DINDING PUISI 198

Pagi-pagi setelah mengunggah tulisan Dinding Puisi 197 saya melihat Shiny Ane El'poesya (Prince el) menulis di akun FB-nya, "Pada titik tertentu Sapardi itu dilebih2kan. Kalau kita baca tuntas buku puisi Hujan Bulan Juni, di sana lebih banyak puisi jelek!". Lalu beberapa orang segera berkomentar, salah satunya Indra Intisa yang menyebut, "Hujan Bulan Juni adalah puisi sepilihan dari buku-buku yang pernah ia terbitkan". 

Seraya senyum tenang saya pun ikut komentar, "Menggunakan dalil puisi jelek pada puisi yang senyatanya sudah jadi menurut ukuran sahnya sebuah puisi, serta kelayakannya lahir dan hadir di tengah adab nanusia, itu tidak mungkin. Kecuali masalah selera. Kecuali kalau yang dimaksud adalah penyikapan berlebih-lebihan terhadap karya-karya tertentu dan aspek pribadi penulisnya, secara awam itu mudah ditemui iya dan tidaknya. Bahkan ada juga yang memuji-muji cuma karena "profesornya", diacung-acungkan menjadi, "profesor puisi". Dan saya masih utuh mengagumi SDD". 

Komen saya dikasih jempol oleh Dwimur Djoko, Eddy Pramduane, SPbudi Santosa, Untari, dan Iin Farliani. Setidaknya ada yang segera merespon dengan jejak seperti itu. Sebab respon juga bisa melalui hati selain melalui komentar selanjutnya yang energinya senada. 

Tanpa bicara banyaknya, Shiny tidak sendiri, atau setidaknya kita mulai dari cara berfkkir sederhana, bisa tidak sendiri. Ada orang-orang yang berfikir senada. Ini yang mengakibatkan kita tidak sedang menghakimi kesendiriannya, tetapi melihat keseragaman di pihaknya. Inipun bukan sebentuk pertikaian dua kubu, lebih elok disebut diskusi biasa suatu ketika. 

Sudah sangat lama kita tersadar untuk tidak berdebat puisi baik dan puisi jelek, ketika puisi-puisi itu lahir dan hadir, bekerja sosial secara layak. Saya gunakan logika bekerja sosial karena di tengah manusia bahasa dan sastra itu bekerja dengan segenap potensinya. Yang disebut puisi 'sangat gelap' sekalipun, meskipun seumpama mempertanyakan berapa persen penduduk bumi yang suka musik underground? Lalu berapa banyak yang tahu rahasia musik undergtound itu dari berbagai pemberitaan dan pembicaraan? 

Dari segi ketepatan tata bahasa, fungsi bahasa, kedasyatan sastra, kebebasan berekspresi, membuka kemungkinan yang awalnya tidak mungkin, kemampuan meletupkan mercon sensasi, dst, suatu puisi pada waktunya bisa dinyatakan lulus oleh hidup. Oleh kehidupan manusia yang beradab. Di sini, mana puisi yang jelek itu? 

Berdasarkan pengalaman penjurian karya puisi, seleksi pertama adalah kelayakan sebuah puisi yang akan dinilai disebut puisi. Karena penilain ini bersifat otomatis, logis dan umum maka lazim menyatu dengan penilaian kesesuaian tema, sebelum memasuki poin penilaian selanjutnya, atau sebelum mencermati keunggulan-keunggulan dan keistimewaaannya. Bisa jadi menurut parameter awal, layak disebut puisi, semuanya lolos. Kecuali yang benar-benar kacau. Ini mungkin puisi jelek itu. Atau lebih tepat disebut puisi salah atau belum puisi atau bukan puisi. 

Bermula dari menengok pengalaman penjurian tersebut, kita akan menjadi kaget jika puisi-puisi yang sudah layak menjadi konsumsi publik, termasuk dipelajari di sekolah-sekolah, dicap sebagai puisi jelek. Apalagi yang punya keunggulan-keunggulan. Misalnya karya Chairil dan Sapardi. Kecuali kalau urusan selera. Sangat-sangat halal kita mengatakan tidak suka pada puisi Sapardi yang ini dan yang itu karena tidak memenuhi selera. Bukan karena jelek. 

Bukanlah budaya kita untuk mengatakan, "Wajar puisi Yusuf Kalla tentang Corona yang ditulis Maret lalu jelek, sebab dia bukan penyair". Sebab puisi Yusuf Kalla hanya akan dikatakan jelek manakala salah kaprah. Dari sisi bahasa, salah berbahasa. Atau dari sisi adab, tidak beradab. 

Kita ingat, ada yang mengatakan suatu puisi kurang fokus, melebar, melompat-lompat, tidak menggigit, kurang bersayap, sayapnya patah, dst. Ujung-ujungnya cuma soal suka atau tidak suka. Sebab karya itu tetaplah puisi yang baik-baik saja. Subyektifitas juri ketika menentukan 3 pemenang dari 10 karya hasil seleksi terakhir, biasanya mencoba menggunakan logika, seberapa banyak keunggulannya, yang mana yang punya keistimewaan khusus, yang mana yang paling sesuai dengan problem sosial saat ini, dll. Tidak pakai ukuran, mana yang baik, mana yang jelek? Meskipun bagi sementara pihak 10 puisi itu jelek semua karena tidak sesuai dengan seleranya. 

Tetapi seperti yang saya tulis pada komentar untuk tulisan Shiny, kalau kondisi berlebih-lebihan itu dinilai ada pada sikap-sikap sementara pihak terhadap beberapa karya Sapardi, atau kepada sisi pribadi Sapardi, itu bisa saja terjadi. Saya sendiri melihat sebutan 'profesor puisi' adalah sikap berlebihan. Sebab menyebut profesor musik dan profesor lagu, sangatlah jauh berbeda. Menyebut profesor bahasa dan sastra pun sangat beda dengan menyebut profesor puisi. Dan saya yakin, Sapardi bisa menulis puisi Aku Ingin bukan karena dia bergelar Profesor. Seperti juga Chairil bisa menulis puisi Aku atau puisinya yang lain bukan karena sudah bergelar profesor. 

Kita tahu, sebagai seorang profesor Sapardi pasti bisa mengakibatkan seseorang mampu menulis puisi yang bagus. Atau bisa mengakibatkan seseorang fasih mengupas puisi-puisi bagus. Itu soal lain.  

Saya bahkan sudah menulis yang jauh lebih dasyat dari sekadar penyebutan Profesor Puisi yang terkesan berlebihan itu. Saya menyebut, Sapardi dkk telah menjadikan negri ini sebenar-benarnya negri puisi. Untuk pengaruhnya di dunia bisa kita sebut, inspirasi bumi. 

Tapi oke. Sabar dan tenang hati. Toh kita bisa bersukacita melabeli beberapa penyair yang karyanya bagus dan berpengaruh, termasuk SDD, dengan sebutan 'Sang Profesor Puisi'. Ini serius, meski pakai jurus slenge'an. Bukan karena di kampus ia seorang profesor. Ini satu contoh saja.

Kemayoran, 21 07 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG