DINDING PUISI 192

Saya orang kecil yang berangkat dari kegiatan kecil. Dengan bangga saya ikut Agustusan di 'kampung', mulai dari nyumbang baca puisi sampai jadi panitianya yang harus super sibuk nyari hadiah atau piala untuk berbagai lomba, termasuk lomba baca puisi. Dari situ saya berangkat jadi ketua Remaja Mesjid dan Karang Taruna Kelurahan, meski tidak lama karena harus berangkat kerja ke kota lain. Pertama kali saya baca puisi di situ, baca puisi sambil tidur terlentang. Entah inspirasi dari mana, saya cuma menikmati tidur puisi di panggung Agustusan. Sebelumnya, kelas 2 SMA pernah baca puisi sambil menabur-naburkan daun. Mungkin gendeng maksudnya, harum wangi itu tumbuh dan manfaat daun, yang lalu ihlas pada takdir mengeringnya, sampai jadi pupuk bumi. 

Kemarin saya lihat anak saya yang masih berlatih main gitar, ukulele dan organ. Juga saya bilang, "Bagus, minimal semoga bisa mengiringi orang nyanyi atau baca puisi di panggung Agustusan". Entah mengapa, bangga sekali mengucap begitu. Semoga tetap doa besar. 

Ini Juli. Besok Agustus. Kita adalah orang-orang yang bangga pada kedatangan Agustus dan panggungnya.  Sebab hakekat seluruh panggung di Indonesia, sepanjang tahun, kapan pun, tak ubahnya panggung yang berbendera merah putih dan bersemangat kemerdekaan belaka. Hingga layak kita sebut, panggung Agustusan semua, atau arak-arakan, atau pawai budaya Agustus. Menidurkan puisi di situ rasanya nikmat sekali. Ya, tidur yang bangun. Nikmat yang terjaga. Kedamaian yang bekerja. 

Tahun 1991 saya pernah naik panggung lomba baca puisi di Taman Ismail Marzuki, depan juri penyair Hamid Jabbar. Baca puisi Diponegoro karya Chairil Anwar. Saya kalah. Tapi tetap puas bisa naik panggung seperti Diponegoro naik kuda, yang setia saya sebut Panggung Agustusan, meskipun pialanya piala Menpora yang identik dengan agenda Sumpah Pemuda. 

Sekadar mengingat marahnya, sebagai panggung Agustusan yang "terbakar dan berasap menyesakkan", pernah kita membaca betapa semakin sulit menaikkan seni tradisi tertentu di banyak panggung Agustusan. Entah itu karena alasan perdebatan yang lama gak cair-cair, maupun karena selera pada seni tradisi sudah kepalang turun drastis. Bahkan puisi-puisi bisa ditutup oleh dangdutan yang 'over dosis'. Padahal anggaran yang ditarik dari segenap masyarakat setahun sekali itu, juga berisi puisi-puisi. 

Kemayoran, 12 07 2020
Gilang Teguh Pambudi 
Cannadrama@gmail.com 
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG