DINDING PUISI 173

DINDING PUISI 173

Nusanrara bukan wilayah o'on. Indonesia tidak identik dengan masa lalu intelektualitas yang suram. Seorang mantan petinggi Majapahit saja ketahuan sembunyi di pohon terang di Kendal oleh seorang Sunan. Setelah itu ia bersyahadat. Terlepas seberapa persis kisah itu, tetapi pesan moralnya jelas sangat dalam dan humanis. Penuh cinta dan kedamaian. Sehingga aroma tradisi Hindu pada penduduk muslim di sana tidak otomatis bertentangan dengan kehidupan masyarakat Islam. Kalaupun logika kita memulainya dengan 'kecurigaan' yang normal, justru era penjajahanlah yang mulai mempertentangkan keharmonisan tradisi lokal itu untuk kepentingan sepihak. Termasuk ketika disebut-sebut masyarakat kraton Jawa merendahkan harkat wanita, tidak sepenuhnya benar. Sebab di era silam sebelum mereka datang nama-nama tokoh wanita Jawa sudah harum. Punya harkat yang tinggi. Merepresentasikan kaum wanita. Kalaupun secara pendidikan formal disebut-sebut terbelakang, justru kaum penjajahlah yang menolak kemajuan kaum wanita pribumi, bahkan bangsa pribumi secara menyeluruh. Tetapi di belakang hari ditudingkan pada kondisi pendidikan di tanah Jawa yang buruk. Catatan ini sekaligus membenarkan garis perjuangan Kartini untuk kaumnya, yang selama ini dipinggirkan oleh penjajah itu.

Masyarakat Jawa memang 'memingit' wanita dari pergaulan yang jahat. Lebih baik hidup salehah di rumah-rumah daripada jadi 'kaum salah'. Di sisi lain mereka tidak punya kepercayaan kepada kaum penjajah. Apa boleh buat? Pada saat yang sama kaum pendatang itu memang memainkan praktik diskriminasi dan penciptaan serta pemanfaatan konflik sosial, sesuai dengan tujuan  kekuasaan dan politiknya.

Masyarakat kita di masa silam sangat melek literasi. Itu ilmu tinggi. Berpengaruh juga ke mana-mana. Paham siloka dan mampu mengamalkannya menjadi gerak hidup lahir-batin sehari-hari.  Buktinya, banyak pesan-pesan yang tersimpan di balik bahasa simbolik mampu diterjemahkan dan dijadikan pedaran dalam percakapan harian. Termasuk pesan-pesan berat di balik dakwah melalui pertunjukan sastra lisan wayang. 

Tetapi apa yang terjadi di belakang hari? Kita seperti dibebani oleh mental terjajah yang sangat panjang. Sehingga melulu terjebak pada kesulitan menafsir pesan di balik pesan atau simbul-simbul. Tidak seperti dahulu kala. Sebagian dari kita masih seperti murid Kartini yang baru disadarkan untuk mau belajar dan mulai membaca rangkaian huruf-huruf. Apalagi kalau menyangkut kitab suci, menafsir seperti hal yang sangat tabu. Ditakut-takuti. Diawas-awas! Bagi suatu keadaan tertentu bahkan bisa dianggap mengganggu kekuasaan secara politis. Sehingga terjadi proses pemandulan yang terprogram dan terstruktur. Yang akibatnya justru bisa melahirkan ledakan aksi sosial berbahaya, yang jauh dari tafsir yang lurus dan lapang. Sebab lahir dari amarah keterkekangan. Bukan dari kemerdekaan menafsir yang perbedaan-perbedaaannya sudah teratasi dan teruji oleh dialektika yang cair, saling mengingatkan agar tidak melenceng. Tidak ada 'tafsir otoriter' yang bunuh diri.

Dalam sastra, dalam puisi pun terasa sekali. Kita kadang terjebak pada pola bermain-main bahasa belaka. Sedangkan logikanya, cuma pragmatis berkeras diri pada sikap-sikap yang disebut-sebut melandaskan diri pada hak azasi manusia yang universal. Padahal mbuh ra ruh (entahlah, gak tahu-menahu). Masyarakat sastra sendiri dibuat gagap pada pemahaman sukses literasi. 

Masyarakat sastra yang saya maksud adalah para penulis atau pembuat karya sastra, serta masyarakat penikmatnya yang terpengaruh dan saling mempengaruhi. Kalau ditegaskan mereka mesti apresiatif, jalan ke arah itu hari ini masih sangat terjal dan berat. Sebab puncaknya, sukses literasi sastra itu bukan lahirnya penulis-penulis baru, melainkan terbangunnya keadaan masyarskat yang bisa menjalani hajat hidupnya karena memiliki kesadaran sastra yang penuh. Sensitif terhadap pesan simbul dan kata-kata. 

Khusus dalam hal keagamaan. Selama pandemi corona belakangan ini, kita bersyukur ada peningkatan keterbukaan menafsir proses beribadah. Itu melek pesan utama, namanya. Sebab menafsir tidak boleh sembarangan atau salah menafsir. 

Kemayoran, 2020

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG