DINDING PUISI 193

DINDING PUISI 193

Haha.

Naning Scheid menulis begini di akun FBnya: "Buku puisi saya terjungkal di poin ketiga; poin baru yang tidak ada di kriteria sayembara HPI 2019. 
Antologi puisi saya dalam lima bahasa, karenanya, saya tidak dapat berpartisipasi di acara Anugerah HPI 2020.

Selamat untuk Anda semua, para penyair Indonesia di dalam dan luar negeri, yang dapat ikut menyemarakkan sayembara ini.
Sukses untuk Anda semua".

Ya ya ya. Saya mau berala akad nikah, "Bagaimana, sah?" Tentu sah berkomentar demikian. Pengetahuan juga buat orang banyak yang masih merasa menemui 'kecanggungan' untuk memahaminya. 

Dari jaman dahulu kala kita kadang kaget bahkan kecewa atas suatu persyaratan lomba-lomba seni atau rekrutmen puisi untuk suatu antologi puisi yang diselenggarkaan oleh suatu kepanitiaan tertentu, termasuk panitia pelaksana dari suatu Dinas Pemda. Bahkan saya pernah membahas, soal sponsor produk yang mendekati telinga saya dan berbisik di tengah hingar musik, "Di partai puncak, mau tidak mau, selain kualitas vokalnya harus diperhatikan kulit penyanyinya. Sebab untuk kebutuhan promosi di TV, setidaknya untuk kali ini, yang kulitnya agak putih". Jelas, saya sebagai Ketua Panitia senyum ngerti. Bahkan langsung melirik ke deretan penyanyi yang cantik-cantik itu. Tapi ketika ditulis di media sosial terjadilah pro-kontra. Haha. Bagaimana lomba nyanyi ada relativitas cantik dan kulit putihnya? Menambahi subyektifitas juri aja. 

Panitia lomba seni tentu bebas membuat persyaratan. Di satu sisi itu kemerdekaan kreatif, di sisi lain itu adalah khas komunitas, organisasi, atau pihak panitia penyelenggara. Itu sebabnya seseorang bisa menang lomba di satu kepanitiaan di tingkat propinsi tetapi kalah lomba di kepanitiaan lain di tingkat kabupaten, bahkan ada yang tidak lolos daftar peserta. Mengapa? Memang bisa kita curigai, panitia-panitia itu ada yang tidak hebat. Tetapi bagaimana kalau peserta itu memang tidak memenuhi penilaian yang befsifat khas, padahal persyaratan kepesertaannya tidak bermasalah. Atau di tingkat kabupaten itu persyaratannya tidak terpenuhi.  

Seseorang bisa saja gagal di lombanya, bisa juga di persyaratan penerimaan peserta. Itu biasa. Lumrah. Seseorang yang tidak lolos di penjaringan peserta di suatu lomba tingkat propinsi malah lolos di penjaringan tingkat nasional oleh panitia yang beda. Semua kembali pada persyaratan yang akan menunjukkan out put yang beda. Ada juga yang menyebut, "permainan halal' panitia-panitia. 

Mengapa harus keberatan kalau ada persyaratan sbb: minimal 50 puisi dalam antologj puisi. Maksimal panjang puisinya 15 baris/ larik. Pada setiap puisi wajib memakai titimangsa. Dll. Pokoknya yang semakin terdengar aneh, tapi halal. Termasuk yang ini, untuk lomba antologi puisi bersama kali ini, tiap penyair dalam antologi itu harus menyertakan minimal 3 puisi. 

Smash. Pada waktunya saya pun bisa bikin aturan yang tidak perlu mengagetkan, peserta lomba puisi harus menunjukkan kartu anggota partai tertentu. Dan ini bersifat terbuka untuk umum. 

Kebetulan untuk Anugrah Hari Puisi Indonesia 2020 kali ini, kalau saya mau mengikutkan buku antologj puisi saya, pun terganjal seperti Naning Scheid. Karena antologi puisi saya, Bumi Cintaku, adalah antologi puisi dwibahasa. Dan saya bisa saja menyayangkan bahkan kecewa. Protes atas nama yang tetap ingin ikut juga boleh. Tetapi tidak bisa terlalu menghakimi panitia. Apalagi dalam antologi puisi dwibahasa atau multibahasa terkandung sedikitnya dua fokus, fokus pada penciptaan puisi dan fokus pada prinsip penerjemahan. Ini bisa bikin mumet kalau dipaksakan. Kecuali kalau panitianya benar-benar siap.

Kemayoran, 16 07 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG