DINDING PUISI 185

Apa sih bersastra itu? Tentu bersastra adalah hidup dengan sastra atau hidup tak lepas dari sastra, baik sastra lisan maupun sastra tulis. Dalam makna sempit bersastra adalah kegiatan menulis atau membaca karya sastra. Makna sempit ini seolah-olah hanya meliputi sastrawan dan pencinta sastra belaka, tak ubahnya sebuah komunitas besar di tengah para manusia. Karya sastra yang menjadi penyebabnya. Tetapi dalam makna yang lebih luas, bersastra itu sesuai dengan maksud sukses literasi. Sampai pada suatu kulminasi, kehidupan masyarakat yang menjadi lebih baik disebabkan pengaruh sastra. Baik secara teks, karya yang ditulis dan dibaca, maupun secara lisan, bersumber dari sastra lisan, maupun karya sastra tulis yang pesan-pesannya sudah menjadi buah bibir dan berpengaruh baik ke mana-mana. 

Dalam ruang sastra yang luas itu, juga terdapat masyarakat yang cuma bersenang-senang dengan sastra. Tidak perduli pada eksistensi sastrawan atau kepenyairan bagi dirinya. Mereka sudah bahagia bisa tebar pesona dan tebar nilai baik melalui karya sastra yang menyenangkannya. Di antara mereka ini juga dikenal sebutan 'sang penyair', setidaknya sekadar pujian. 

Beberapa contoh mereka yang sedang bersenang-senang itu misalnya, mereka yang senang berbalas pantun baik di #radio maupun di media sosial. Atau senang bikin puisi-puisi cinta suka-suka. Kadang tanpa judul, kadang lebih menonjol gambar-gambar ilustrasinya, kadang berupa rekaman suara. Bagi laki-laki lajang yang romantis, ini tentu bisa jadi daya pikat bagi calon kekasihnya, begitupun sebaliknya. Ada juga yang hobi membuat kata-kata mutiara dan kalimat motivasi yang indah. Selain itu, di radio dikenal juga jam curhat (mencurahkan isi hati), yaitu waktu untuk menumpahkan unek-unek ke dalam surat cinta, entah ditujukan kepada seseorang, atau kepada sosok imajiner. 

Bagaimanapun dan seperti apapun, bersastra itu memang hidup di dalam sastra. Tentu sangat dipengaruhi oleh kadar pendidikan masing-masing pribadi, baik pendidikan formal maupun informal. Semakin terdidik suatu masyarakat akan nampak menonjol dan kuat sastranya. Tetapi sastra yang menonjol dan kuat itu pulalah yang telah melahirkan masyarakat sastra yang berkualitas tinggi. Artinya, sastra itu pasti mendidik. Termasuk mendidik yang sedang bersenang-senang itu. Kecuali kalau sastra cuma diam atau disembunyikan di Menara Gading, eklusif, kecil, dan tidak memasyarakat. 

Pada catatan sebelumnya saya menyebut, cerita wayang sebagai sastra tulis dan sastra lisan telah menyebar dan berpengaruh dasyat di tengah masyarakat Indonesia. Ini adalah bagian dari sukses literasi. Tidak selalu harus dilihat dari sisi, apakah mereka bisa bikin cerita yang serupa wayang itu? Bahkan masyarakat bisa menangkap makna-makna dalam simbul yang tinggi. Yang membutuhkan energi ekstra untuk memahaminya. Pertanyaannya, terlepas dari urusan wayang itu, apakah kondisi masyarakat yang 'cerdas sastra' demikian saat ini sedang baik-baik saja, sehat wal afiat, ataukah sedang menurun? 

Kemayoran, 08 07 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG