DINDING PUISI 181

DINDING PUISI 181

Gini aja. Kalau ada yang nanya, berapa duit keuntungan dari nerbitin buku senibudaya? Atau, apa keuntungan nerbitin buku sastra? Daripada salah jawab, kalau pertanyaan itu ditujukan ke saya, saya jawab polos gini, "Kalau saya lagi 'ngadosenan (menjadi dosen)' atau lagi jadi narasumber depan 7 atau 1000 orang, buku-buku itu bisa saya tenteng dengan khusyu pake tangan kiri. Lalu saya akan bicara pake mulut dibantu tangan kanan. Nah kalau butuh contoh-contoh, saya tinggal bismillah membuka buku-buku di tangan kiri saya". Semoga jawaban ini bisa menenangkan dunia.

Sejak lama, sejak membawakan acara Apresiasi Sastra di radio tahun 1992, saya menyebut, penerbitan buku seni atau buku sastra, minimal memiliki kemenangan pengarsipan karya intelektual senibudaya. Berapapun jumlah cetaknya. Bahkan menurut saya, termasuk buku-buku komunitas yang terbit tanpa ISBN tetapi dimiliki oleh seluruh anggota komunitas dan jaringan masyarakat di sekeliling komunitas itu. 

Sekedar pembanding atas eksistensi buku komunitas itu, misalnya begini. Jika terbit buku komunitas apapun yang isinya meresahkan, pasti masyarakat dan aparat terkait dibuat resah. Dan akan memprosesnya sesuai hukum yang berlaku. Ini apa artinya? Artinya, buku komunitas itu bisa sangat penting, benar-benar sangat berguna, tetapi untuk yang sebaliknya dari itu, bisa sangat berbahaya. Lalu kita mau pilih yang mana? 

Selain itu mau sampai kapan penyair mengeluarkan bendelan kertas atau berlembar-lembar kertas dari tasnya ketika mau baca puisi di panggung? Kenapa tidak memilih cara simpel, mengeluarkan satudua buku yang telah diterbitkannya? Tentu, sambil promosi. Sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Sambil menyelam ke dalam gelas minum susu. Iya toh? Ya, selamat melamun terjual ribuan buku. 

Kemayoran, 01 07 2020
Cannadrama@gmail.com 
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG