DINDING PUISI 187

Benar. Akan selalu menarik membandingkan dua jenis antologi puisi dari sisi teknis pembuatan dan pengumpulan puisinya. Yang pertama adalah antologi puisi yang direkayasa di kemudian hari setelah seorang penyair punya banyak puisi di 'laci meja kerjanya' di rumah. Karena sifatnya acak, puisinya ditulis pada waktu dan momen yang beragam, maka bisa terjadi sejumlah puisi itu diprediksinya bakal melahirkan beberapa buku atologi. Soal kekurangan jumlah puisi bisa ditambahnya sejalan dengan proses kreatif selanjutnya. 

Sebut saja ada penyair yang telah mengelompokkan sejumlah puisi menjadi tiga antologi. Untuk antologi pertama sudah siap 62 puisi. Dia bisa berfikir minimal harus ada 70 puisi, maka harus menunggu sampai jumlahnya cukup. Untuk antologi ke dua ternyata ada 103 puisi, setelah diutak-atik ia merasa perlu menggenapkannya menjadi 100 saja. Artinya 3 puisi diihlaskannya untuk menjadi penghuni laci, atau menunggu kemungkinan maju menjadi antologi yang lain. Atau segera hilang seperti puisi-puisinya yang telah hilang, termasuk yang telah ditulisnya di atas tisu dan cangkang rokok. Tetapi diyakini energinya akan terus menguat pada kelahiran puisi yang lain. Sementara untuk antologi puisi ke tiga, ternyata penyair itu baru punya 7 puisi. Maka bisa jadi ia akan menunggu sampai minimal 20 puisi atau 50 puisi. Sebab tidak haram menerbitkan buku antologi puisi yang cuma berisi 20 puisi. 

Soal jumlah puisi untuk satu buku antologi, kita tahu bisa ditentukan oleh Si Penulis, bisa juga hasil kesepahaman dengan pihak penerbit. 

Yang kedua, adalah antologi puisi yang sudah direncanakan sejak semula ketika semangat proses kreatif yang tinggi menggugahnya. Misalnya, saya pun pernah merencanakan untuk membuat sebuah buku puisi yang kuat sentuhan bumi dan pesona alamnya. Dengan harapan menjadikan kita tersadar sebagai mahluk alam yang diberi banyak nikmat sekaligus harus bertanggungjawab mengemban amanah di bumi rumah kita ini.  

Model penulisan ke dua ini bisa memakan waktu lama, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, tetapi bisa juga singkat, tidak sampai dua bulan. 

Sedikit berbagi cerita. Waktu usia SMA saya juga seperti anda, pernah mendapat tugas dari guru Bahasa dan Sastra, "Buatlah satu puisi", atau, "Buatlah satu cerpen". Karena saat itu cerpen-cerpen saya sudah mulai dimuat koran, saya merasa tidak terlalu tertantang lagi. Apalagi piagam Classmeeting dari puisi dan cerpen sudah didapat, Majalah Dinding juga sering memuatnya. Maka sesampainya di rumah saya malah memotivasi diri, "Harus membuat novel 100 halaman dalam 7 hari". Ternyata berhasil. Meskipun tidak untuk diterbitkan. Cuma latihan. 

Semoga catatan mengenai dua cara melahirkan buku antologi puisi ini bisa memotivasi kita untuk terus kreatif bersastra. 

Kemayoran, 09 07 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG