DINDING PUISI 174

Saya mau ngasih ilustrasi sedikit tentang sastra, khususnya puisi, sebagai gerakan sosial. Gak apa-apa berkaitan dengan pengalaman saya.

Sejak usia SMA saya sudah nulis untuk koran. Tetapi saya sudah berfikir, apa mungkin hidup saya kelak sepenuhnya dari tulisan koran? Saya rasa tidak, karena saya ngambil SPG, sekolah pendidikan guru ---setelah dapat bisikan Bapak, lupakan AKABRI karena gak ada dana. Dugaan saya, saya akan terus sibuk di depan murid-murid Indonesia. Lalu soal menulis? Saya jawab, akan terus jadi kerja sosial saya seumur hidup. Meskipun tetap ada honornya. 

Selain itu saya juga berfikir. Secara sosial menulis di koran itu hanya mengandalkan dua kunci. Mendapat jalan dari pihak koran karena tulisannya bisa sering muncul, atau cuma diberi keberuntungan sekali-kali saja tulisannya muncul. Agak lucu memang, kerja kreatif kita sepenuhnya diatur semau koran. Atau tepat disebut, logika koran. 

Akhirnya saya putuskan, tetap aktif di komunitas sastra setiap hari dan seminggu sekali wajib siaran radio membawakan acara Apresiasi Sastra. Ini 100% lebih masuk akal. Dan sudah berjalan puluhan tahun. Sayangnya, tidak ada satu koran atau TV pun yang wawancara soal geliat Apresiasi Sastra di Radio itu. Saya kalah oleh satu berita pertunjukan panggung yang tiba-tiba heboh karena dimuat koran terkenal dan diberitakan oleh TV tertentu. Meskipun dalam kapasitas seniman/penyair saya juga pernah diwawancari koran dan TV lokal. Tetapi bukan soal acara Apresiasi Sastra itu. 

Sampai suatu hari fikiran saya bercabang dua. Tetap ngajar dikelas, dengan harapan 10 tahun lagi baru diangkat PNS, atau belok kanan detik itu juga jadi penyiar/jurnalis radio. Apalagi saya juga punya sertifikat peserta terbaik nasional pada suatu program pendidikan jurnalistik di Gedung Muhammadiyah Jakarta. Akhirnya saya cium pintu kelas lalu menatap tiang bendera di halaman sekolah sambil berkata dalam airmata, "Saya akan di radio saja, tapi aula radio adalah tempat para pelajar berkumpul. Kalian saya tunggu di sana". Dan itulah yang menjadi kenyataan selama bertahun-tahun. Sebab hidup tidak cukup dengan berkhayal. 

Saya tahu, Bung Karno, Panglima Dirman, bahkan bapak saya, Soetoyo Madyo Saputro, pada awalnya adalah guru.

Ya. Konsep awalnya, saya mau jadi guru dengan penghasilan dari situ dan kerja sosial sastranya di komunitas sastra, koran dan radio. Tapi akhirnya saya pilih konsep kedua, saya jadi Orang Radio Indonesia, sementara kerja sosial sastranya di komunitas sastra dan lebih banyak di acara Apresiasi Sastra Radio. Dari situ saya sering jadi juri sastra dan narasumber. 

Sebutan " #OrangRadioIndonesia " saya buat dan saya populerkan di media sosial selama bertahun-tahun dengan satu alasan kuat, orang radio se Indonesia yang bersatu dalam satu profesi itu, ada yang dinaungi PRSSNI, ada yang non-PRSSNI, ada yang RRI, ada yang Radio Pemerintah Daerah, dan satu lagi Radio Komunitas. 

Belakangan ini, ketika program penerbitan bùku makin menemui kecanggihan dan kecepatan produksinya. Kerja sosial sastra itu bisa melalui buku-buku itu. Sementara dapur rumah bisa terus ngebul dari sumber hariannya, termasuk dari menjadi petani, PNS, atau manajer di sebuah perusahaan swasta. 

Saya akhiri tulisan ini dengan kalimat, "Saya bangga sastra Indonesia, sastra dunia".

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG