DINDING PUISI 197

Menulis puisi pendek, tidak lebih dari 12 baris/larik. Bahkan cuma 3-4 larik. Adalah kenyataan yang banyak dilakukan penulis puisi belakangan ini. Terutama di media sosial. Apapun nama puisinya. Kalau yang berupa ciptaan baru, ada yang diberi nama ada yang dibiarkan bebas begitu saja. Secara umum cukup disebut, puisi pendek. Saya sendiri mulai menulisnya sejak tahun 1998, lalu mulai membacakan puisi singkat ala SMS di #radio sejak awal tahun 2000-an, lalu pertama kali menulis #Nalikan, puisi pendek berpola 3-2-5-2 atau 3-2-5-(1,2,3,4,5,6,7,8,9), Juni 2015.

Mengapa orang-orang demikian asyik menulis puisi pendek? Kalau dilihat dari keberangkatannya, puisi pendek Indonesia itu lahir setidaknya karena tiga hal. Pertama, pengaruh sastra tulis dan sastra lisan di masa Nusantara silam yang serba pendek. Termasuk pantun, pekik, pribahasa, dan kata-kata mutiara berbahasa daerah. Kedua, hasrat untuk menumpahkan kecemerlangan gagasan, yang multi interpretasi sekalipun, dalam tanda/kode/sinyal, bahkan semisal lampu sen, kode SOS atau sirine sunami, kata atau susunan kata yang paling ringkas, tanpa mengurangi keindahan syair. Dan ketiga, bagian dari ekspresi dan eksplorasi, menjajaki proses kreatif yang paling baru. Tak bisa dipungkiri juga, sebagian terpengaruh Haiku, puisi pendek 5-7-5 Jepang itu.

Tapi khusus pada catatan singkat Dinding Puisi kali ini saya akan sampaikan poin kedua, yaitu tantangan berkelas, mengefektifkan kode/sinyal/tanda, kata, dan rangkaian kata yang ringkas. 

Di lihat dari dua kelompok penulis, kita akan melihat penulis pertama, yaitu para penulis yang sudah sangat ekspresif dan eksploratif. Menjadikan kepenyairan sebagai ruang dan posisi pengabdian segenap potensinya. Bagian dari kerja sosial yang nyata. Dan penulis kedua, yaitu para pihak yang sedang berproses belajar atau sekadar bersenang-senang, menghadapi tantangan, memberi isyarat singkat melalui puisi pendek untuk suatu raihan yang tercukupi. Sebab banyak itu sulit bisa dibatasi. Dan pesan-pesan utama dalam multi interpretasi memang tidak harus banyak, meskipun di tangan kurator, ahli bahasa, bahkan ahli kalam selalu akan ditemui hal yang sangat banyak. Sebagai karunia Allah yang tiada tara. 

Bab ahli kalam bisa kita bicarakan di lain waktu karena itu bersifat khusus dan mendalam. Juga bagian dari kebenaran dan kecerdasan Islam. 

Jadi, bersukacitalah kita. Memiliki ruang yang dititahkan alam, untuk menyiram subur potensi kebahasaan, intekektualitas dan imaji sastra melalui puisi pendek ini. Seperti saya bilang, hazanah besar kesusastraan Indonesia.

Mohon maaf. Catatan ini saya tulis di toilet pagi ini. Sekedar informasi, proses bersastra itu bisa dari mana saja, di mana saja. 

Kemayoran, 21 07 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG