PENGANTAR BUKU ANTOLOGI PUISI BUMI CINTAKU

BUMI CINTAKU adalah antologi puisi yang ditulis dalam suasana pandemi virus corona di Indonesia, beberapa saat setelah pandemi ini menjadi berita dunia karena menciptakan suasana mencekam di Wuhan, Cina. Segala aktivitas nyaris terhenti, terutama yang berupa kerumunan manusia, berubah menjadi aktivitas harian terbatas di rumah-rumah. Kota-kota sepi dan 'mati'. Masyarakat dihimbau rajin mencuci tangan atau memakai hand sanitizer, memakai masker, jaga jarak, dan menghindari bepergian. Para petugas khusus kerja keras menyemprotkan disinfektan di mana-mana dan membagikan masker. Pemerintah sibuk mengurus bantuan sembako untuk sebagian masyarakat di rumah-rumah, mengatasi masyarakat yang terpapar virus, serta menguburkan pasien yang meninggal dengan protokol kesehatan yang serius. Juga memberlakukan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) untuk memutus mata rantai penyebaran virus ini ke mana-mana. Itu sebabnya dalam antologi ini meskipun tidak secara langsung memotret suasana itu selayaknya pada banyak buku yang sudah terbit, termasuk dalam buku yang memuat puisi-puisi corona saya (Corona, Penebar Media Pustaka, 2020), tetapi banyak memberi kesaksian dan penyadaran mengenai 'harga sebuah rumah', eksistensi dan esensi rumah. Baik rumah dalam 'r' kecil yang berarti tempat berkumpul keluarga kecil dan keluarga besar, maupun rumah dalam pengertian 'r' besar, yaitu bumi kita yang melingkupi seluruh masyarakat manusia dalam interaksinya dengan lingkungan di sekitarya, dalam naungan Allah yang maha kuasa. 

Sebagai perpaduan, hubungan integral yang tak mungkin putus, antara rumah keluarga dan bumi yang luas ini, maka dalam banyak puisi akan kita temui perlambang-perlambang alam. Tentu akan menjadikan kita selalu dekat dengan alam, mencintainya, peduli, dan bahu-membahu dalam kerja nyata menyelamatkan bumi rumah manusia.  

Kebetulan saya juga pernah mengajak diskusi tentang interaksi sosial di dalam rumah (INSOSDARUM) dan intersksi sosial di luar rumah (INSOSLURUM) dengan beberapa mahasiswa jurusan  PAUD di Jakarta yang tengah membuat skripsi. Pada diskusi itu, kita tidak cuma memotret anak-anak di tengah keluarga dan di tengah masyarakat saja, tetapi sekaligus melihat kenyataan kehidupan manusia dan lingkungan sekitar dan di lingkungan alamnya yang luas. Termasuk ketika memasuki masa-masa indah, masa-masa bercinta, masa kerja dan bermasyarakat luas, serta mulai membangun bahtera rumah tangga.

Selain itu selama beberapa tahun menjadi aktivis lingkungan, khususnya dalam kegiatan senibudaya, saya bersama penggiat seni Ali Novel dan teman-teman di Purwakarta telah terlibat aktif dalam berbagai lomba dan pentas seni bertema cinta lingkungan hidup. Terutama dalam rangka memperingati hari lingkungan hidup sedunia. Dari situ saya merasa perlu melahirkan tulisan-tulisan yang menginspirasi cinta lingkungan, apa dan bagaimanapun bentuknya. 

Menjadi lebih menarik ketika mencoba menyelami penggunaan kata BUMI di Jawa Barat yang berarti RUMAH. Juga penggunaan frase Sukabumi sebagai nama kota dan Kabupaten di Jawa Barat, yang punya arti rumah kebahagiaan atau bumi yang disukai. Sehingga dalam proses kreatif melahirkan puisi-puisi yang tampil dwibahasa dalam satu buku ini, saya bekerjasama dengan seorang penyiar radio senior di Kota Sukabumi yang memiliki kecintaan pada bahasa Inggris sejak usia SMP, yaitu Hj. Astri Kania, SE. Ia putra seniman biola, Sunarya Hidayat, jurnalis dan pensiunan Departeman Penerangan, suami dari Tien Sunarya, pensiunan Pemda Kabupaten Sukabumi sekaligus penyiar radio pemerintah daerah Sukabumi. 

Membuat antologi puisi dwibahasa, Indonesia-Inggris, serupa ini tentu membuka ruang apresiasi yang lebih luas dan bersifat segera. Karena para pembaca buku-buku puisi Indonesia yang berasal dari berbagai negara kebanyakan hanya bisa melakukannya dengan membaca versi Inggrisnya. Ini suatu terobosan yang sangat masuk akal. Meskipun dalam proses alih bahasa, Astri Kania ibu dari dua putra, Muhammad Idris Setiawan dan Muhammad Siddiq Ismail itu, merasa masih butuh jam tebang sangat banyak, terutama untuk menyelaraskan rasa dan kedasyatan multi interpretasi pada puisi, tidak sekadar merubah ke bentuk bahasa lain.

Selamat menikmati.

Membaca cahaya bulan pada lingkaran mangkuk sup di meja makan keluarga, adalah romantisme alam, pembuka yang hadir pada buku Bumi Cintaku ini. Betapa tidak, kita adalah manusia-manusia yang hanya bisa berjalan, bahkan bercengkrama dalam cahaya. Ketika malam seperti beranda rumah tempat mengaji dan mengukur kerja siang. Kita seperti selalu dalam perjalanan pulang dengan lampu-lampu kehidupan sepanjang jalan. Sehingga tak perlu tersesat dalam rasi bintang kegelapan. 

Sejak Desember 2019 demi mendengar maraknya pemberitaan, kita tidak bisa menolak, kita yang sangat kaget dan gelisah sesungguhnya sekaligus berhikmah memasuki putaran waktu seperti pada puisi berjudul WAKTU CORONA (CORONA TIME): //... kita seperti menemui tempat pulang/ ke rumah cinta yang nyaman/ berpusar lagi/ pada kesetiaan-kesetiaan//. //.... di rumah/ kita membangun siang dari lampu malam//  

Suasana kegelisahan corona juga melewati Ramadan, bulan yang dibagi tiga itu, dan Syawal 1441-H, membuat mesjid dan lapangan sholat kosong sepi, tetapi corona tidak mampu merusak jiwa-jiwa mesjid di rumah-rumah, di seluruh titik peta . Sehingga sebuah puisi berjudul MALAM SERIBU BULAN (NIGHT OF A THOUSAND MONTHS) pun tetap lahir selamat: //... seperti dalam pesta cahaya/ ketika langit merendah/ membagikan warna-warna kemilau//. //dan kita setia pada rumah malam/ merindukan malam seribu bulan//.

Tetapi untuk kehidupan manusia dan lingkungan hidup di seluas bumi, kita masih terus lantang seperti pada puisi, LAGI KITA MINTA (AGAIN WE ASK FOR): //... maka lagi kita minta/ negara menepati janjinya kepada Tuhan/ melestarikan paru-paru kota/ taman-taman segar/ dan sungai-sungai yang bersih//.

Lalu kita akan mengarungi samudra multi pesan lewat 10 puisi Bumi Cintaku. Salahsatunya melalui puisi BUMI CINTAKU 1 (THE EARTH OF MY LOVE 1): //... terbang di atas harum daun/ ingatanku membawamu/ pada tumbuh dan hangatnya hidup/ di tengah pohon//. //tak ada polusi/ hijau lestari//.

Gilang Teguh Pambudi
Penyair / Budayawan 
------




TENTANG PENULIS 

Gilang Teguh Pambudi yang bernama KTP Prihana Teguh Pambudi selama ini dikenal sebagai Seniman Radio Indonesia, penyair, dan Pembina Komunitas Seni. Lahir sebagai Anak Perkebunan di perkebunan kopi Curug Sewu, Kendal, Jawa Tengah. Tetapi sejak usia anak-anak sudah domisili di perkebunan cengkeh Sukabumi, Jawa Barat. Putra dari Sinder Soetoyo Madyo Saputro dan Ustj. Hj. Dra. Siti Djalaliyah. Saat ini domisili di Kemayoran, Jakarta. 

Setelah meninggalkan bangku mengajar di kelas, SD-SMP-SMEA, berbekal bakat seni dan sertifikat peserta terbaik nasional pendidikan jurnalistik FP2M di Gedung Dakwah Muhammadiyah Jakarta (1991), memilih fokus aktif di radio sebagai jurnalis, penyiar, Programmer dan Kepala Studio. 

Penyair yang pernah aktif sebagai jurnalis radio di LPS PRSSNI Jawa Barat dan beberapa radio ini, juga dikenal sebagai narasumber acara Apresiasi Seni dan Apresiasi Sastra di radio-radio. Menulis di koran sejak kelas 1 SMA/SPGN. Puisi-puisinya telah terbit juga dalam beberapa buku, baik dalam antologi bersama maupun antologi sendiri.

Data diri kepenyairannya bisa dibaca dalam buku Apa Dan Siapa Penyair Indonesia yang diterbitkan oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia. Beberapa buku antologi puisi terbarunya yang telah diterbitkan J-Maestro adalah JALAK (Jakarta Dalam Karung),TAGAR (Tarian Gapura), Mendaki Langit, 100 Aksi Puisi Pramuka, dan ZIRA (Planetarium Cinta), serta catatan serba-serbi puisi, Dinding Puisi Indonesia. 

Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com 
------

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG