etnis, juga berkeluarga dengan keluarga Cina dan Budha. Berbagai tradisi mereka sering saya hadiri, terutama oleh anak-anak saya. Termasuk saya pernah ikut berkumpul di gereja.

Bagi saya, mengucapkan "selamat Natal" adalah hal biasa. Meskipun pada awal mula cukup dengan bersilaturahmi, berjabat tangan, lalu bersyukur dalam sukacita bersama. Tetapi lama-lama merasa ringan mengucap "selamat Natal" sebab itu bagian dari saling mendoakan antar saudara sendiri.

Sampai-sampai saya punya saran, kepada pihak yang merasa tidak perlu mengucap "selamat Natal" cukuplah berdiam saja. Baik-baik saja. Ramah-ramah saja. Karena itu artinya, sudah memberi rasa aman secara sosial. Tidak terganggu dan tidak mengganggu momen Natal saudara sebangsa se tanah airnya.

Menikahi wanita Manado dan punya keturunan darinya, secara khusus adalah kebanggaan bagi saya. Saya merasa telah memiliki Indonesia Barat sampai Timur, meskipun bisa terdengar pragmatis, sebab menikahi tetangga sebelah yang satu suku pun pasti berangka cinta tanah air. Tetapi para Wali pun sama. Ada yang menikah dengan keturunan dari China sana. Padahal orang Jawa nikah dengan orang Jawa esensinya sudah kerukunan dan penyelamatan manusia di muka bumi.

Bahkan ketika saya dan istri mendapat cobaan berpisah, itu tidak bisa memisahkan percintaan Barat dan Timur. Sebab sejak dari awal saya sadari, memang seperti sebuah misi baik. Hingga saya tetap berkeluarga baik dengan keluarga besarnya. Terlebih-lebih anak-anak saya.

Dan satu hal yang utama. Berada dalam lingkaran hidup seperti yang saya alami, ternyata sama sekali tidak pernah merusak keIslaman saya. Tetap utuh. Bahkan saya berulang-ulang menamatkan ngaji tafsir Al-Qur'an setelah menikah. Juga mengadakan pembinaan Remaja Mesjid setiap minggu. Selain tamat juga baca Kitab Injil.

Selanjutnya masih dalam suasana jelang puncak tahun baru, kita masih menyelami beberapa puisi saya dari antologi TAGAR, Tarian Gapura (JM-Bandung). Kali ini berjudul, TARIAN 40.

TARIAN 40

seorang diri dalam hening
simpuh sujud di atas sajadah
bukan sepi yang mati
ia ihlas yang berserah
segala yang menyembah

tak penting dituding beragama apa
tak penting dari jalan beraliran apa
tak penting dikafir-kafirkan
tak penting diiblis-syetankan

kebenaran dan kemuliaan cuma satu
serba tepat ke arah menuju
keberangkatannya fitrah manusia
kemuliaannya sukacita manusia
kesejahteraannya bagi segenap manusia
kesendiriannya menunjukkan manusia

ini sajak 40
syair yang mengalir di jantung penyair
berpusar di satu titik
40 di depan diberi salam
40 di kanan didoakan kebaikan
40 di kiri diberi rindu dan cinta
40 di belakang sukacita teman seperjalanan

ini kalimat 40
kata-katanya kelahiran manusia
jalan-jalan kembali
40 yang lepas ke segala arah
40 yang meninggi ke puncak sampai
40 yang mendalam sedalam sujud
40 yang menegakkan Rumah Allah

ini warna 40
kesemestaan di tangan pelukis
yang mempertemukan titik-titiknya 
40 tema yang terserak
40 kabar dan kesaksian
40 kebebasan dan sukacita
40 keselamatan

ini padi 40
pertumbuhan yang menghargai waktu
panen keberkahan sepanjang jaman
40 nilai benih yang ditabur
40 pesan masa tanam
40 penyelamatan pemeliharaan
40 runduk yang menakjubkan

seorang diri dalam hening
simpuh sujud di atas sajadah
dirinya semesta diri
heningnya semesta hening
simpuhnya seluruh hati yang luruh
sujudnya segenap jiwa yang percaya

sehingga setiap pribadi
adalah pemimpin masyarakat dirinya
membawa nama Nabi
membawa nama Wali 
-------

Menurut prinsip #Nalikan, puisi pendek saya yang berpola 3-2-5-2 (semisal: //kulempar// sauh// dari dunia// tumbuh//), 4 adalah perlambang mengulang-ulang syariat kebaikan selain angka 2, sebab 2x2=4. Juga berarti spirit persegi Ka'bah, rumah Allah. Kelompok-kelompok yang berjamaah. Kemanusiaan yang berketuhanan yang maha esa, yang bertauhid. Dll.

------

DINDING PUISI 149

Sehabis tahajud, trus mau apa? Kuingat ibunya anak-anak yang beberapa bulan terakhir datang dari Manado. Tentu sekarang sedang lelap bersama anak-anak, apalagi di luar hujan deras. Suhu dinginnya sampai ke dalam rumah. Kuingat juga, sejak dari tanggal 24 kemarin dia beberapa kali menerima dan mengirim ucapan Natal berkali-kali, sebagian lewat media facecall. Ya dini hari ini tanggal Natal, 25 Desember.

"Selamat Natal, saudara-saudaraku". Tentu tidak pernah salah bagi saya yang Muslim mengucapkan demikian melalui media sosial, sehabis doa-doa tahajud pula.

Lalu saya membuka buku antologi puisi saya TAGAR, Tarian Gapura (JM-Bandung). Maklum, beberapa hari jelang puncak pergantian tahun ini saya memang bermaksud menyuguhkan beberapa puisi dari dalam buku ini. Mengajak pembaca menyelami TAGAR. Setidaknya sedikit berbagi, buat yang tidak sempat memiliki atau membeli buku saya ini.

Kali ini kita dapati puisi dalam malam hujan, sesuai dengan suasana di luar sana. Judulnya TARIAN HUJAN. Mengandung narasi yang sangat bersahaja, tetapi mengangkat adap cinta yang mesra pada suatu ketika. Ketika kita tak mungkin tidak bersaksi dan bicara kepada Tuhan dan malaikatnya. Bukankah pada jiwa-jiwa beriman yang damai-tenang, tak pernah ada peristiwa kecil atau remeh untuk setiap yang menyentuh kejiwaannya?

TARIAN HUJAN

kuhapus basah air mata di pipimu
yang membawa hujan kelam masa lalu
di sini, tepi jalan yang terendam
depan toko buku yang sudah lama tutup
ketika air naik semata kaki
dan tempias sampai juga
dan kita menggigil menunggu waktu

hujan hari ini seperti ketelanjangan yang menari
membasahi tanganmu seperti pada kulit apel
dan menarik dua hati kita lepas
menantang dingin dan terbang
bermain-main curah
bermain-main sudah

setelah ini, setelah sedikit reda
akan kupacu motorku
segera ijin malaikat, peluk aku erat
bukan semata aku takut kau jatuh
tapi aku takut, kamu kurang menyentuh
atau aku kurang rapat
sebab perjalanan kali ini akan lama
seumur hidup cinta
------

Kalimat, "yang membawa hujan kelam" adalah kesaksian anak manusia tentang adanya dosa dan duka, yang mesti diawali dengan kata yang sangat meyakinkan, "kuhapus". Di sini, dalam hujan dinihari Natal ini, saya merasakan proses putra mahkota menjadi raja bagi hidupnya. Membuka rahasia duka meninggalkan dosa-dosa manusia, memahami cinta. Tentu pada idiom kekasih yang sedang berkasih-kasihan kita akan menimba pengalaman langit, menyelamatkan ritual percintaannya.

"Bukan semata aku takut kau jatuh". Kalimat ini memang mengandung kekhawatiran jatuhnya anak manusia dalam kehidupan. Hal yang dewasa dan normal, karakter yang hidup, bukan kematian jiwa. Tetapi bukan semata persoalan itu. Tetapi ada satu soal lagi yaitu, kesadaran, kesaksian dan komitmen cinta-kasih yang kurang saling menyentuh jantung utama dan titik persoalannya. "Sebab perjalanan kali ini akan lama//
seumur hidup cinta".

-----

DINDING PUISI 150

Seorang penyair muda yang sulit meyakinkan ayah ibunya tentang kepenyairannya, mungkin akan merasa punya jurus ampuh ketika menjelaskan, "Saya bisa kerja, dapat uang, lalu menikah. Kalaupun tidak jadi direktur perusahaan besar atau kecil, setidaknya masih bisa jadi office boy atau tukang ojek on line. Tetapi, saya tidak bisa meneriakkan kalimat 'anti miras dan narkoba' atau 'anti korupsi dan perusakan lingkungan hidup' kalau tidak bersyair". Dengan jawaban itu setidaknya ia berharap bisa menahan orang tuanya untuk tidak berkata, "Makanlah puisimu, maka kamu akan sengsara dan menyia-nyiakan istri dan anak-anakmu". Dan dia tidak bisa menjelaskan puisi-puisi cintanya yang sarat pesan humanisme-universal, sebab dalam keadaan demikian akan sangat menyita waktu dan terdengar seperti ocehan orang mabuk.

Bagaimana dengan istri? Seorang istri adalah patner utama bagi seorang penyair, pacar seumur hidup, bidadari langit. Sebab kepenyairan juga kerja spiritual, kerja kejiwaaan. Dapat dibayangkan kalau seorang penyair tidak memiliki kemenangan cinta, sukacita istri dan anak-anaknya.

Ketika istrinya telah paham bahwa kepenyairan adalah kerja sosial yang serius, ia tidak akan banyak menuntut uang atau hadiah dari puisi. Sebab itu seperti menggunting sling titian keluarga. Selanjutnya ia bisa sepakat, uang kepenyairan adalah juga uang dari hasil kerja harian suami yang seorang penyair. Apapun profesinya. Meskipun tidak bisa dipungkiri, di dunia puisi juga ada uangnya. Misalnya melalui undangan naik panggung khusus, penjurian, terlibat kepanitiaan, atau melalui penerbitan-penerbitan.

Dalam suasana jelang puncak pergantian tahun, saya yakin catatan seperti ini masih penting. Apalagi di Indonesia kesemarakan panggung puisi masih menjadi media komunikasi sosial yang disambut antusias di mana-mana, di berbagai momen. Kalaupun tidak dibawa ke ranah jualan puisi, kita terus bicara tema 'penyair bukan manusia pengangguran'.

Dari sisi keartisan, penyair adalah seorang seniman yang berproses kreatif dengan syair, sekaligus public figure dengan segenap ciri khasnya, yang sikap vokalnya terhadap banyak hal sangat berpengaruh.

Menutup tulisan ini, kembali kita masuki atologi TAGAR, Tarian Gapura (JM-Bandung). Kali ini kita selami puisi berjudul, TARIAN TAHUN BARU.

TARIAN TAHUN BARU 

apa dukamu dengan kedatangan tahun baru?
sebab dibenci atau tidak, dia datang juga
apa lukamu dengan macam-macam tahun baru?
bukankah setiap hari pun sesungguhnya
pergantian tahun ?
tempat syukur dan memohon belas kasih Tuhan
hijrah sepanjang jaman

kalau bencimu pada bahaya petasan,
mabuk-mabukan, hura-hura tanpa batas
dan tindak kriminal
malaikatmu tentu satu marah
tetapi tahun baru tidak pernah bisa dilewatkan
selalu melintasi jatahnya
menyebut dirinya karunia

kalaupun kita mengurung diri dalam sepi
mungkin beberapa teman
dan anak-anak akan menatap langit
menyebut pesta khusus
para bintang menikmati pergantian tahun
atau riang dengan hiburan televisi dan radio
lalu apakah anak-anak akan kita jewer, dipaksa tidur?
atau akan kita tarik paksa dari depan panggung musik
lalu kita kunci di dalam gudang hukuman?
atau yang sedang menikmati kuliner spesial
kita paksa memuntahkannya?

lalu bagaimana kalau hari ulang tahunnya
mereka rekayasa sebagai pergantian tahun?
setidaknya sukaduka setahun telah ia lewati
lalu di halaman rumah atau di sudut kota
bikin hiburan musik dan tari
berdoa bersama sebelum meniup lilin
lalu meniup terompet ramai-ramai
dan menyalakan kembang api?
bukankah seperti itu juga pergantian tahun?

lalu apa salahnya merayakan sekali setahun
bersama masyarakat sekampung, sedunia
semarak di mana-mana
berdoa apa saja?
bukankah dari dulu sungguh romantis
seorang kakak yang keliling naik sepeda
membonceng adiknya
lalu membelikannya terompet dan kembang api
yang seperti direngkuh dari kumpulan bintang-bintang itu
sebagai hadiah tahun baru?
------

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com

Dikumpulkan grup DINDING PUISI INDONESIA Faceboook, Kamis, 06022020


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG