DINDING PUISI 191

DINDING PUISI 191 

Istilah menyampah dengan konotasi positif mulai kita dengar dan rasakan pada awal tahun 2000-an, ketika dunia internet makin merambah mulus di kantor-kantor dan pusat pendidikan. #Radio-radio tidak lagi memutar kaset dan cd tetapi mp3. Bahkan warung internet jadi primadona di setiap sudut kota. 

Istilah menyampah di internet tidak lahir dari orang yang tidak melek teknologi komputer, tetapi lahir dari para penulis yang makin rajin menulis melalui media on line, website dan media sosial. Dimaksudkan demikian, karena orang-orang kreatif yang daya menulisnya tak terbendung sebaiknya memanfaatkan media on line ini. Apalagi dengan menulis terus-menerus daya menulisnya akan semakin baik, bahkan pengalaman di situ akan menemui cara-cara, alternatif, strategi jitu dalam merangkai kata, berkalimat, dan menumpahkan gagasan. Ini cara cerdas.

Disebut menyampah karena tulisan yang ibarat tumpukan kertas atau buku tak terhingga banyaknya sampai menutupi bola bumi. Bukan dalam konotasi sampah rumah tangga atau limbah pabrik yang menumpuk atau dibuang sembarangan. 

Kalau dikaitkan dengan filosofi sampah di tengah manusia, sesuai kearifan sosialnya, kita mengenal istilah populer, "buanglah sampah pada tempatnya". Sebab sampah pasti dibuang. Tetapi ada tiga pemikiran. Pertama, sampah bagi sementara pihak, belum tentu bagi pihak lain. Bukan cuma soal daur ulang atau pemanfaatan sampah, tetapi bagi dia itu belum sampah. Kedua, bahkan sampah yang sebenar-benarnya sampah yang sudah wajib dibuang, kita berikan sebagai doa kepada bakteri pembusuk, atau dibiarkan pulang ke alamnya setelah terpakai manfaat baiknya, sambil mengucap maaf dan terimakasih kepada Allah. Semoga sampah kita bukan sembarang sampah, tapi beradab. Karena itu harus lurus sampai ke puncak, di buang pada tempatnya. Dan ketiga, adalah bab khusus tentang teori menumpuk teori, atau menumpuk prinsip-prinsip, malah seperti sampah yang digudangkan, sekali waktu diangkut kereta barang dalam peti kemasan. 

RgBsgus Warsono dari Lumbung Puisi menyebut juga, mungkin seorang penyair pernah punya puisi yang ditolak koran pemuatannya. Yang artinya, bukan karena kualitasnya buruk, tetapi lebih karena kebijakan redaksional dan keterbatasan ruang halaman koran. Jadi, puisi yang dimaksud tetaplah sampah yang berguna. Termasuk yang masih bisa didaur ulang. 

Kalau kemudian mau dipopulerkan juga menyampah di buku antologi puisi, kenapa tidak? Meski dunia buku jauh lebih dulu ada daripada ruang internet, tetapi dunia internet telah ikut membantu geliat penerbitan buku. Promosi buku lebih semarak di internet. Penjaringan karya atau naskah juga jauh lebih semarak. Dan setelah itu, mari menyampah di buku puisi. Selebihnya, alam yang bicara popularitas karya dan penyairnya, juga 'kepahlawanan'-nya.

Kemayoran, 12 07 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG