DINDING PUISI 183

DINDING PUISI 183

Ya gak apa-apa. Biar aja. Dari dulu kan kita memang sudah biasa dengan pernyataan seragam atas dua suasana. Pertama, ada sebutan puisi yang kontemplatif, yang mendalam, atau sangat mesra dengan bunga kata yang menakjubkan dan dipuji-puji penuh nilai. Kedua, ada sebutan puisi yang lugas, sangat lugas, 'vulgar', demonstratif, seperti pekik, bahkan teriak-teriak. Lalu ada yang mengidentifikasi, antara puisi hati, atau puisi renungan dan puisi panggung. Ya, sekali lagi biar saja tetap begitu. Yang penting kan sampai kapanpun kita tidak akan pernah bisa menyalahkan yang sudah benar. 

Bahkan pada perjalanan proses kreatif seorang pribadi penyair, ternyata tidak sedikit yang memiliki keduanya sekaligus. Sekian persen karyanya masuk kelompok pertama, sekian persen puisinya masuk katagori kedua. Bahkan dalam satu buku yang diterbitkannya. Beberapa halaman bernuansa kelompok puisi pertama, sekian halaman yang lain kuat aksen teriak lugasnya. Mau apa? Mau diharamkan? Letakkan saja prinsip dan energi pengharaman itu untuk hal yang layak diharamkan. 

Bahkan saya berkali-kali bilang, hati-hati menyebut puisi dan belum puisi atau bukan puisi. Jangan sampai ceroboh dan arogan gara-gara ini. Sebab puisi-puisi yang dibuat para siswa kelas dua SMA pun sudah "puisi jadi". Oleh karena itu sebagai penggerak, saya pernah menggerakkan siswa SMA itu untuk bikin buku puisi Cinta Lingkungan dan Anti Narkoba. Soal mereka bakal jadi penyair atau tidak, itu urusan pribadi-pribadi. Tergantung panggilan jiwanya. Bagi sebagian besar mereka, merasa menjadi bagian dari aktivis lingkungan dan aktivis anti narkoba melalui pintu puisi sudah sangat membanggakan. Bagi para orang tua, secara prinsip mereka sudah benar, berada di dalam kegiatan positif dalam rangka mengisi masa remajanya. Bagi tuntutan dunia kreatif, daya kreatif mereka dalam banyak hal mulai bisa terangsang gara-gara pernah memasuki satu pintu kreatif. Menjadi daya rangsang yang kuat. Ya kan? 

Seseorang yang eksis dan kharismatik kepenyairannya, meskipun sebagai penyair yang memiliki popularitas yang khas, tentu akan terus mengarus waktu mengalir air. Asyik-asyik saja. Baja berjuang. Hadir terpanggil. Berkorban karena ihlas. 

Tapi salahkan puisi yang pada hakekatnya bukan atau belum puisi, yaitu yang salah kata atau kalimat. Jauh dari maksud. Salah penulisan. Salah nilai karena menyesatkan. Dll. Selebihnya, terutama bagi para panitia seleksi puisi, adalah urusan kesesuaian tema, banyaknya keunggulan, sensitifitas pada persoalan terkini, atau kadar karya yang menggetarkan, nenakjubkan atau memukau. Dll. Di sini subyektifitas itu bekerja. Ya, seksama. Asal tidak gila! Sehingga yang gak masuk "juara harapan tiga" harus diajari untuk gak perlu putus asa. Harus tetap macan kertas dan macan panggung. 

Sukses! 

Kemayoran, 05 07 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG