DINDING PUISI 188

Rasa lisan atau rasa ucap ternyata bisa menggejala pada sebagian pencinta sastra atau penyair kita. Mereka orang-orang yang konsisten berpuisi baik di panggung puisi, arena sastra, di media sosial, maupun di buku. Ada yang sekadar senang-senang, ada yang serius berproses dengan kerja sastranya. Bahkan disebutnya, panggilan jiwa atau panggilan hidup. Tetapi kalau dicermati seksama, ternyata dalam beberapa atau banyak karyanya selalu terdapat ketidaktepatsn dalam menulis, semisal kata "di atas" yang ditulis "diatas dan kata "dirundung" yang ditulis "di  rundung". Mereka tidak fasih memahami "di" pada "di atas, di depan, di beranda" dll adalah kata depan, sedangkan "di" pada "dirundung, dimasak, disimpan", dll adalah awalan. 

Sering juga kita menjumpai kalimat puisi yang ditulis semisal, "ibu ....... ". Menggunakan titik-titik tanpa kejelasan jumlah titiknya, bisa sampai tujuh bahkan sepuluh. Bahkan hampir tiap baris diberi titik-titik panjang. Padahal menurut pakem bahasa kata itu cukup ditulis, "ibu" atau, "ibuuu" atau "ibu...". Tentu tetap akan dibaca panjang, atau berkekuatan merenung panjang, tanpa harus membuat titik-titik yang serampangan. Uniknya, yang menggunakan titik-titik panjang atau salah menulis kata depan dan awalan ini ada juga yang lulusan S1. Termasuk yang menulis "di cium" bukan "dicium" itu. 

Kalau kita mau jujur, itu jelas-jelas bukan tipografi yang sangat-ssngat disengaja. Lebih disebabkan oleh ketidaktahuannya. Tetapi jika isi dan bangunan puisinya sudah tepat, editor bisa mengamini puisi-puisi semodel itu dengan menulisnya sesuai pakem yang benar. Menyempurnakan penulisan "disamping" menjadi "di samping". "Aku ........ mencintaimu" menjadi "Aku mencintaimu" atau, "Aku... mencintaimu". Sekali lagi karena kesalahan yang dilakukan penulisnya itu, bukan kesengajaan tipografi. 

Kalau yang dimaksud adalah tipografi kita bisa menulis semisal ini:

jantung ... 
... rindu
merindu .... dst. 

Pertanyaan sederhananya, mengapa pada puisi-puisi yang sudah tepat, kesalahan itu masih bisa terjadi? Ternyata rasa puisinya memang sudah menang. Kalau direkam dan diperdengarkan di #radio sudah tepat, tetapi begitu dilihat teksnya, keliru. Bisa begitu rasa ucap. 

Apakah kepenyairannya batal? Demi mendengar rekaman suatu pembacaan puisinya di panggung kita bisa takjub. Suka. Tetapi ketika editor menyempurnakan penulisannya, semestinya direnungi oleh penyairnya, mengapa itu terjadi? Sehingga keliru seperti itu tidak harus seumur hidup.

Yang kita bahas sekilas ini untuk teknis penulisan yang bersifat umum. Yang sudah dimaklumi banyak orang. Bahkan sudah lama masuk kurikulum pendidikan dasar 9 tahun. Sebab kita punya pengecualian, untuk kaidah bahasa yang belum umum tentu tidak banyak diketahui. Masih dimaklumi bersama. 

Bolehlah kita 'senyum' dikit soal kemampuan menulis. Suatu saat saya bertugas sebagai editor di radio berita Lemozin FM. Tentu harus mengangkat banyak berita dan informasi dari berbagai sumber sesuai kebijakan redaksi. Dari hasil reportase, wawancara, rekaman siaran langsung, tulisan koran dan majalah, juga dari media on line. Yang menarik di depan teks koran dan media on line, saya tidak cuma mengambil bagian berita atau informasi yang penting sesuai kaidah siaran, jurnalistik radio saja. Tetapi juga harus menyempurnakan sebagian tulisan wartawan yang salah-salah itu, meskipun untuk keperluan 'baca' / on air. Mungkin, mereka sangat berenergi tinggi untuk mendapatkan berita dan menaikkannya, tetapi kemampuan menulisnya lemah. 

Kemayoran, 10 07 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG