DINDING PUISI 180

DINDING PUISI 180

Siap, Sahabat. Kini puisi saya melihat Pancasila Bung Karno.

Saat saya menulis catatan ini terlepas dari pro-kontra RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) yang heboh belakangan ini. Sebab saya sedang ingin bersuara murni tentang ideologi yang disampaikan Bung Karno, representasi gerakan bangsa Indonesia. Bukan Bung Karno sebagai pribadi manusia. Tetapi oke boleh disebut juga, "Bung Karno" sebagai kemanusiaan yang humanis-universal, sebagai bangsa Indonesia. 

Setahu saya, benar, Bung Karno yang meneriakkan dan memopulerkan nama atau sebutan PANCASILA untuk pertama kalinya, yang kita artikan lima sila. Ini pula yang secara historis dan filosifis menjadikannya sangat mengakui sila-sila Pancasila sebagaimana yang kita kenal hari ini. Yaitu: 

PANCASILA

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Kelima sila dalam sila-sila yang sampai saat ini kita kenal, yang merupakan sila-sila sesuai Piagam Jakarta dan Pembukaan UUD 1945, dengan penyempurnaan kalimat sila pertama itu, sangatlah tidak bertentangan sama sekali dengan lima sila yang disampaikan Bung Karno. Begitupun sebaliknya.

Saya menyebut "penyempurnaan kalimat sila pertama" karena sesungguhnya tidak terjadi penghilangan, melainkan 7 kata yang tidak ditulis itu sudah menjadi bagian dari maksud Ketuhanan Yang Maha Esa, bagi umat Islam. Tentu syariat Islam yang dimaksudkan adalah yang membumi di Indonesia yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam bahasa lain, membudaya di Indonesia. Selain itu, menurut saya, istilah "penghilangan 7 kata" itu sangatlah kurang tepat dan kurang arif. Sebab dengan mengaji sila pertama itu, umat Agama lain juga punya "syariat" sesuai agamanya masing-masing. 

Rumusan 5 sila Bung Karno adalah sebagai berikut:

PANCASILA

1. Kebangsaan Indonesia (nasionalisme)

2. Internasionalisme (peri-kemanusiaan)

3. Mufakat (demokrasi)

4. Kesejahteraan sosial

5. Ketuhanan yang berkebudayaan

Menurut saya cara penyampaian sila dalam rumusan Bung Karno itu menggunakan pendekatan, proses berfikir, berkesadaran, dan berkesaksian sebagai manusia sekaligus sebagai sebuah bangsa. Dimulai dari kenyataan terbangunnya sebuah bangsa yang bernegara, yang terbangun dari pribadi-pribadi manusia Indonesia yang pada saat yang sama berada pada ruang humanis-universal dengan manusia sedunia, lalu melihat proses hidup yang berdemokrasi, dalam rangka membangun kesejaherraan sosial, yang diridoi oleh Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. 

Saya sama sekali tidak melihat pelecehan atas penyebutan Tuhan pada urutan kelima. Sebab mustahil kesadaran, kesaksian dan kecerdasan Bung Karno melakukan itu. Apalagi selain keutamaan prinsip berketuhanan, Bung Karno pada saat menyampaikan itu harus menggunakan rasa kebangsaan Indonesia. Seluruhnya. Tanpa kecuali. Bangsa yang berketuhanan yang terbangun dari prinsip, kemanusiasn berketuhanan  

Ketika berhadapan dengan prinsip berketuhanan, Bung Karno menegaskan sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa seperti yang kita kenal sekarang ini. Tanpa harus menyalahkan apa yang telah disampaikannya. Karena pendekatan untuk penyampaian urutannya berbeda. Terbukti selama Bung Karno menjadi presiden, lima sila yang kita kenal adalah lima sila yang sekarang ini. 

Lalu bagaimana dengan Trisila yang kita kenal yaitu, Sosio-nasionalisme, Sosio-demokratis, dan Ketuhanan? Nampak jelas ini hanya menyebut dengan cara lain kelima sila sebelumnya. Yang artinya, lima sila itulah pokoknya. Yang kemudian menuju pada kesaksian dan penerimaan atas lima sila yang hari ini kita kenal. 

Sementara untuk Ekasila, Gotong-Royong, saya memiliki pemahaman yang jarang disebut-sebut banyak orang, meskipun tanpa sadar mereka telah mengakuinya dalam gerak hidup sehari-hari. Gotong royong bagi bangsa Indonesia adalah hidup bekerjasama dalam pembangunan di segala bidang sebagai sebuah bangsa yang berketuhanan. Sehingga dalam kontek kebangsaan, bernegara, dan spirit nasionalisme, kita biasa mengakui, gotong royong adalah manusia Indonesia dan prikemanusiaannya, lebih tepat dan jelasnya "kemanusiaan berketuhanan". Dalam prinsip kemanusiaan berketuhanan inilah kita wajib menunjukkan keyakinan hanya Allahlah yang maha mulia, maha adil, dan maha menentukan hidup kita sebagai pribadi-pribadi dan sebagai sebuah bangsa. Melihat dengan kacamata yang universal ini, kita hanya akan menuju pada pembenaran atas kebenaran lima sila yang kita kenal selama ini. Termasuk dengan tegas menyatakan, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah prinsip utama yang menjiwai sila-sila lainnya. 

Terakhir ingin saya katakan, dalam buku saya, DINDING PUISI INDONESIA (J-Maestro, Bandung, 2019), telah diuraikan bahwa bangsa Indonesia, bangsa sastra, bangsa syair ini, telah terbangun jiwa raganya dari puisi-puisi penting, mulai dari Sumpah Pemuda, Proklamasi, sampai lagu kebangsaan, Indonesia Raya. Bab 76 itu saya buat pada detik-detik Proklamasi pukul 09:45, 17 Agustus 2019. Kalau saja hari ini bisa mengulang menulis itu, ingin rasanya menyertakan Pancasila. Setidaknya supaya kita bisa menikmati dan menjalani sedapnya seperti memahami puisi. Atau Pancasila akan segera dimuat pada buku yang terbit berikutnya 

Kemayoran, 25 06 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG