DINDING PUISI 190

DINDING PUISI 190

Gini. Gini. Oke. Karena tulisan ini dibuat pada malam Minggu saya mulai dengan ucapan, "Selamat Malam Minggu". Semoga semua sudah fasih mengerti. Sudah APAL, artinya tidak cuma diam di nama, di paham, tapi sampai ke gerak badan dan ucapan. Tapi buat yang berani ngaku belum, saya kasih tahu. Maksudnya, semoga kita merasa sampai di malam Minggu yang selamat, bukan di malam Minggu yang lain, yang tidak kita kenal, yang sesat. Atau, semoga kita adalah malam Minggu yang selamat itu. Atau, kita adalah penyelamat malam Minggu diri dan malam Minggu orang banyak termasuk malam Minggu keluarga. Dst.

Masih ingat lagu Tuhan, Sajadah Panjang, dan Dengan Puisi yang dinyanyikan Bimbo? Isunya, lagu-lagu itu diawali oleh kerjasama band legendaris Bimbo dengan penyair Taufiq Ismail. Inti kesepakatannya, Bimbo membutuhkan lirik yang bagus dari seorang Taufiq yang sudah dikenal kualitas puisi-puisinya oleh masyarakat. Pertanyaannya, apakah Taufiq benar-benar memberikan puisi-puisinya itu untuk boleh dinyanyikan, dimusikalisasi, ataukah cuma menyerahkan lirik, serangkaian kata-kata puitis untuk menjadi lagu-lagu? Sebab kalau berproses dengan cara pertama, maka benar, Bimbo telah melakukan proses musikalisasi puisi. Tetapi kalau menggunakan cara kedua, Bimbo hanya sebatas menyanyikan lirik puitis dari Taufiq, tak ubahnya seorang penyanyi membuat lagu bersumber dari sumbangan lirik dari seseorang. Ya, 100% sebuah lagu, bukan puisi. 

Tetapi sebagai orang yang makan bangku sekolah, kita tentu pernah membaca halaman buku pelajaran yang menjelaskan bahwa Tuhan adalah sebuah puisi dari Taufiq Ismail. Ketika itu benar, maka terjawablah sudah. Hukum yang sama juga akan terjadi untuk Panggung Sandiwara-nya Ahmad Albar. 

Maka rumusnya jadi gini. Pertama, musikalisasi puisi, baik berbentuk puisi yang dinyanyikan maupun pembacaan puisi yang diiringi musik, selalu diawali oleh eksistensi sebuah puisi yang utuh. Baik yang sudah terlebih dulu dikenal umum seperti puisi Aku Ingin dari penyair Sapardi Djoko Damono, atau belum. Sebab kita tahu, ketika lagu-lagu Ebiet G Ade disebut-sebut sebuah puisi yang dinyanyikan, maka katagorinya bermula dari syair yang belum dikenal publik. Belum dimuat koran atau masuk antologi puisi. Sebab ditulis lalu dinyanyikan, dikenal hanya melalui lagu itu. Tapi benarkah? Sebab kepada saya di rumahnya, Ebiet pernah mengaku "kesasar yang halal". Bermula dari niat bersyair, berpuisi, tapi hasilnya bernyanyi. 

Kedua, jika Tuhan, Panggung Sandiwara, dan Berita Kepada Kawan awalnya adalah puisi, maka kelak di kemudian hari masih terbuka peluang bagi masyarakat untuk menyanyikannya secara berbeda dari Bimbo, Ahmad Albar, dan Ebiet, atau membacanya diiringi suatu backsound tertentu, selain lazim bermusikalisasi yang sama persis dengan mereka. Kecuali jika sudah ada perjanjian antara Bimbo dll dengan pihak perusahaan rekamannya, bahwa khusus untuk musikalisasi puisi-puisinya tidak boleh dinyanyikan dalam bentuk lagu lain, hanya halal seperti yang mereka nyanyikan, atau sebatas dibuat versi-versinya. Misalnya versi Nasyid, versi keroncong, bahkan dangdut  dst. Tetapi kalaupun perjanjian semacam itu ada, tetap saja bisa ditembus oleh pembacaan lirik / syair di panggung puisi dan media sosial. Salahsatunya dalam Lomba Baca Puisi Tuhan, dll. 

Tulisan ini untuk melengkapi bahasan dengan tema serupa di catatan Dinding Puisi Indonesia yang lain.

Kemayoran, 11 07 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG